“I hoped today would be a good day. Hope is a dangerous thing.”
Saat melangkahkan kaki ke bioskop
untuk menonton 1917, saya sejatinya sudah
tahu akan menyaksikan film yang bagus. Materi promosinya terlihat menggiurkan,
kritikus asing menghujaninya dengan puja-puji, dan para juri Oscar pun tidak
keberatan untuk menempatkan film ini sebagai nomine ke dalam 10 kategori. Singkat
kata, mustahil untuk tidak menanamkan ekspektasi tinggi kala menonton 1917. Mengira mungkin diri ini tidak
akan terlampau terpukau – well,
umumnya pengharapan kelewat tinggi justru berbanding terbalik dengan realita –
nyatanya saya justru ingin memberikan standing
ovation selepas lampu bioskop dinyalakan seraya mengusap satu dua bulir air
mata yang menuruni pipi. Sungguh, mahakarya adalah satu kata yang teramat cocok
untuk mendeskripsikan seperti apa 1917.
Jika saja Sam Mendes (American Beauty,
Skyfall) berada di ruang pemutaran
kala itu, mungkin saya sudah menjabat tangannya erat-erat lalu memberinya
pelukan. Rangkaian kata-kata ini mungkin terdengar amat hiperbolis, tapi sepanjang
durasi merentang sepanjang 120 menit, hamba memang tak henti-hentinya dibuat
terkagum-kagum oleh kepiawaian Pak Mendes dalam menghaturkan “dongengnya”
mengenai sepenggal peristiwa yang terjadi dalam Perang Dunia pertama. Sebuah “dongeng”
bermuatan topik yang jarang disentuh dalam genre war movies oleh sineas Hollywood ini diimplementasikan dengan
sangat mengagumkan ke dalam bahasa audio visual. Tidak semata-mata membuai penonton
melalui keajaiban teknisnya, 1917 juga
menghanyutkan berkat narasinya yang memiliki hati.