Pages

November 4, 2019

REVIEW : LOVE FOR SALE 2


(ulasan mengandung spoiler, jadi berhati-hatilah di dua paragraf akhir)

“Belum pernah saya lihat mamakmu sebahagia seperti sekarang ini. Auranya… bersinar!”

Bagi sebagian orang, Arini (Della Dartyan) adalah salah satu karakter fiktif paling keji dalam sinema dunia yang semestinya dilaknat. Alasannya, karena dia mendadak pergi tanpa pamit dan meninggalkan seorang pria yang menaruh rasa teramat dalam kepadanya di saat sang pria sedang sayang-sayangnya. Tindakan Arini ini jelas tidak bisa dibenarkan oleh kemanusiaan. Terlebih lagi, pria tersebut juga telah terlampau lama tak memperoleh belaian penuh cinta kasih dari seorang perempuan. Jika kemudian ada yang mengantagonisasi Arini atas tindakannya kepada bujang lapuk kesepian bernama Richard (Gading Marten), tentu bisa dipahami. Walau sejatinya pernyataan “Arini adalah villain” dapat dipatahkan seketika apabila penonton bersedia untuk mengilas balik ke awal perjumpaan dua karakter utama dalam Love for Sale (2018) ini. Satu hal yang perlu digarisbawahi, Arini hanyalah pegawai di Love Inc. – perusahaan penyedia pasangan sewaan yang konsepnya menyerupai Family Romance di Jepang – yang kebetulan mendapat penugasan untuk mendampingi Richard. Dia mempunyai kontrak yang harus dipatuhi, dia juga mempunyai perasaan yang mesti dibatasi. Hubungannya dengan klien bersifat profesional, tidak pernah lebih. Apabila percikan asmara lantas menghinggapi klien, bukankah kesalahan ada di pihak klien lantaran telah mendobrak batasan? Melalui Love for Sale 2, Andibachtiar Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, Romeo Juliet) yang masih menduduki kursi penyutradaraan berupaya untuk “memperbaiki citra” Arini yang kadung tercoreng ini. Dalam narasi yang diekspansi lebih luas lagi demi menuruti aturan tak tertulis untuk sekuel, ada sepenggal narasi yang akan mendorong penonton untuk memahami motivasi sesungguhnya dari “sang villain”.

Kali ini, Arini mengenalkan dirinya sebagai Arini Chaniago. Seorang perempuan berdarah campuran Minang-Bugis yang tengah mencari kos di rumah keluarga Tauhid Sikumbang lantaran akan mengikuti pelatihan dari suatu perusahaan di Jakarta. Dalam sesi perkenalan singkatnya, Arini turut mengaku pernah menjalin hubungan asmara secara singkat dengan Indra Tauhid Sikumbang alias Ican (Adipati Dolken) semasa menimba ilmu di Bandung. Ican sendiri adalah pelanggan dari Love Inc yang memakai jasa perusahaan tersebut untuk menemukan sesosok perempuan yang dapat diperkenalkannya kepada sang ibu, Rosmaida (Ratna Riantiarno), yang terus menerornya dengan pertanyaan “kapan kamu mau menikah?.” Dalam pandangan Bu Ros yang masih menjunjung tinggi adat Minang, Ican yang telah berusia 32 tahun dan memiliki pekerjaan tetap semestinya sudah membina rumah tangga. Apalagi putra sulung sekaligus bungsunya, Ndoy (Ariyo Wahab) dan Buncun (Bastian Steel), sudah pula dikaruniai momongan sekalipun keduanya masih sering berkonflik dengan Bu Ros lantaran cara mereka menjalani hidup tidak sesuai dengan keinginan sang ibu. Di saat Bu Ros berpesan ingin melihat Ican menikah sebelum dirinya menghadap ke Yang Maha Satu, Ican yang teramat sumpek pun memutuskan untuk mengontak aplikasi Love Inc yang lantas mengirimkan Arini. Kehadiran Arini dengan pembawaannya yang santun jelas seketika menarik perhatian Bu Ros yang memang mendamba menantu berdarah Minang yang pintar memasak dan rajin beribadah. Menyadari bahwa beliau mempunyai peluang besar untuk mendapatkan menantu idaman, hati Bu Ros yang tadinya senantiasa gelisah perlahan tapi pasti berubah menjadi bungah. Tak ada lagi kebencian, tak ada lagi omelan berkepanjangan, dan hanya ada kepedulian yang dia tebar kepada keluarganya.


Bagi mereka yang telah menyaksikan jilid pertama, tentu ada satu pertanyaan yang menggelayuti diri tatkala mengetahui Love for Sale berlanjut ke babak kedua: bagaimana kelanjutan kisah pencarian Arini yang ditempuh oleh Richard? Menjumpai titik terang kah, atau justru dihadapkan pada jalan buntu? Ketimbang memberi jawaban atas keingintahuan penonton dengan mendedahnya ke dalam bentuk narasi, Andibachtiar Yusuf bersama M Irfan Ramli selaku penulis skenario justru mengkreasi satu jalinan pengisahan baru dengan persoalan lebih kompleks dimana salah satu misinya adalah membawa penonton kepada pemahaman bahwa Arini bukanlah karakter bengis yang sepatutnya dilaknat. Dia tidak menyerupai karakter Summer dari 500 Days of Summer (yang sebenarnya juga tidak keji), dia malah lebih mendekati karakter Mary Poppins yang berniat membagikan kebahagiaan kepada orang-orang yang membutuhkan. Orang-orang yang membutuhkan belaian kasih sayang. Sungguh mulia, bukan? Love for Sale 2 memang memberi kita sedikit pandangan terhadap karakter Arini meski pada akhirnya tak ada penggalian lebih mendalam guna menjaga sisi misterius dari sosoknya, dan ketiadaan waktu untuk menjabarkannya secara menyeluruh. Saya pribadi tidak mengeluhkan mengenai hal ini karena “misterius” adalah kata kunci yang membuat film pertama sanggup bekerja dengan baik, disamping persoalan yang relate ke banyak orang. Kita sama sekali tidak mengenal Arini, kita tidak benar-benar mengetahui perihal Love Inc yang ada kalanya mencurigakan, dan kita justru menaruh ketertarikan karena itu. Dalam instalmen kedua ini, sisi misterius tersebut agak tereduksi karena billboard halte yang mengindikasikan bahwa Love Inc adalah aplikasi komersil yang menyasar khalayak ramai. Bukan hanya bisa terdeteksi oleh orang-orang tertentu yang membutuhkan jasanya.


Dibandingkan jilid pertama (sulit untuk tak mengomparasi karena ada embel-embel “2” pada judul) yang sanggup menguarkan kesan “misterius nan magis”, Love for Sale 2 cenderung kurang menggigit. Memang betul senyuman Arini yang semakin lebar di sini akan meluluhkan hati banyak penonton dan persoalan yang berkisar pada “orang tua ceriwis yang gemar merongrong anak-anaknya dengan pernikahan” akan teresonansi ke banyak penonton. Hanya saja, film mengajukan terlalu banyak konflik beserta karakter yang membuat narasi kesulitan dalam menempatkan fokusnya. Keberadaan Arini beserta Love Inc cenderung terpinggirkan, Ican hanya memiliki peranan krusial di menit-menit pertama yang kemudian kian kabur seiring berjalannya durasi, karakter pendukung di sekeliling nyaris tak berkontribusi pada pergerakan kisah (contoh: Iskandar yang diperankan oleh Egi Fedly), dan film sebetulnya berceloteh mengenai Bu Ros yang tidak sanggup menerima keluarganya secara apa adanya. Ada ekspektasi-ekspektasi tinggi yang dibebankan kepada putra-putranya, tanpa pernah sekalipun memberi kesempatan untuk membuka dialog lintas generasi dengan satu pertanyaan awal, “apa yang sebenarnya kamu inginkan dalam hidup?.” Walau karakter Bu Ros ini sejatinya menggelitik, film tak menyediakan cukup banyak momen personal antara dirinya dengan anak-anaknya dimana pesan mengenai “komunikasi dan pengertian dalam lingkup keluarga” dapat berbicara sangat lantang. Alhasil, karakter ini menjadi sosok mengesalkan satu dimensi yang sulit diberi empati. Saat film menapaki paruh akhir, perubahan mendadak menghinggapi para karakter tanpa titik balik yang meyakinkan: Bu Ros tiba-tiba bersedia menerima keadaan, sementara Ican yang tadinya tak peduli pada urusan hati tiba-tiba menaruh rasa pada Arini. Dua karakter ini, khususnya Bu Ros yang tampak sangat mencintai Upiak Arini, juga tak terlihat terpukul begitu masa kontrak Upiak berakhir dan dia menghilang tanpa kabar. Saya lebih merasakan sakitnya Richard, daripada keluarga ini yang menanggapinya secara lapang dada.

Tapi memang, Love for Sale 2 bisa dibilang minim chemistry. Ikatan kimia dalam keluarga Tauhid Sikumbang hanya muncul samar-samar, begitu pula dengan Arini-Ican yang tak pernah membuat saya yakin bahwa ada rasa yang benar-benar timbul diantara mereka. Para pemain ini lebih unggul saat berdiri sendiri-sendiri daripada bersama-sama, meski penggunaan Bahasa Minang dari Ratna Riantiarno terdengar janggal di telinga. Apakah karena dia adalah orang Manado? Bisa jadi. Yang jelas, saya yang menggemari film pertama mengalami kekecewaan kala mendapati ada setumpuk elemen yang urung bekerja secara semestinya di Love for Sale 2. Apalagi film telah memberikan pengharapan tinggi dengan premisnya yang seolah menjanjikan akan memberi kehangatan, film telah memberi pengharapan tinggi dari tampilan visualnya yang elegan, dan film juga memberi pengharapan tinggi lewat adegan sangat keren di Baralek pada opening scene yang dibawakan secara long take. Agaknya, keinginan untuk memperumit narasi dengan menjejalkan banyak konflik (termasuk menyelipkan budaya Minang yang belakangan tak menambah apa-apa pada penceritaan) justru berakhir blunder alih-alih membuat film terasa semakin sedap untuk dikudap. Sayang sekali. 
  

Note : Ada adegan tambahan di sela-sela end credit. Jangan buru-buru beranjak ya.

Acceptable (3/5) 

11 comments:

  1. apakah masih ada adegan tambahan setelah, "eeh si eneng.." mas?

    saya keburu keluar, kebelet ✌🏽

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak ada kok. Adegan yang aku maksud emang "si Eneng" itu.

      Delete
    2. Kabarnya memang bakal dilanjutin. Cerita Arini-Richard ini butuh closure. Hehe. Tapi aku lebih penasaran soal Love Inc dan Arini sendiri sih. Pengen akhirnya kisah mereka diungkap.

      Delete
    3. yaasshh, semoga arini resign dari love inc dan balik ke richard, wakakakaa

      Delete
  2. setuju banget, film ini ga minim emosi. Di film pertama, kita bisa ngerasain richard. Di LFS 2 malah ga ada "after taste" setelah nntn filmnya.
    Karakter Bu Ros ini mendominasi, bikin paruh awal film terasa cerewet sekali. Bicara soal nikah melulu.
    Soal riuhnya karakter juga sepakat. Selain iskandar, bunjun juga ga penting2 amat buat ada. Maksudku, Ndoy dan keluarganya aja udah cukup jadi alasan buat Bu Ros pengen liat anak kesayangannya nikah. Tinggal gimana nguatin narasinya aja. Bunjun malah bikin narasi makin ga fokus. Ya walopun tek tok-an 3 bersaudara itu lumayan enak.
    Ada lagi.
    Memang sih si arini 'disewa' untuk nemenin ibunya Ican, tapi krn diceritain si ican ikut jatuh hati pada arini menurutku porsi mereka berdua (arini-ican) kurang banget. Malahan beberapa kebersamaan mereka cuma ditampilkan berupa kilasan2 yg bikin chemistry keduanya ga keliatan nyata. Sayang beribu sayang, ga semenarik poster dan promosinya.

    semoga lanjutannya (kalau ada) bisa ngobatin kekecewaan dari LFS 2 ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. sorry typo. maksudnya film ini minim emosi. 'ga' nya lupa keapus. wkwk

      Delete
    2. Yes banget. Potensinya ada, tapi narasinya yang kemana mana malah bikin filmnya nggak greget. Kebanyakan karakter, kebanyakan konflik. Bu Ros ini juga sama sekali nggak simpatik. Kita nggak dibikin paham dengan alasannya, dan film juga nggak banyak menekankan pada hubungannya dengan anak-anaknya. Begitu Arini hilang juga rasanya kayak ya udah gitu aja. Yang menarik emang tektokan tiga bersaudara itu, lainnya bikin hmmm.... Arini-Ican juga jelas bukan Arini-Richard. Aku tuh nggak pernah bisa yakin Ican ini beneran suka sama Arini. Perubahannya kelewat cepat.

      Delete
    3. mustahil ican baper, fuckboy gitu loh..
      dia sedih aja liat ibunya kehilangan banget soal arini, merasa gagal ngasih menantu yg baik.

      anw, kok ibu nya ican tau2 bisa baik sama menantu pertamanya itu karns arini apa gimana, terlalu dadakan mnurutku.

      Delete
  3. makasih infonya, bermanfaat bgt artikelnya kebetulan ane lagi cari download film bluray

    ReplyDelete