Pages

September 27, 2019

REVIEW : PRETTY BOYS


“Miskin kaya itu bukan dari kantong, tapi dari hati.”

Pernah nggak sih kalian menonton televisi tanah air dan gemas bukan kepalang lantaran konten yang diajukan sungguh bikin mengelus dada? Tak perlulah menggunjingkan sinetron yang mungkin sudah terlampau sulit untuk ditolong, coba tengok gelaran berformat variety show atau talk show atau apapun sebutannya itu. Terlampau banyak gimmick, terlalu sering bersenda gurau sampai-sampai konsep acaranya pun kabur: ini sajian bincang-bincang, drama panggung atau lawakan sih? Ada kalanya diri ini kasihan dengan narasumber yang bisa jadi sudah berharap bakalan berbagi cerita, tapi akhirnya justru berakhir sebagai penonton. Menyaksikan para pemandu acara asyik sendiri. Kadang saya rindu dengan acara-acara dari era lampau seperti Ceriwis yang menurut saya bisa menempatkan jokes sesuai porsinya sehingga penonton dapat terhibur sekaligus memperoleh informasi dibutuhkan. Kalau sekarang sih porsi ngelawak atau ribut-ributnya yang lebih dikedepankan, sebodo amat dengan kandungan isi. Sungguh menguji kesabaran, yekan? Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia pertelevisian selama bertahun-tahun, Deddy Mahendra Desta tentu menyadari penuh mengenai pergeseran tren tersebut. Dia pun menyadari, ada beragam intrik dari belakang layar yang bisa diceritakan kepada khalayak ramai. Merekrut musisi Tompi untuk menjajal nikmatnya kursi penyutradaraan, doi pun melahirkan Pretty Boys yang kentara terlihat diniatkan sebagai kritik terhadap dunia pertelevisian tanah air yang semakin lama semakin ajaib ini.

Guna menggulirkan narasi, Pretty Boys yang naskahnya ditulis oleh Imam Darto (Coblos Cinta) ini menempatkan duo Deddy Mahendra Desta-Vincent Rompies di garda terdepan. Bukan sebagai diri mereka sendiri, melainkan melakonkan dua sahabat bernama Rahmat (Desta) dan Anugerah (Vincent) yang telah bermimpi untuk terjun ke dunia hiburan sedari kecil. Demi mewujudkan mimpi, keduanya pun nekat mengadu nasib ke Jakarta dimana karir mereka justru mentok sebagai pelayan dan koki di sebuah kafe yang sepi pengunjung. Untuk menambah penghasilan sehari-hari, mereka sampai kudu mengambil pekerjaan sampingan yang tak jarang sangat merepotkan. Berjuang bersama tanpa hasil yang nyata selama dua tahun lamanya, impian mereka tanpa dinyana-nyana mendadak terwujud setelah keduanya menjadi penonton bayaran di sebuah talk show bernama Kembang Gula. Penampilan heboh mereka menarik perhatian sang produser, Bayu (Imam Darto), yang lantas menawari duo Rahmat-Anugerah untuk mengisi posisi sebagai co-host. Berhubung kesempatan ini telah lama dinanti-nanti, mereka pun tak ragu-ragu untuk menerimanya meski ini berarti harus rela didandani seperti perempuan. Dalam perjalanan karir yang semakin melambung, sayangnya nasib baik tak selalu menyertai mereka. Berbagai konflik besar turut menghadang yang melibatkan seorang perempuan bernama Asty (Danilla Riyadi) yang diperebutkan oleh Anugerah dan Rahmat, seorang manajer manipulatif bernama Roni (Onadio Leonardo), sampai seorang ayah yang kesepian di kampung halaman, Jono (Roy Marten).


Pretty Boys adalah film yang menyenangkan. Begitulah reaksi pertama yang terbentuk di benak saya selepas menyaksikannya di bioskop. Apabila kamu terbilang rajin mengikuti sepak terjang duo Desta-Vincent kala memandu acara – sekarang mereka bisa ditengok dalam acara bertajuk Tonight Show di NET TV – maka tentu mengetahui bahwa chemistry adalah hal terakhir yang bisa kamu khawatirkan dari mereka. Keduanya sudah sangat teramat klop kala disandingkan di televisi, dan itu berhasil pula diejawantahkan ke dalam lakonan akting ini. Cara mereka bertukar dialog, menanggapi guyonan receh satu sama lain, maupun kala bertengkar, tampak amat nyata. Apa adanya. Alhasil, penonton pun tak mengalami kesulitan untuk meyakini bahwa Rahmat dan Anugerah memang telah bersahabat sedari kecil. Kita tertambat pada karakter ini, lalu kita bersimpati, dan pada akhirnya, kita pun berharap mereka mampu merengkuh kesuksesan yang selama ini diidam-idamkan. Masa-masa dimana duo sahabat ini memandu acara Kembang Gula adalah masa-masa terbaik bagi Pretty Boys dalam menghantarkan elemen komedik sekaligus komentar menyentil terhadap dunia pertelevisian. Tentang eksploitasi peran pria feminin guna mengundang gelak tawa, tentang “permainan” dibalik suatu acara televisi, tentang acara bincang-bincang yang memberi penekanan pada sikap nyeleneh host alih-alih obrolan dari narasumber, tentang produser yang tunduk terhadap rating, tentang kongkalikong antara produser dengan manajer, tentang selebritis yang mengalami star syndrome di kala karirnya melesat, sampai tentang mengobral persoalan pribadi di hadapan jutaan pasang mata.

Di kala narasi Pretty Boys mencapai pada titik Rahmat terlihat terlena dengan dunia barunya, sementara Anugerah justru mengalami kegamangan lantaran masih menyimpan kekhawatiran akan melukai perasaan sang ayah, saya sejatinya mengalami kecemasan. Apakah Tompi bisa mengalihkan nada penceritaan ini secara mulus, atau justru membuatnya terasa janggal seperti dua film berbeda? Tanpa membawa pengharapan tinggi, nyatanya Tompi sanggup membuktikan bahwa kekhawatiran saya terlalu berlebihan – dan sinis. Momen-momen dramatik yang berlangsung dalam Pretty Boys, bisa dibilang sama gregetnya dengan momen-momen di saat film ini berkelakar. Si pembuat film menunjukkan sensitivitas yang baik dalam memperbincangkan topik perihal keluarga, persahabatan, dan pengorbanan. Ndilalah, film juga diberkahi oleh jajaran pelakon yang mumpuni. Duo Desta dan Vincent yang tampil sedemikian asyik kala ngelaba, rupanya tak kagok ketika diminta untuk memasang mimik serius seraya meneteskan satu dua air mata. Vincent pun sanggup mengimbangi Roy Marten yang menghadirkan performa gemilang sebagai seorang ayah kaku yang mengalami kesulitan dalam menunjukkan rasa sayangnya kepada putra semata wayangnya. Ada haru sekaligus pedih dalam adegan Pak Jono menonton televisi untuk pertama kalinya, ada pula tawa dalam adegan banting pintu yang lucu. Berkat kehangatan yang timbul pada paruh kedua serta keasyikan yang menghiasi paruh awal, saya pun bisa tersenyum saat melangkahkan kaki ke luar bioskop. Saya juga sedikit banyak masih bisa menerima kekurangan Pretty Boys yang terdiri dari: 1) Danilla Riyadi yang perannya tidak pernah benar-benar dimaksimalkan (tanpa sosok Asty pun film ini masih bisa jalan), serta 2) ending yang terlampau terburu-buru padahal ada pesan bagus yang sebetulnya bisa diutarakan dari sana.

Exceeds Expectations (3,5/5)



1 comment: