Pages

February 23, 2020

REVIEW : THE GENTLEMEN


“If you wish to be the king of the jungle, it’s not enough to act like a king. You must be the king. There can be no doubt. Because doubt causes chaos and one’s own demise.”

Usai beberapa tahun terakhir dipercaya untuk menggarap film-film produksi studio besar semacam Sherlock Holmes (2009), The Man from U.N.C.L.E. (2015), King Arthur: Legend of the Sword (2017), sampai versi live action dari Aladdin (2019), Guy Ritchie mencoba untuk kembali ke akarnya yang menapaki ranah komedi-aksi-kriminal dalam film terbarunya yang bertajuk The Gentlemen. Bagi yang telah mengikuti jejak rekam sang sutradara sedari awal mula karirnya, tentu mengetahui bahwa namanya melambung berkat pengarahannya yang penuh gaya di Lock, Stock and Two Smoking Barrels (1998). Bersama dengan Snatch (2000), Ritchie dikenal melalui kegemarannya bermain-main dengan narasi berkenaan dunia para pelaku kriminal di Inggris, gaya penyuntingan yang rancak, penggunaan visual gerak lambat, serta struktur penceritaan yang enggan dipaparkan secara linear. Meski satu dua ciri khasnya tetap dipertahankan kala dirinya membesut film adaptasi berbujet raksasa, tapi dia baru benar-benar resmi kembali ke sajian yang membesarkannya lewat The Gentlemen. Disini, dia sekali lagi mengandalkan pemain ansambel pria untuk melakoni manusia-manusia serakah yang tak berkeberatan bertindak melewati batas guna memuaskan ego, merengkuh keuntungan bagi diri sendiri, serta bertahan hidup. Sebuah potret kelam manusia yang dihantarkan dalam mode komedi laga yang penuh kesenangan, gelak tawa, dan kesukaan penonton masa kini: plot twist.  

Dalam menit-menit awal The Gentlemen, penonton dipertemukan dengan seorang penyelidik swasta bernama Fletcher (Hugh Grant) yang mendatangi Raymond (Charlie Hunnam) di suatu malam untuk memerasnya. Ancaman yang diajukan oleh Fletcher adalah, beri dia imbalan sebesar 20 juta poundsterling atau seluruh rahasia yang disimpan oleh atasan Raymond, Mickey Pearson (Matthew McConaughey), akan dibeberkannya ke publik. Dari sini, penonton disodori kilas balik yang menjabarkan tentang persoalan yang sejatinya melingkungi karakter-karakter ini dimana semuanya berawal dari Mickey. Pria asal Negeri Paman Sam tersebut dikisahkan telah berhasil membangun kerajaan bisnis mariyuana di Inggris, dan berniat untuk pensiun dini demi menikmati hidup bersama istrinya, Rosalind (Michelle Dockery). Agar bisnis beserta “perkebunan rahasia” miliknya tidak berakhir sia-sia, dia pun berburu calon pembeli yang lantas menghantarkannya pada Matthew (Jeremy Strong). Di waktu bersamaan, Mickey turut didekati oleh gangster Cina, Dry Eye (Henry Golding), yang menginginkan kerajaan bisnis miliknya ini dan tidak bersedia menerima penolakan. Untuk membuat persoalan menjadi semakin kompleks, film menghadirkan Coach (Colin Farrell) yang tanpa sengaja terseret ke drama ini setelah anak didiknya merampok perkebunan mariyuana milik Mickey dan editor suatu tabloid kenamaan, Big Dave (Eddie Marsan) yang menyimpan dendam kesumat kepada Mickey. Guna menjatuhkan Mickey, Big Dave pun merekrut Fletcher untuk menggali sederet informasi rahasia yang belakangan ternyata justru dimanfaatkan oleh Fletcher demi kepentingannya sendiri.


Terdengar njelimet ya? Mesti diakui, The Gentlemen memang meminta konsentrasi penuh dari penontonnya pada awal mula. Terhitung menantang bagi mereka yang belum pernah bersentuhan dengan karya-karya perdana Bung Ritchie. Ada banyak karakter yang diperkenalkan, ada sederet konflik yang dipaparkan, dan kita diminta untuk menarik benang merah atas relasi konflik dengan karakter-karakter ini. Berhubung penyampaiannya dicelotehkan menggunakan dialog-dialog beritme cepat yang meluncur dari mulut Fletcher, memalingkan pandangan dari layar bioskop atau meninggalkan ruang pemutaran demi ke toilet tentu sangat tidak disarankan… kecuali kamu bersedia untuk tersesat di menit-menit selanjutnya. Sepintas lalu, deskripsi hamba mengenai paruh awal The Gentlemen ini memang tampak “menyeramkan”. Menyiratkan bahwa film bukanlah produk hiburan yang mudah dikonsumsi. Tapi percayalah, kenyataannya tidaklah demikian. Ketika kamu sudah memahami siapa-siapa saja yang berpartisipasi dalam drama “perebutan kerajaan bisnis Mickey” – termasuk kepentingan setiap karakter – maka film akan seketika bertransformasi menjadi sajian yang sangat mengasyikkan buat dicicipi. Keasyikkan yang ditimbulkan bukan berasal dari kemunculan momen-momen laganya yang secara mengejutkan kuantitasnya tergolong rendah, melainkan bersumber dari narasinya yang menggelembungkan keingintahuan, humor-humornya yang menggelitik, sampai interaksi antar karakter yang terlihat bernyawa. Utamanya saat kita berbicara mengenai tektokan lucu nan seru yang berlangsung diantara Fletcher dengan Raymond.

Dua karakter inilah yang paling mencuri perhatian di sepanjang durasi The Gentlemen. Mereka mempunyai karakteristik bertolak belakang yang unik, mereka dimainkan dengan sangat baik oleh Hugh Grant beserta Charlie Hunnam, dan mereka mempunyai jatah tampil terbesar lantaran narasi dalam film ini merupakan visualisasi obrolan kedua karakter tersebut. Fletcher menjabarkan apa-apa saja yang terjadi berdasarkan skenario yang telah disusunnya (ya, ketimbang dijual ke Big Dave, Fletcher justru berniat menjualnya ke studio film) dimana menurut kesaksian dia sendiri plus keberatan yang diajukan oleh Raymond, tidak seluruh peristiwa berbasis fakta. Terdapat beberapa pemelintiran maupun dramatisasi demi memunculkan greget yang secara otomatis memosisikan Fletcher sebagai unreliable narrator. Alhasil, kita tidak saja dibuat sulit percaya kepada karakternya, tetapi kita juga dibuat senantiasa mempertanyakan kebenaran atas ceritanya. Benarkah apa yang telah diutarakan oleh Fletcher? Atau jangan-jangan, apa yang dipaparkannya kepada Raymond hanyalah rekaan semata? Semakin dalam kita mendengarkan “dongeng” dari si penyelidik serakah tersebut, semakin tinggi pula keragu-raguan dan kepenasaran ini. Apalagi, Raymond si pendengar tidak banyak terlihat memberikan respon yang tentu saja memantik keingintahuan. Melalui beberapa momen, penonton telah diberikan informasi bahwa orang kepercayaan Mickey ini bukanlah karakter naif. Maka saat dia memilih untuk menanggapi seadanya, ada dua kemungkinan yang muncul: 1) dia mengetahui kebenaran yang lebih valid, dan 2) dia sedang memikirkan agenda tertentu berdasarkan kata-kata yang disusun oleh Fletcher.


Performa Hugh Grant yang keluar dari bayang-bayang peran lelaki idaman dengan melakoni karakter yang luar biasa menjengkelkan (sampai kadang hamba pengen nampol saking gregetannya!), dan Charlie Hunnam yang tampil tenang-tenang menghanyutkan adalah kunci mengapa “obrolan di rumah Raymond” bisa terasa menggigit. Tidak hanya dua pemain ini, The Gentlemen memiliki pemain ansambel solid yang konfigurasinya tersusun atas: Matthew McConaughey yang terlihat penuh wibawa sebagai pebisnis kelas kakap yang disegani sekaligus ditakuti, Jeremy Strong yang memberi kesan intimidatif dibalik pembawaan angkuhnya, Colin Farrell yang lucu dalam peran pelatih baik-baik yang ikut terlibat perkara pelik, Henry Golding yang menjajal peran berbeda sebagai gangster anyaran, Michelle Dockery yang tampil badass sekalipun karakternya agak stereotip, sampai Eddie Marsan yang menyebalkan sebagai editor tabloid yang tampaknya diniatkan Ritchie untuk menyuarakan kritiknya mengenai betapa toxic-nya media di Inggris. Apiknya permainan lakon dari barisan pemain ini tidak saja memperlengkap pesona The Gentlemen yang menguar kuat sedari mula, tetapi juga memungkinkan bagi film untuk terasa mengasyikkan buat diikuti hingga babak pamungkas yang dilapisi sejumlah plot twist. Fun!

Outstanding (4/5)


1 comment: