Pages

October 23, 2019

REVIEW : HUSTLERS


“I don’t want to be dependent on anybody. I just want to take care of my grandma, maybe go shopping every once in a while.”

Berpatokan pada materi promosi yang ditebarnya dan deretan pemain yang terlibat di dalamnya, mudah untuk menduga Hustlers sebagai film hura-hura belaka yang tidak mempunyai kedalaman apapun pada narasinya. Terlebih lagi, premis miliknya yang berbunyi “bagaimana jika sekelompok penari erotis melakukan penipuan demi menghasilkan uang?” kian memperkuat dugaan tersebut. Memboyong ekspetasi cukup minim dimana sebagian besar dipicu oleh keinginan untuk bersenang-senang, alangkah terkejutnya saya begitu mendapati bahwa film arahan Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) ini bukanlah sajian dangkal yang meletakkan fokusnya pada aksi kriminal dari para penari telanjang semata. Didasarkan pada satu artikel menggemparkan gubahan Jessica Pressler yang dipublikasikan di majalah New York pada tahun 2015, “The Hustlers at Scores”, Hustlers ternyata turut mengajukan sejumlah topik berisi terkait women empowerment, objektifikasi perempuan, sampai ketimpangan ekonomi. Rentetan topik yang belum apa-apa sudah terdengar berat, ya? Tapi jika kamu lantas mengira bahwa film ini lantas berceloteh bak profesor yang sedang memberikan kuliah dan mengesampingkan seluruh elemen gegap gempitanya, maka kamu juga keliru. Hustlers tidak seberat itu, tetapi juga tidak seringan seperti diperkirakan. Film ini berada di tengah-tengah seperti halnya karakteristik dari para tokoh utama yang diposisikan dalam area abu-abu ketimbang segamblang hitam dan putih menyusul keinginan si pembuat film untuk tidak menghakimi moralitas mereka.

Dalam Hustlers, karakter yang memegang peranan penting dalam penceritaan adalah seorang perempuan berdarah Asia, Destiny (Constance Wu), yang terpaksa mengambil pekerjaan sebagai penari erotis demi membiayai kehidupannya beserta sang nenek (Wai Ching Ho). Tanpa memiliki sedikitpun pengalaman di bidang ini, tentu saja sulit bagi Destiny untuk menarik pelanggan dan untuk sesaat, karirnya tampak tidak memiliki harapan untuk berkembang. Ditengah kekecewaannya, Destiny menyaksikan aksi panggung dari penari senior, Ramona (Jennifer Lopez), yang membuatnya tersihir, terpesona, sekaligus iri. Demi memperoleh “tips menari yang baik dan benar” dari sang ratu, Destiny pun menemui Ramona yang ternyata justru bersedia menjadikannya sebagai anak didik. Berada dibawah gemblengan Ramona, karir Destiny pun melesat cepat melebihi apa yang selama ini dibayangkannya. Keduanya menimbun dollar dari para pria hidung belang kaya raya, keduanya pun menjalin persahabatan diluar jam kerja. Selama beberapa waktu, dua karakter ini hidup serba berkecupan sampai kemudian krisis ekonomi di tahun 2008 memutarbalikkan keadaan. Klub tempat mereka bekerja mulai sepi pengunjung, para pekerjanya didominasi oleh imigran yang rela memberi pelayanan lebih demi uang tambahan, dan Destiny pun kelimpungan mencari penghasilan untuk membiayai bayi yang baru dilahirkannya. Dalam kondisi Destiny yang terpuruk hebat ini, Ramona lagi-lagi datang menyelamatkan. Dia menawarinya posisi dalam sebuah tim, yang juga terdiri atas Mercedes (Keke Palmer) dan Annabelle (Lili Reinhart), dimana tugasnya adalah menipu klien-klien mereka yang kaya raya sehingga mereka bersedia dikenai tarif lebih untuk membayar “jasa” dari Ramona and the gang.


Guna menghantarkan narasi yang menyoroti sepak terjang Destiny di dunia malam yang penuh lika-liku tersebut, Scafaria menggunakan metode penceritaan non-linear. Usai memperkenalkan penonton dengan Destiny di tahun 2007 melalui sebuah adegan pembuka yang ciamik – diawali dengan satu tracking shot panjang yang mengajak kita mengikuti langkah si protagonis dari kamar ganti menuju panggung – kita lantas dilempar menuju ke tahun 2014. Suasanya cenderung tenang, hanya ada Destiny dan seorang jurnalis, Elizabeth (Julia Stiles), yang tengah mewawancarainya di sebuah ruang tamu. Melalui adegan ini, si pembuat film hendak mengonfirmasi bahwa Hustlers akan menggunakan dua garis waktu dalam narasi: masa lalu dan masa sekarang. Untuk mengulik peristiwa dari masa lalu yang berada di rentang tahun 2007-2013, film mendayagunakan sudut pandang Destiny selama dirinya diwawancara oleh Elizabeth. Kerap maju mundur cantik tanpa diaba-aba plus acapkali tak terdeteksi penanda waktu yang signifikan, cara bertutur Hustlers ini pada awalnya terasa membingungkan. Membuat saya kebingungan untuk beberapa saat. Tapi setelah mulai terbiasa, saya justru mengapresiasi pendekatan Scafaria karena setidaknya ada rasa penasaran yang turut dipantik olehnya. Satu rasa penasaran yang muncul dari pertanyaan, “apa sebenarnya yang telah dilakoni oleh Destiny dan Ramona sampai-sampai hubungan mereka tak lagi hangat seperti dulu?.” Film tak seketika mencekoki kita dengan tindak kriminal yang membawa keuntungan sekaligus mudarat bagi para protagonis, melainkan mendedah terlebih dahulu motif yang melatarinya. Motif yang membuat kita bisa memafhumi tindakan mereka.

Oleh Scafaria, para penari erotis ini digambarkan seperti halnya manusia biasa, alih-alih mengikuti stigma publik maupun stereotip dari film sejenis. Mereka adalah ibu bagi seseorang, pasangan bagi seseorang, serta teman baik bagi seseorang. Selama menit-menit awal yang mengalun enerjik dengan iringan tembang bercorak R&B, kita melihat klub erotis selaiknya tempat kerja pada umumnya yang mempunyai hierarki, sekaligus diwarnai dengan persaingan maupun persahabatan. Ada beberapa karakter menarik yang hilir mudik – terutama Cardi B dan Lizzo dalam peran singkat – tapi satu hal paling penting, dari sinilah kita menyaksikan relasi antara Destiny dan Ramona mulai bertumbuh. Mereka mempunyai momen manis di atap, mereka juga memiliki momen manis di “lantai dansa” dimana Ramona menginformasikan kepada sang sahabat sekaligus penonton bahwa tari erotis bukan hanya perkara meliuk-liukkan tubuh secara acak. Butuh teknik cukup rumit yang memang dipelajari secara intens oleh Jennifer Lopez selama 2,5 bulan. Keseriusan sang diva dalam mempelajari seni tari erotis ini terpampang nyata dalam performanya yang mengagumkan sebagai Ramona. Kita bisa terpukau pada pesonanya yang menyengat hebat, kita bisa kagum pada kegigihannya, dan kita pun bisa jatuh hati pada sikap bersahabatnya. Meski posisinya hanyalah pemeran pendukung, tapi Hustlers tak akan segreget ini tanpa kehadiran J.Lo. Kehadirannya senantiasa memberikan energi tambahan dalam sejumlah adegan, entah saat mengajak kita bersenang-senang dengan plot penipuan atau saat menghadapkan kita pada satu momen mengharu biru yang membuat air mata tumpah di depan kantor polisi.


Tunggu, tunggu, apakah perhatian yang senantiasa tertuju pada J.Lo ini berarti Constance Wu tidak gilang gemilang saat melakonkan Destiny? Jangan salah sangka dulu. Wu pun tampil apik di sini sekalipun kerap dibayang-bayangi oleh J.Lo. Dalam Hustlers, Wu mempunyai kesempatan untuk mempertontonkan range emosinya yang cukup luas melalui peran yang simpatik. Dia hanyalah seorang cucu yang ingin berbakti pada nenek yang telah membesarkannya dan dia adalah seorang ibu yang ingin bertanggungjawab pada masa depan sang buah hati. Satu adegan yang membuat hati ini tersayat-sayat adalah ketika Destiny pontang-panting mengantarkan putrinya ke sekolah setelah satu malam yang buruk hanya untuk mendapati pandangan penuh penghakiman dari orang tua lain dan kejutan memilukan di rumah. Pada titik tersebut saya merasa tersentil; mengapa kita bisa menilai seseorang buruk hanya dari penampilannya sementara kita sama sekali tidak tahu apa yang telah dilaluinya? Scafarina sendiri memang berniat menempatkan karakter Destiny berikut pengalaman-pengalamannya sebagai corong untuk menyuarakan komentar. Baik itu soal penghakiman publik, objektifikasi yang ditunjukkan dari pengalaman karakter tersebut di klub erotis selepas masa krisis, hingga ketimpangan ekonomi dimana keadaan finansial serba terbatas memaksanya untuk bertindak apapun termasuk menapaki ranah kriminal bersama Ramona. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, dimana letak women empowerment dari film ini? Apakah Hustlers berniat menjustifikasi tindak kriminal mereka dengan dalih pembelaan perempuan atas penindasan para lelaki?

Hustlers, untungnya, tidak sedangkal itu. Pemberdayaan perempuan lebih dikaitkan pada kerelaan para perempuan ini untuk saling bekerja sama dalam mengentaskan permasalahan, alih-alih saling menjatuhkan demi keuntungan pribadi. Si pembuat film pun tidak pernah memberikan pernyataan bahwa tindakan mereka semestinya didukung. Dia mempersilahkan kita untuk memahami motifnya, tapi kita tidak pernah diperkenankan untuk membenarkannya. Ada konsekuensi yang diberikan kepada karakter-karakter ini atas keserakahan serta batas-batas yang telah dilanggar. Terdengar berat, ya? Tapi memang begitulah Hustlers bernarasi. Tidak sekadar mengajak kita bergembira dengan tarian, musik-musik menghentak, serta aksi penipuan yang dilumuri excitement dan gelak tawa, tetapi juga membuat kita tersentuh, tersentil, sekaligus merenung.

Outstanding (4/5) 


10 comments:

  1. wah review nya buat penasaran tapi berhubung lagi bokek ya nunggu unduhan ajah lah heeee

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha. Bisa dipahami. Lagi banyak film yang menarik buat ditonton jadi emang kudu pilah pilah sih.

      Delete
    2. ya mana ini tanggal tua haaaaa,,, paling nunggu "Ratu ilmu hitam" baru ke bioskop lagi 😁😁

      Delete
  2. Mas saya mau jadi ky dirimu mas. Btw kalo saya mau jadi kek mas (Review film) apa boleh mulai nonton film bajakan dulu(lk21 misalnya) saya suka film dan mau juga buat review tapi saya gak punya modal buat nonton ke bioskop tiap hari v:.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak apa-apa, semampunya saja dulu. Nggak usah dipaksain. Kalau udah ada modal buat nonton, silahkan ke bioskop. Nggak mesti tiap minggu juga kok, yang paling kamu pengen saja dulu.

      Delete
  3. Sensornya gimana mas? Katanya parah ya sampe 6 menitan gitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak parah kok. Memang sih ada blur di menit menit awal buat nutupin nipple dan ada potongan di satu dua adegan, tapi sama sekali nggak ngilangin esensi ceritanya kok. Tetep asyik ditonton di bioskop. Energinya itu lho, bakal beda sih kalau ditonton di laptop atau tv

      Delete
  4. adegan favoritku yang natalan itu. Gengnya juga diversity ada asia, blond, black & tentunya J.Lo. Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yesssss. Bikin hati maknyes sih adegan itu. Seneng banget ngeliatnya.

      Delete