Pages

October 20, 2019

REVIEW : PEREMPUAN TANAH JAHANAM


“Kamu, kesalahan yang harus aku hapus.”

Entah dirimu menyukainya atau tidak, mesti diakui, Pengabdi Setan (2017) adalah film horor yang fenomenal. Betapa tidak, film arahan Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) ini sanggup membukukan angka penonton hingga 4 juta lebih yang menempatkannya sebagai salah satu film Indonesia paling banyak dipirsa, dan berhasil pula memboyong sejumlah Piala Citra berkat kualitas teknisnya yang ciamik. Sebuah pencapaian yang belum pernah bisa diraih oleh film dari genre seram. Menilik segala kesuksesan yang dicapai baik dari sisi kritikal maupun finansial, satu tanya lantas hinggap: apa yang akan diperbuat oleh seorang Joko Anwar di film berikutnya guna melampaui – atau minimal menyamai – Pengabdi Setan? Usai sedikit bereksperimen di genre laga melalui Gundala yang memperoleh resepsi beragam dari para penikmat film, Joko Anwar akhirnya kembali ke arena bermainnya melalui Perempuan Tanah Jahanam yang konon telah dipersiapkan sedari bertahun-tahun silam. Ada beragam faktor yang menyebabkan film berjudul Impetigore untuk peredaran internasional ini sampai berada dalam status development hell, termasuk persoalan kesiapan teknis beserta pengembangan karakter dalam narasi yang membutuhkan waktu cukup panjang. Tapi berkat meledaknya “kisah keluarga ibu”, CJ Entertainment dari Korea Selatan bersama Ivanhoe Pictures dari Amerika Serikat pun berkenan untuk bekerja sama dengan Rapi Films dan Base Entertainment guna mewujudkan salah satu proyek impian Joko yang guliran pengisahannya turut terinspirasi dari mimpi buruknya di suatu malam ini.

Dalam Perempuan Tanah Jahanam, poros penceritaan berpusat pada seorang perempuan bernama Maya (Tara Basro). Bersama dengan kawan baiknya, Dini (Marissa Anita), Maya membuka kios pakaian di pasar tradisional guna menyambung hidup di ibukota yang kejam. Kehidupan dua sahabat yang serba pas-pasan ini mungkin akan berakhir dalam waktu dekat setelah Maya mendapati fakta bahwa keluarga yang tidak pernah diingatnya tergolong kaya. Fakta ini didapatnya dari seorang laki-laki misterius yang berusaha untuk membunuhnya dalam suatu malam. Ditemani Dini yang juga dilingkupi rasa penasaran, Maya pun berinisiatif untuk mengunjungi kampung halamannya di Desa Harjosari yang teramat sangat terpencil. Tidak memiliki kerabat yang dikenal baik, keduanya pun memutuskan untuk menginap di rumah masa kecil Maya yang telah lama terbengkalai. Rumah besar yang dipenuhi sarang laba-laba itu memang menggoreskan kesan seram sejak pertama kali dimasuki. Tapi tingkat keseramannya terbilang relatif kecil dibanding Desa Harjosari yang aneh. Sedari Maya dan Dini tiba di sana, telah berlangsung beberapa kali prosesi pemakaman. Keduanya juga menyadari, tidak ada anak kecil di desa ini dan penduduknya pun tampak menaruh curiga kepada mereka. Demi mempersingkat waktu kunjungan yang tidak menyenangkan ini, mereka lantas mencoba untuk berbincang dengan orang paling dihormati di desa tersebut, Ki Saptadi (Ario Bayu), yang mengetahui tentang masa lalu Maya. Hanya saja, alih-alih memperoleh apa yang dimaui, keduanya justru harus menghadapi rahasia mengerikan yang tersembunyi di Desa Harjosari.


Muncul selepas Pengabdi Setan yang terbilang ciamik dan merupakan salah satu film terseram dekade ini, Perempuan Tanah Jahanam memang memboyong beban ekspektasi yang besar. Pun begitu, film ini cukup sanggup memenuhi pengharapan saya dengan menghadirkan sebuah sajian yang senantiasa membuat jantung berdegup kencang dan memantik kecemasan dalam menanti apa yang akan terjadi. Bahkan, si pembuat film tidak menunggu waktu terlalu lama untuk menebar kengerian kepada penonton karena sejak adegan pembuka, Perempuan Tanah Jahanam telah mengondisikan kita untuk berseru “jahanam sekali film ini!.” Saya bisa memastikan, adegan pembuka kreasi Joko Anwar ini adalah yang terbaik dalam sinema tanah air khususnya genre horor. Memboyong penonton ke gerbang tol yang sepi nan gelap di suatu malam, kita melihat Maya tengah bercakap-cakap dengan Dini melalui ponsel genggam seraya melayani para pengemudi mobil yang melintas. Pada mulanya, topik obrolan mereka tergolong santuy dipenuhi dengan candaan yang cenderung nyerempet (ehem, 17+) sampai kemudian Maya mempergunjingkan soal pengemudi misterius. Sedari titik ini, intensitas perlahan mengalami eskalasi yang lantas kian tak terbendung setelah pengemudi yang dimaksud menampakkan diri. Saya tak akan membeberkan apa yang selanjutnya menghiasi layar. Yang bisa saya katakan adalah, pengemasan adegan yang ditunjang sinematografi beserta penyuntingan tangkas memungkinkan nuansa tampak begitu mengancam dan membuat bulu kuduk meremang. Sebuah appetizer yang tentu mengundang selera untuk mencicipi sajian lebih lanjut.


Selama kurang lebih satu jam selanjutnya, Perempuan Tanah Jahanam memang menghadirkan rasa gelisah dan ketakutan secara konstan. Dimulai dari adegan Maya menyusuri lorong-lorong sepi di pasar yang jujur membuat saya ngeri, ketidaknyamanan kemudian berlanjut begitu dua protagonis kita menjejakkan kaki di Desa Harjosari. Pemilihan lokasi yang jitu beserta kinerja dari departemen teknis (utamanya artistik, musik dan kamera) membuat kesan angker sangat menonjol di desa ini sampai-sampai saya akan memilih langsung balik kanan apabila berada di posisi Maya. Mendingan jagain kios kosong di pasar ya daripada bermalam di Harjosari. Ogah banget, duhhh… Yang juga berkontribusi dalam menyokong sensasi eerie yang dimunculkan film adalah performa sangat baik dari jajaran pemain seperti Ario Bayu yang kentara menyembunyikan suatu rahasia mengerikan, Christine Hakim yang akan membuat kita tunggang langgang hanya dari tatapannya, dan Asmara Abigail yang menghadapkan kita pada keraguan: bisakah karakter ini dipercaya? Disamping ketiganya yang menunjukkan pada penonton bagaimana Bahasa Jawa semestinya diucapkan (bukan medok ngaco macam FTV) dan jajaran pemain pendukung yang melakoni peran sebagai warga desa dengan amat baik, jangan lupakan pula duo Tara Basro dengan Marissa Anita dari barisan protagonis yang membentuk chemistry asyik sehingga tak sulit untuk meyakini bahwa mereka memang bersahabat baik. Tukar dialog diantara keduanya mengalir lancar dan memberi penonton semacam obat penenang agar tak kelewat sepaneng (baca: tegang sekali) dengan dialog-dialog lucu, cerdas nan menyentil yang dipersembahkan oleh karakter Dini.

(Saya berharap Joko Anwar akan membuat film komedi dengan karakter seperti Dini dan diperankan oleh Marissa Anita!)

Saat misteri masih melingkungi Perempuan Tanah Jahanam, rasa penasaran, cemas, serta ngeri adalah teman baik bagi penonton. Kita dibuat menaruh curiga, berdebar-debar, sekaligus terperanjat yang dipicu oleh gerak-gerik penduduk desa maupun trik menakut-nakuti yang dirangkai efektif. Tapi setelah parade kengerian berbumbu darah yang menghiasi babak pertama dan kedua, film tiba-tiba menjumpai permasalahannya kala menjejaki babak ketiga yang berisi pengungkapan rahasia. Ada satu dua pertanyaan mengganjal seperti “bagaimana bisa laki-laki di adegan pembuka mengenali Maya?” dan penyelesaian masalahnya cenderung terlampau mudah, kalau tak mau disebut malas. Saya sebetulnya paham bahwa penggunaan teknik kilas balik dan eksposisi untuk membeberkan misteri adalah cara si pembuat film untuk merangkul penonton awam yang emoh diajak ribet dalam menginterpretasi narasi. Namun tak bisa dipungkiri, teknik ini beresiko tinggi. Dalam kasus Perempuan Tanah Jahanam, keputusan tersebut berdampak pada merosotnya intensitas secara seketika. Tidak ada lagi ketegangan, tidak ada lagi greget. Terlebih lagi, konfrontasi akhir yang sempat saya bayangkan akan gila-gilaan pun berlangsung tenang. Mengingat Joko terus berupaya meningkatkan intensitas di sepanjang durasi dan karakter Maya terlihat makin terguncang, apa yang menghiasi layar di menit-menit terakhir ini jelas menggoreskan rasa kecewa sekaligus sesal. Sensasi gegap gempita yang begitu menonjol di satu jam pertama, mendadak pergi entah kemana.

Exceeds Expectations (3,5/5)  

  

20 comments:

  1. Yang ditungguin akhirnya nongol juga. Seperti biasa reviewnya bagus mas, hehe... Aku setuju banget soal endingnya yang pake flashback itu. Apaan banget sih. Padahal sebelumnya udah seru bangettttt eh akhirnya malah begitu. Sedih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank youuuu....

      Adegan flashback emang disayangin banget. Aku kira si Maya bakal menggila atau bagaimana ternyata berakhir begitu saja. Duh. 🤦

      Delete
  2. Belum bisa berkomentar banyak ini,,, soalnya senin besok baru mau nonton tapi setelah baca ulasan nya kayanya ekspetasi harus di turunkan sedikit ini hehee 😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ditunggu ya pendapatnyaaa. Filmnya masih terbilang bagus, cuma emang agak dikacaukan samasbabak ketiganya 🤷

      Delete
    2. iya bro,, semoga ajah hari ini bisa sempat nonton nya.

      Delete
    3. Sebenarnya tak masalah dgn adegan flash back berlebih nya ,,tapi adegan endingnya emang terkesan mudah terselesaikan, seharusnya bisa di buat lebih tegang lagi. Salut saya dgn karakter dini, begitu natural dan kocak. Pertama lihat dia di "Galih ratna" dan langsung suka akting nya 😁😁

      Delete
    4. Wah kalau suka dengan aktingnya Marissa Anita, mesti banget nonton Selamat Pagi Malam. Menurutku disitulah akting terbaiknya. Berasa lepas dan nyaman banget.

      Delete
    5. yg bareng adini wirasti itu kan,,, sdh juga nonton dan juga suka sekali tapi saya blm mengenal marissa anita di situ 😁😁

      Delete
    6. Aku malah langsung jatuh hati dengan Marissa di film itu. Di film-film selanjutnya juga nggak pernah ngecewain. Kagum juga dengan aktingnya di Istirahatlah Kata Kata yang keren sekali.

      Delete
    7. ada marisa juga ya di Istirahat kata-kata, sayang nya tayang disini pas tayang nya 😔

      Delete
    8. Ada. Salah satu akting terbaiknya nih. Bertransformasi jadi perempuan Jawa yang kesepian. Bener-bener beda dari peran dia biasanya

      Delete
    9. gitu ya sayang gak bisa nonton nya,, mau cari film kayak gitu susah klo di Iflix gak nemu.

      Delete
  3. Kalau ingin lebih menilik lebih jauh, sungguh banyak keganjilan-keganjilan di film ini. Contohnya adalah pembuatan wayang yang super mudah.



    Aq nggk memeprhatikan detil" cerita seperti itu,jujur sangat menikmati PTJ mskipun di rusak oleh adegan flashback yang lngsung d borong.


    Konklusinya mengecewakan,cenderung malas. Tapi di tutup dengan adegan yang ciamik.teriakannnya aighniny sama ekspresi nyi misni masih terngiang2 di kepala.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adegan penutupnya itu ngeri sih. Andai konklusinya lebih ciamik, aku yakin kemunculan Nyi Misni di akhir bakal lebih greget

      Delete
  4. Pasti harapan anda, atau bahkan Kita semua, adalah di ending si Maya bakal memainkan pisau berdarah darah menyayat ki sapta atau nyi misni Kan? Hehe.. Saya pun begitu. Sedikit banyak berharap Maya kayak Julie Estelle di rumah Dara.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali. Udah keliatan tertekan dan siap menggila gitu, kenapa nggak sekalian dibikin berdarah-darah gitu sih. Kan jadi bisa lebih gila. 😂

      Delete
  5. SPOILER!!!



    Dua antagonis itu kayak ada yang janggal. Tolong di jelaskan mas.maapkeun��

    1) ki saptadi ngapain susah2 nyamar jadi ayahnya maya.dan ngapain dia bunuhin para warga2 saat acara wayang berlangsung,kalo ketahuan kan repot. Ngapain dia nggk langsung menghasut para warga desa buat langsung ngebunuh keluarganya maya tersebut.kan udah jelas2 ayahnya maya yang bunuh 3 anak kecil tersebut.kenapa milih jalan yang berbelit2 whyy?


    2)trs nyi misni kenapa ngeguna2 cucunya sendiri? Kan dia udah tau kalo nyai shinta selingkuh sama anak kandungnya sendiri. Terus kenapa d guna2 kalo akhirnya di kirim ke kota.Terus dia kan yaaa.. Yg nyelametin maya kecil ke kota. Ngapain d kirim ke kota kalo akhirnya kejar2 lagi untuk d bunuh. Bingung akutuh. Butuh pencerahan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau aku sih nangkepnya begini:

      1. Faktor utama jelas buat dramatisasi. Menghasilkan adegan bagus. Sedangkan faktor lain, untuk mencuci otak warga jadi mereka punya pemahaman bahwa Ki Saptadi adalah sosok berbahaya yang terganggu jiwanya. Kalau sekadar hasut, efeknya mungkin nggak akan bertahan lama. Tapi dengan melakukan pembantaian di depan umum, bakal membekas di benak sampai kapanpun. Menciptakan trauma bagi masyarakat.

      2. Lebih ke faktor dendam pada keluarga Ki Donowongso. Dia dulu pernah dijadiin selingkuh oleh ayah Ki Donowongso tapi dicampakkan begitu saja. Tidak ingin anaknya mengalami hal yang sama, dia melakukan guna guna itu. Agar keluarga mereka mengalami penderitaan. Jadi sasaran sebenarnya bukan Maya, tapi Ki Donowongso.

      Maya kemudian dijadikan sasaran karena dianggap sebagai pemicu wabah sekaligus untuk menutupi rahasia Nyi Misni.

      Delete
  6. Setuju banget woi buat endingnya yang bikin ini film drop parah hahaha kaya langsung bilang "apaan sih, gini doang penyelesaiannya".
    Paling suka sama bacot temennya tara basro, jadi idup filmnya.

    ReplyDelete