Pages

October 14, 2019

REVIEW : SIN


“Aku akan selalu ada buat kamu.”

Betapa nelangsanya nasib Minke (Iqbaal Ramadhan). Usai kisah cintanya dengan Annelies (Mawar De Jongh) dipaksa kandas lantaran sang pujaan harus berpindah ke Belanda, kini dia pun harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya telah ditikung oleh teman baiknya sendiri. Jan (Bryan Domani) yang diberi kepercayaan untuk mengawal Annelies ternyata diam-diam menaruh rasa kepada Annelies… dan mereka pun ada kemungkinan memiliki hubungan darah dari pihak ayah (!). Kacau betul, bukan? Berhubung Tuan Mellema gemar bermain perempuan, maka plot twist ini tentu tidak mengherankan meski tetap akan bikin diri ini geleng-geleng kepala sekaligus mengernyitkan dahi jika benar-benar ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Tapi syukurlah, hubungan cinta terlarang antara Annelies dengan Jan tersebut bukan bagian dari cerita kelanjutan Bumi Manusia, melainkan dari film bertajuk Sin keluaran Falcon Pictures yang menempatkan Mawar De Jongh beserta Bryan Domani di garda pemain utama. Dan memang, ada narasi mengenai cinta terlarang yang dikemukakan melalui tagline berbunyi “saat kekasihmu adalah kakakmu sendiri” yang mendorong beberapa kawan untuk melempar komentar julid: kok berasa sinetron ya? Saya sih tidak pernah berpikir sampai ke sana ya, karena memang jarang sekali nonton sinetron. Malah, saya jadi teringat pada satu film erotis asal Thailand, Jan Dara (2001), yang sempat tayang di bioskop lokal dengan tajuk My Lover My Son. Same energy, rite? Berhubung masyarakat Indonesia sedang sangat relijius dan menaruh perhatian sangat tinggi kepada perkara berbau moral, saya tentu sama sekali tidak kaget begitu mengetahui bahwa kesamaan energi antara dua film ini hanya sampai di tampilan luar semata.

Sin yang didasarkan pada novel rekaan Faradita sendiri sejatinya merupakan film percintaan remaja biasa. Kebetulan, konflik yang disodorkan agak dirumit-rumitkan demi memberi kesan berbeda. Di sini, penonton dikenalkan kepada Ametta Rinjani (Mawar De Jongh), siswi paling cantik di sekolah dan telah mempunyai reputasi kuat sebagai seorang playgirl. Dia kerap bergonta-ganti pasangan hanya untuk mencari kesenangan sementara tanpa pernah sekalipun berniat untuk menjalin hubungan secara serius. Petualangan Metta dalam berburu laki-laki akhirnya mencapai ujungnya setelah dia dibuat bertekuk lutut oleh Raga (Bryan Domani). Berbeda dengan para lelaki di sekolah yang berusaha mati-matian untuk mendapat perhatian dari Metta, Raga justru bersikap acuh tak acuh kepadanya. Bahkan, dia cenderung terganggu dengan kehadirannya. Demi bisa menaklukkan cowok misterius ini, Metta pun menguntitnya yang membawanya menuju sebuah arena pertandingan tinju ilegal dimana Raga menjadi salah satu petarungnya. Rahasia yang disembunyikan dalam-dalam oleh Raga ini lantas dimanfaatkan sebagai sebuah ancaman oleh Metta. Dia memberi pilihan kepada lelaki yang ditaksirnya; menghabiskan waktu bersamanya atau rahasianya dibongkar ke seantero sekolah. Berada dalam posisi terpojok, Raga pun mau tak mau kerap menemani Metta kemanapun dia pergi yang secara perlahan tapi pasti menumbuhkan suatu rasa berbeda. Sebuah rasa yang seharusnya tidak tumbuh diantara mereka lantaran Raga dan Metta rupanya mempunyai hubungan darah yang selama ini sengaja ditutup-tutupi oleh pihak keluarga demi kebaikan bersama.


Saat film arahan Herwin Novianto (Aisyah Biarkan Kami Bersaudara, Gila Lu Ndro) ini meletakkan fokus narasinya pada upaya Metta menaklukkan Raga, Sin sebetulnya masih cukup renyah untuk dikudap. Memang sih secara plot terbilang sangat klise, tapi ada dua faktor yang membuat tontonan ini naik kelas: 1) sinematografi cantik dari Edi Michael Santoso yang sanggup menyulap Jakarta sehingga memberi kesan seperti megapolitan mewah, dan 2) performa kompeten Mawar De Jongh dimana dia menguarkan aura seduktif nan bitchy yang menjadikan karakter Metta tampak unik di genrenya. Saya menyukai bagaimana Mawar bisa tampil sangat menyebalkan di hadapan orang-orang yang tidak disukainya, lalu beralih sangat menggoda di depan Bryan Domani, dan kemudian bermanja-manja ketika Raga dikisahkan mulai bisa menerima kehadiran Metta. Berkat chemistry yang terjalin diantara dua pelakon utama ditambah bubuhan humor yang melingkungi hubungan antik keduanya, ada kalanya saya ikut tersenyum-senyum gemas. Para penonton remaja yang memenuhi gedung bioskop di tempat saya menyaksikan film ini pun kentara ikut dibuat jatuh hati. Mereka terkekeh, ada satu dua yang terdengar berseru “awww…”, dan penonton di sebelah saya tampak salah tingkah dibuatnya. Mesti diakui, Sin tergolong berhasil dalam memancarkan pesona romansanya di paruh awal, khususnya kepada target pasarnya. Tapi saat film memutuskan untuk memberikan pelintiran pada cerita dengan mengubah nada penceritaan menjadi sangat dramatis, pada saat itulah Sin terhadang banyak problematika. 
  
Sebetulnya, keputusan untuk membuat jalinan pengisahan Sin lebih dari sekadar popular girl fall in love with an innocent boy layak diapresiasi. Ada pembicaraan soal obsesi, ada pula obrolan tentang relasi orang tua dengan anak di sini. Hanya saja, kedua topik menggelitik ini tak pernah benar-benar dikulik lebih jauh lantaran film mengalami kebingungan untuk menentukan pijakannya. Apakah Sin ini diniatkan sebagai film percintaan yang ringan-ringan saja atau memang berencana membawa narasinya ke arah lebih kompleks? Karena jika niatan pertama yang ingin dicapai, perubahan nada cerita yang drastis di paruh kedua membuatnya terasa sangat janggal. Dan jika niatan kedua yang ingin disasar, upayanya pun tak maksimal lantaran sebagian besar durasi dihabiskan untuk menyoroti kisah kasih dua protagonis yang gemas, tanpa pernah diberi landasan memadai menuju ke persoalan utama. Konflik besar mengenai “kekasihku adalah kakakku sendiri” pun baru benar-benar dibahas di tiga puluh menit jelang tutup durasi yang membuat paruh akhir terasa penuh sesak dan terlampau bergegas. Tak ada keharuan mencuat tatkala Metta berjumpa dengan ayah kandungnya (kayak biasa aja tuh), Raga mendadak berkenan untuk berkomunikasi dengan ayah yang tadinya sangat dibencinya, salah satu sahabat baik Metta mendadak berubah menjadi psikopat lengkap dengan tawa menggelikannya, dan konflik mendadak bisa diselesaikan dengan sangat mudah yang membuat saya bertanya-tanya, “mengapa persoalan ini bisa ada kalau begitu?”. Ditambah rentetan adegan di babak klimaks yang membuat saya berulang kali mengucap istighfar lantaran saking ajaibnya (pertarungan di bawah hujan yang hujannya cuma disitu doang? Sahabat Raga yang ahli melacak keberadaan seseorang? Mbak psikopat yang belum terbiasa memegang cutter?), Sin yang tadinya memulai langkah dengan menjanjikan pun akhirnya hanya membuat saya mengalami migrain saat keluar bioskop alih-alih ikut baper. 

Panadol mana Panadol.

Acceptable (2,5/5)


4 comments:

  1. dari awal sdh gak terlalu niat nonton film ini min 😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal kalau film ini menerima dirinya sebagai tontonan cheesy dan nggak ngoyo buat nampilin plot dramatis nan ribet, malah sepertinya akan bagus

      Delete
    2. kayak dear nathan contoh nya tema chessy tapi bisa bikin baper 😁😁

      Delete