Pages

October 2, 2019

REVIEW : AD ASTRA


“I’m unsure of the future, but I’m not concerned. I will rely on those closest to me, and I will share their burdens, as they share mine. I will live and love.”

Setelah karirnya sebagai pemeran pengganti dalam Once Upon a Time in Hollywood berakhir, ternyata tak butuh waktu lama bagi Brad Pitt untuk mendapatkan pekerjaan baru. Tak tanggung-tanggung, dia menjajaki profesi astronot yang memungkinkannya untuk berkelana ke luar angkasa dan mengunjungi berbagai planet diluar bumi. Keren sekali, bukan? Tentu, karir berbeda ini dijalani oleh Bung Pitt dalam film berbeda yang sekali ini berada di ranah fiksi ilmiah, Ad Astra. Lewat film arahan James Gray (We Own the Night, The Lost City of Z), aktor kesayangan kita semua ini berperan sebagai Major Roy McBride yang merupakan putra dari seorang astronot kenamaan, H. Clifford McBride (Tommy Lee Jones), yang konon tercatat dalam sejarah sebagai manusia pertama yang mencapai planet Neptunus. Mencetak rekor gilang gemilang dalam karir, sayangnya Clifford mendadak raib dalam misi dan diberitakan telah tiada oleh awak media. Guna berdamai dengan duka akibat kehilangan sang ayah, Roy pun menaruh perhatian sangat tinggi pada pekerjaannya serta enggan mengindahkan hal-hal remeh sehingga tak mengherankan jika catatan karirnya terhitung impresif. Setelah 16 tahun lamanya mencoba untuk menerima kenyataan bahwa sang ayah memang telah tiada, SpaceCom tiba-tiba memberinya kabar mengejutkan yang menyatakan bahwa Clifford masih hidup. Mereka menyadarinya pasca menyelidiki asal muasal dari gelombang misterius “Gelora” yang menyebabkan kehancuran masif di bumi. Demi menyelamatkan peradaban manusia yang terancam oleh kehadiran “Gelora”, SpaceCom pun mengirim Roy dalam suatu misi rahasia ke angkasa luar untuk berdialog dengan sang ayah.

Berpatokan pada sinopsis di atas maupun materi promosi berupa trailer yang digebernya, mudah untuk mengira Ad Astra sebagai tontonan fiksi ilmiah yang mengedepankan misteri pada narasi maupun gegap gempita pada visual. Mengingat salah satu topik pembicaraan adalah mengenai hubungan antara ayah dan anak, saya pun tak menyalahkan jika ada yang teringat pada Interstellar (2014) garapan Christopher Nolan yang turut mencekoki penonton dengan pembicaraan kompleks seputar lubang hitam dan teori relativitas. Tapi satu hal yang bisa saya katakan kepada kalian, Ad Astra tidak mengambil nada penceritaan serupa dengan film bersangkutan yang terhitung grande dan agak sedikit menyerupai Gravity (2013) atau First Man (2018) yang sunyi. Memang betul bahwa film ini masih memiliki adegan-adegan laga seru seperti ditunjukkan dalam trailer berupa kejar-kejaran dengan perompak di bulan atau serangan tak terduga di dalam pesawat luar angkasa. Namun James Gray sendiri tidak terlalu berniat untuk menekankan pada aspek keseruan atau misteri mengenai hilangnya ayah Roy atau bahkan perihal “Gelora” yang mengancam umat manusia, karena film sejatinya ingin berbicara dalam lingkup personal. Film ingin mengajak penonton untuk mengikuti perjalanan spiritual yang dilalui oleh seorang astronot bernama Roy yang digambarkan sebagai pribadi yang sangat bisa diandalkan oleh rekan-rekan kerjanya dan atasannya. Mendedah pikiran Roy yang seringkali diperlihatkan tidak pernah sekalipun terdistraksi oleh perkara-perkara kurang signifikan di sekelilingnya dan sangat fokus pada pekerjaannya – malahan bisa dibilang kelewat fokus sampai berada dalam level tak wajar.


Menilik topik obrolannya yang berkisar pada Roy si astronot, si pembuat film pun memilih memperbincangkannya dengan nada pengisahan yang kontemplatif. Pelan, sunyi, dan tenang. Sebuah pilihan yang tentunya tidak akan cocok dengan semua penonton – itulah kenapa banyak kritikus menyebutnya sebagai film yang “not for everyone” – terlebih bagi mereka mengharapkan sebuah sajian yang gegap gempita. Hanya ada sesekali momen yang menggenjot adrenalin, dan latar masa depan yang sudah cukup berbeda dimana bulan telah dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi untuk melepas penat pun tidak pernah dieksplorasi lebih mendalam. Saya pribadi sempat mendamba Ad Astra akan memberi lebih banyak ruang guna mengulik bangunan dunianya, tapi saya kemudian sadar, bukan itu keinginan Gray. Dia ingin menghadirkan karyanya ini sebagai sebuah sajian filosofis yang meminta penonton untuk merenung. Tanda-tandanya pun telah jelas sedari awal, yakni penonton diperdengarkan pada voice over dari Brad Pitt yang mengungkap isi hati dan jalan pikiran dari karakter yang dimainkannya. Sesuatu yang hanya bisa didengar oleh kita, dan bukannya oleh karakter-karakter lain yang berinteraksi dengannya. Kenapa demikian? Ini tentu ada kaitannya dengan keinginan Roy untuk menjaga citra sebagai seorang astronot yang bisa diandalkan. Citra pria tangguh. Mengutarakan perasaan dapat mengungkap kelemahan seseorang, dan dapat pula mendistraksi seseorang kepada hal-hal remeh. Roy ingin emosinya senantiasa stabil dengan detak jantung tidak pernah melewati angka 80 (bahkan di kala dia berada dalam situasi darurat sekalipun!) sehingga menekan emosi-emosi negatif adalah jalan ninjanya.


Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah ini sehat? Apakah mengenyahkan emosi negatif alih-alih merangkulnya adalah cara terbaik untuk bertahan hidup? Dalam pandangan Roy, ini merupakan solusi. Namun sebagai penonton, kita bisa mendeteksi bahwa Roy sejatinya tersiksa dengan pilihannya. Brad Pitt memainkan peran ini secara cemerlang dimana kita bisa melihat adanya ketidakbahagian melalui sorot matanya.  Dia kesepian, dia menderita, dan dia jelas depresi. Toxic masculinity yang memaksanya untuk senantiasa bersikap tegar, telah memakannya hidup-hidup. Sebagai pengalih kesedihan, dia menenggelamkan diri pada pekerjaannya. Berkelana ke luar angkasa menjadi penghiburan baginya karena situasi serba kosong serta sunyi di sana beresonansi kuat dengan perasaannya. Melalui pekerjaannya pula, dia merasa telah berkontribusi besar pada kemanusiaan. Roy menginspirasi banyak orang, Roy banyak membantu orang lain. Akan tetapi, apakah ini cara terbaik untuk menjadi seorang manusia? Tentu membantu sesama adalah sebuah kebajikan. Namun jika ini berarti mengorbankan perasaan diri sendiri yang belum kunjung bahagia dan melukai hati orang yang paling mencintai kita seperti pasangan hidup atau keluarga, bukankah tetap saja mengurangi makna kita sebagai seorang manusia? Maksud saya, kita semestinya terlebih dahulu menciptakan hubungan yang kondusif dan harmonis dengan unit terkecil dan terdekat yakni keluarga, sebelum memutuskan untuk melakukan perubahan besar pada dunia. Clifford melupakan hal ini, begitu juga dengan Roy yang kentara mengikuti jejak sang ayah. Dampaknya, Roy menjadi seorang pria yang tidak peka pada perasaan pasangannya (Liv Tyler) yang lantas meninggalkannya, dan Clifford meninggalkan trauma serta luka di hati Roy yang memilih untuk menutupinya dengan mengagung-agungkan sang ayah.


Terdengar berat? Memang kenyataannya seperti itulah Ad Astra. Dibalik tampilan visualnya yang mengundang decak kagum sehingga membuatnya perlu untuk disaksikan di layar bioskop, dan kemasan luarnya yang seolah mengindikasikan bahwa ini adalah sajian berwujud space adventure dengan sentuhan kisah keluarga mengharu biru, Ad Astra sejatinya merupakan tontonan kontemplatif nan menggigit yang mengajak para penonton untuk merenungi tentang makna dibalik kehidupan dan kemanusiaan, seraya memperbincangkan soal mental health dan toxic masculinity. Memang sangat segmented yang menjadikannya susah menjangkau penonton secara luas. Tapi jika kamu sama sekali tidak keberatan dengan pendekatan beserta topik pembicaraan yang diajukan, maka bisa jadi kamu akan dibuat oleh jatuh hati kepadanya. Karena ya, Ad Astra adalah sebuah film yang sangat indah baik dari sisi visual maupun rasa.

Outstanding (4/5)

No comments:

Post a Comment