January 29, 2020

REVIEW : 1917


“I hoped today would be a good day. Hope is a dangerous thing.”

Saat melangkahkan kaki ke bioskop untuk menonton 1917, saya sejatinya sudah tahu akan menyaksikan film yang bagus. Materi promosinya terlihat menggiurkan, kritikus asing menghujaninya dengan puja-puji, dan para juri Oscar pun tidak keberatan untuk menempatkan film ini sebagai nomine ke dalam 10 kategori. Singkat kata, mustahil untuk tidak menanamkan ekspektasi tinggi kala menonton 1917. Mengira mungkin diri ini tidak akan terlampau terpukau – well, umumnya pengharapan kelewat tinggi justru berbanding terbalik dengan realita – nyatanya saya justru ingin memberikan standing ovation selepas lampu bioskop dinyalakan seraya mengusap satu dua bulir air mata yang menuruni pipi. Sungguh, mahakarya adalah satu kata yang teramat cocok untuk mendeskripsikan seperti apa 1917. Jika saja Sam Mendes (American Beauty, Skyfall) berada di ruang pemutaran kala itu, mungkin saya sudah menjabat tangannya erat-erat lalu memberinya pelukan. Rangkaian kata-kata ini mungkin terdengar amat hiperbolis, tapi sepanjang durasi merentang sepanjang 120 menit, hamba memang tak henti-hentinya dibuat terkagum-kagum oleh kepiawaian Pak Mendes dalam menghaturkan “dongengnya” mengenai sepenggal peristiwa yang terjadi dalam Perang Dunia pertama. Sebuah “dongeng” bermuatan topik yang jarang disentuh dalam genre war movies oleh sineas Hollywood ini diimplementasikan dengan sangat mengagumkan ke dalam bahasa audio visual. Tidak semata-mata membuai penonton melalui keajaiban teknisnya, 1917 juga menghanyutkan berkat narasinya yang memiliki hati.

January 25, 2020

REVIEW : AKHIR KISAH CINTA SI DOEL


“Aku telah menyakiti hati tiga perempuan yang aku cintai. Zaenab, Enyak, Sarah. Setelah 27 tahun, aku harus memilih. Semoga pilihanku ini Kau ridhoi, Ya Allah.”

Saat Si Doel The Movie (2018) dirilis ke bioskop, saya sempat mengira bahwa tontonan ini bukan semata-mata dimanfaatkan untuk mereguk keuntungan dari nostalgia, tetapi juga dipergunakan sebagai konklusi bagi kisah cinta segirumit yang terjalin diantara para karakter utama di sinetron legendaris Si Doel Anak Sekolahan. Tapi perkiraan saya ternyata salah, karena Rano Karno selaku kreator justru memilih untuk menanamkan konflik baru yang seketika membentangkan film menjadi trilogi. Membuat para penggemar beratnya kian gregetan lantaran si karakter tituler tak kunjung menentukan pilihannya, sementara kondisi di sekelilingnya sudah tak lagi kondusif. Sungguh menguji kesabaran memang laki-laki satu ini. Menilik babak pertama yang berjalan kelewat santai nyaris tanpa ada letupan berarti, saya sebetulnya tak terlampau bergairah mengikuti kelanjutan problematika asmara Doel (Rano Karno). Namun diluar dugaan, saya malah sangat bisa menikmati jilid keduanya yang bertajuk Si Doel The Movie 2 (2019) dimana persoalan mulai benar-benar meruncing dan sanggup pula tampil emosional. Kita menyaksikan pertemuan kembali Zaenab (Maudy Koesnaedi) dengan Sarah (Cornelia Agatha) setelah satu dekade tak saling bertegur sapa, kita menyaksikan pula bagaimana dua perempuan ini akhirnya menunjukkan perlawanannya kepada sang suami yang masih saja plin-plan. Saking emosionalnya, saya pun berharap si pembuat film akhirnya memberikan satu keputusan pasti di jilid ketiga alih-alih kembali mengombang-ambingkan perasaan para karakter maupun penontonnya.

January 22, 2020

REVIEW : BAD BOYS FOR LIFE


“I’ve never trusted anybody but you. I’m asking you, man. Bad Boys, one last time?”

Let me ask you a question, adakah diantara kalian yang menantikan Bad Boys for Life alias jilid ketiga dari Bad Boys? Ada? Tidak?... atau malah justru sama sekali tidak peduli? Saya pribadi sih, tidak menempatkannya ke dalam daftar wajib tonton di tahun 2020. Jilid pertamanya yang dirilis pada tahun 1995 memang keren. Melalui film tersebut, saya diperkenalkan kepada seorang sutradara bernama Michael Bay yang ternyata kompeten dalam mengkreasi tontonan laga, dan seorang aktor bernama Will Smith yang layak menyandang predikat “aktor laga masa depan”. Tapi sekuelnya bertajuk Bad Boys II (2003) tak ubahnya sajian kreasi Bay dalam beberapa tahun terakhir. Berdurasi sangat panjang dimana sebagian besar durasi diisi laga bombastis yang cenderung melelahkan dan tak ada guliran pengisahan yang membuat kita peduli kepada para karakter dalam film. Singkatnya, mewah tapi begitu kosong sampai-sampai mudah dilupakan. Maka begitu film kelanjutannya diputuskan untuk diluncurkan pada bulan Januari yang identik dengan “film buangan” usai proses pengembangan yang panjang nan berliku-liku, dan digarap oleh duo asal Belgia, Adil El Arbi-Bilall Fallah, yang jejak rekamnya belum banyak diketahui oleh publik internasional, tentu tak ada yang lebih bijak selain enggan menanamkan ekspektasi apapun kepada Bad Boys for Life. Dilingkupi sikap skeptis bahkan cenderung mencibir saat melangkahkan kaki ke bioskop, alangkah terkejutnya saya begitu mendapati film ini ternyata sangatlah menghibur. Malah, saya sama sekali tidak ragu untuk menyebut Bad Boys for Life sebagai seri terbaik dalam franchise-nya.

January 18, 2020

REVIEW : DOLITTLE


“It’s okay to be scared.”

Saat memperbincangkan ihwal dokter bernama Dolittle yang memiliki kapabilitas berbincang dengan hewan, ingatan sebagian besar dari kita mungkin langsung melayang ke film komedi bertajuk Dr. Dolittle (1998) yang dibintangi oleh Eddie Murphy. Maklum, selain cukup sering wara-wiri di televisi, film yang berlanjut sampai seri ketiga ini pun mempunyai kandungan hiburan mencukupi untuk ditonton beramai-ramai bersama keluarga. Tapi jika berkenan buat menelusuri sejarahnya lebih lanjut, dongeng Pak Dolittle ini sejatinya telah mencuat sedari tahun 1920-an berkat serangkaian buku kanak-kanak yang dicetuskan oleh Hugh Lofting. Popularitasnya yang melintasi zaman, membuat dongeng tersebut kerap menjadi incaran para pelaku di industri hiburan sehingga tak mengherankan versi adaptasinya dalam beragam format pun terus dibuat. Upaya terbaru untuk melestarikan cerita ini seraya memperkenalkannya kepada generasi penerus masa kini (…dan tentunya memanfaatkannya guna meraup keuntungan sebesar-besarnya) berasal dari Universal Pictures dengan titel Dolittle. Berbeda dengan interpretasi di tahun 1998 yang cenderung lebih bebas lepas, film berjudul awal The Voyage of Doctor Dolittle ini mencoba untuk lebih patuh kepada materi sumbernya dengan tak saja menghadirkan karakter-karakter yang sudah dikenal baik oleh para pembaca bukunya, tetapi juga melempar penonton jauh ke Era Victoria alih-alih memodifikasinya menggunakan latar pengisahan modern.

January 15, 2020

25 FILM TERBAIK 2019 VERSI CINETARIZ


Bisa melewati tahun 2019 dengan selamat adalah sebuah pencapaian hidup yang semestinya saya rayakan. Kamu mungkin menganggapnya berlebihan, tapi 2019 bakal selamanya saya kenang sebagai tahun terberat. Beragam persoalan menghujam secara bertubi-tubi seolah tanpa akhir yang lantas mendorong diri ini ke jurang depresi dan pada akhirnya secara resmi divonis mengidap Generalized Anxiety Disorder oleh psikiater. Sebuah bentuk “gangguan” yang senantiasa menempatkan saya dalam kecemasan berlebih dengan atau tanpa penyebab yang jelas. Menyenangkan sekali, bukan? Itulah mengapa, senarai “25 film terbaik 2019 versi Cinetariz” ini akan bersifat jauh lebih personal ketimbang sebelumnya. Bukan semata-mata unggul secara kualitas, bukan pula semata-mata akan saya rekomendasikan ke kalian dengan senang hati, tetapi juga mempunyai kedekatan representasi. Jadi jangan mengeluh berpanjang-panjang apabila kalian menjumpai judul-judul yang terkesan “acak” karena satu alasan jelas: senarai ini bersifat sangat subyektif. Semakin tinggi ranking suatu film, maka semakin tinggi pula level dekat di hati dan kemungkinan untuk ditonton berulang-ulang pun semakin besar.

January 7, 2020

REVIEW : NANTI KITA CERITA TENTANG HARI INI


“Gimana caranya bahagia, kalau sedih aja nggak tahu rasanya kayak apa?”

(Ada sekelumit bahasan mengenai menit-menit puncak di paragraf akhir. Bagi beberapa orang mungkin dianggap spoiler, meski saya tidak menjabarkan secara spesifik.)

Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini adalah sebuah fenomena di khasanah perbukuan tanah air. Betapa tidak, saat pertama kali diterbitkan pada bulan Oktober 2018 silam, buku rekaan Marchella FP tersebut mampu terjual lebih dari 5 ribu eksemplar hanya dalam kurun waktu sehari. Itupun sebatas mencakup Pulau Jawa dan belum pula ditambahkan dengan penjualan melalui pre-order yang tak kalah dahsyatnya. Hingga ulasan ini diturunkan, buku berisi kutipan kalimat-kalimat perenungan hidup ini sudah mencapai cetakan ke-12 dan masih banyak diburu oleh khalayak ramai. Mengagumkan, bukan? Menilik respon yang sedemikian antusias dari masyarakat, tentu tak mengherankan jika kemudian Visinema Pictures meminang Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini untuk diekranisasi ke layar lebar. Seperti halnya Imperfect (2018) maupun Aku, Kau, dan KUA (2014) yang juga disadur dari buku non-fiksi tanpa ada narasi di dalamnya, Angga Dwimas Sasongko selaku sutradara beserta Jenny Jusuf dan Melarissa Sjarief yang membantu Angga dalam memoles skenario pun sejatinya mengkreasi satu jalinan pengisahan baru. Yang menjadi landasan mereka ada dua: 1) karakter bernama Awan yang dalam materi sumber merupakan “tokoh kunci” yang dikisahkan mengirim surat berisi wejangan-wejangan untuk anaknya di masa depan, dan 2) jalinan pengisahannya adalah elaborasi dari kalimat-kalimat bernada kontemplatif di bukunya yang secara garis besar memperbincangkan tentang keluarga, kebahagiaan dan kehidupan. Sebuah materi yang mesti diakui menggugah selera lantaran terasa begitu membumi, begitu dekat, dan begitu personal bagi banyak orang.

January 3, 2020

REVIEW : THE GRUDGE (2020)


“I went to the house. I think something followed me home.”

“Astaghfirullah” adalah reaksi pertama yang saya lontarkan selepas menyaksikan interpretasi baru dari The Grudge pada malam tahun baru kemarin. Sebuah reaksi yang umumnya muncul seusai hamba menonton sebuah film yang membuat stok kesabaran menipis. Bayangkan, ketimbang bersuka cita bersama kawan-kawan dekat, menyantap makanan lezat, atau melihat para musisi mempertontonkan kecintaannya pada musik di atas panggung, saya justru menghabiskan 90 menit untuk duduk di dalam bioskop guna menyimak sebuah tontonan yang sama sekali tidak mempunyai suka cita di dalamnya. Yang ada hanyalah penderitaan, penderitaan, dan kebosanan. Hingga pada satu titik, saya meyakini bahwa penderitaan yang dialami oleh para karakter dalam film ini tak sebanding dibanding penderitaan yang harus dilewati penonton yang telah memutuskan untuk memilih The Grudge sebagai film penutup di tahun 2019 (atau film pembuka 2020). Entah apa yang telah merasuki saya sampai-sampai nekat menebus satu tiket tontonan memedi ini sekalipun masih dibuat trauma oleh Rings (2017) yang tak kalah amsyongnya. Usai mengolesi kepala menggunakan satu botol minyak angin beraroma terapi lalu melahap sepiring steak sebagai comfort food, saya pun bisa kembali berpikir jernih untuk berkata ternyata ada dua alasan utama yang melatarinya: 1) kecintaan pada franchise Ju-On (atau The Grudge untuk remake) yang mempunyai satu karakter demit sensasional bernama Kayako, dan 2) jejak rekam sang sutradara, Nicolas Pesce (The Eyes of My Mother), yang cukup meyakinkan. Ditambah lagi adanya fakta bahwa Sam Raimi turut bertindak sebagai produser, saya tentu optimis The Grudge versi anyar ini akan lebih mendingan ketimbang dua jilid pendahulunya yang ternyata oh ternyata terbukti salah kaprah. Duh, duh, duh…
Mobile Edition
By Blogger Touch