Pages

February 3, 2020

REVIEW : MANGKUJIWO


“Iblis terkuat bersemayam di sini.”

Saat sebuah film mereguk untung besar, tentulah wajar tatkala pihak rumah produksi lantas memutuskan untuk mengembangkannya menjadi satu “kerajaan” berwujud franchise. Disamping Danur beserta “keluarga kecilnya”, perfilman Indonesia juga mempunyai Kuntilanak keluaran MVP Pictures sebagai tontonan horor yang beranak pinak. Selepas era Julie Estelle berakhir, si empunya film lantas melanjutkan Kuntilanak ke era baru dengan pendekatan horor keluarga dimana dua instalmen pertamanya memperoleh respon antusias dari khalayak ramai. Menilik pencapaian yang memuaskan di tangga box office, MVP Pictures pun seketika memberikan lampu hijau bagi pembuatan dua seri lain yang mencakup sebuah sekuel dan sebuah prekuel. Selagi para penggemarnya menantikan kemunculan instalmen ketiga yang baru direncanakan rilis pada libur Lebaran mendatang, satu kisah pendahuluan pun dilepas dengan tajuk Mangkujiwo. Dalam film yang ditangani oleh Azhar Kinoi Lubis (Kafir Bersekutu dengan Setan, Ikut Aku ke Neraka) ini, penonton disodori materi penceritaan yang mengetengahkan pada proses lahirnya sang villain utama dari franchise ini yang tak lain tak bukan adalah Mbak Kunti sendiri. Sebuah materi yang mesti diakui sangat menggugah keingintahuan dan hasrat menonton, terlebih bagi mereka yang telah setia mengikuti seri film ini sedari satu dekade silam.

Dalam Mangkujiwo, penonton diperkenalkan kepada Brotoseno (Sujiwo Tejo) yang menyimpan dendam kesumat kepada teman lamanya, Cokrokusumo (Roy Marten). Alasannya, karena Cokrokusumo telah memfitnahnya sedemikian rupa sehingga Brotoseno pun kehilangan pekerjaannya di Keraton. Guna mewujudkan impiannya untuk menuntut balas atas perlakuan keji yang telah dilakukan oleh mantan rekannya tersebut, Brotoseno pun menyelamatkan seorang perempuan bernama Kanti (Asmara Abigail) yang ditemukan dalam keadaan terpasung di kandang kerbau. Pada mulanya, baik Kanti maupun penonton mengira, ini adalah aksi penyelamatan yang heroik. Tapi tak berselang lama usai perempuan yang mulai kehilangan kewarasannya tersebut terbebas dari pasungan, dia kembali dipasung oleh Brotoseno di salah satu ruangan dalam rumahnya. Hari-harinya bersama sang “penyelamat” pun tak lebih baik karena Kanti mendapat siksaan demi siksaan yang melibatkan hewan-hewan menjijikan beserta makhluk-makhluk gaib, dan dia pun harus mengonsumsi makanan dengan lauk berupa organ dalam tikus. Ditengah upaya Brotoseno dalam menempa Kanti sehingga dia dapat menjadi senjata pembunuh sesuai keinginannya, Cokrokusumo yang baru saja mendapatkan serangan tak terduga pun menyiapkan bala bantuan yang terdiri dari orang-orang kepercayaannya termasuk Nyi Kenanga (Djenar Maesa Ayu) yang mempunyai keahlian dalam mendayagunakan kekuatan dari loji pusaka milik sang majikan.


Seperti halnya kala melantunkan Kafir Bersekutu dengan Setan (2018), Pak Lubis pun emoh bermain-main dengan jumpscares guna membuat penonton terperanjat dari kursi bioskop ketika menarasikan Mangkujiwo. Selain memanfaatkan atmosfer pengusik kenyamanan yang bersumber dari pekatnya mistisisme Jawa dalam melingkungi kehidupan para karakternya, film turut mempergunakan imaji-imaji mengganggu yang akan “menggelitiki” perut-perut penonton yang lemah. Entah itu kalajengking berikut kawanannya sesama hewan yang terpinggirkan, perut tikus yang dikoyak-koyak lalu dihidangkan sebagai lauk, maupun luka-luka yang menghiasi tubuh. Saking terusiknya, saya beberapa kali terpaksa mengenyahkan pandangan dari layar bioskop terutama dalam adegan Brotoseno mengunjungi “kamar” Kanti. Sebuah lokasi dimana visual-visual menggelisahkan ini bersemayam. Jadi, saya sangat menyarankan untuk tidak menonton film ini dalam keadaan perut kenyang atau seraya mengudap cemilan karena, well… tidak aman bagi lambung. Kesanggupan Mangkujiwo dalam menciptakan teror yang memberi mimpi buruk tanpa perlu mengumbar penampakan (yang mana memang nyaris absen di sini!) ini tentu tak lepas dari sokongan sinematografi dan tata artistik yang rupawan. Berkatnya, kita seolah-olah tengah berkunjung ke rumah Brotoseno, dan berkatnya pula, kita dapat sedikit banyak merasakan apa yang dirasakan oleh Kanti. Keinginan untuk terbebas dari “neraka dunia” yang memerangkapnya.

Ndilalah, Mangkujiwo dimeriahkan oleh barisan pemain yang kompeten khususnya Asmara Abigail yang dibuat tak berdaya di sini, Sujiwo Tejo yang mengerikan, dan Djenar Maesa Ayu yang manipulatif. Elemen teknis yang mumpuni beserta performa pelakon yang baik inilah yang cukup membantu menaikkan derajat Mangkujiwo. Saya beri imbuhan penekanan cukup, karena para pelakon ini pun menghadirkan problematika tersendiri lantaran enggan menggunakan Bahasa Jawa sebagai dialog utama sementara para karakter memiliki keterkaitan dengan Keraton (malah ada satu karakter yang berbincang dengan Bahasa Indonesia lancar tanpa sedikitpun aksen Jawa bak anak ibukota negara, duh!). Tapi saya ikuti dengan kata membantu, karena sejatinya akting mereka masih lumayan mengalihkan kita dari kendala lebih krusial di sektor narasi. Ketimbang menggulirkan penceritaan secara linear, film yang naskahnya ditulis oleh Dirmawan Hatta ini justru mengaplikasikan teknik pengisahan maju mundur demi menutup rapat misteri yang dikandungnya. Di atas kertas memang terdengar menarik. Namun saat departemen penyuntingan gambar tidak mampu menyambungnya secara mulus, ditambah lagi film tidak memberi penanda waktu yang jelas, pada saat itulah cara bercerita semacam ini menimbulkan kendala. Menimbulkan kebingungan pada penonton yang perlahan tapi pasti mereduksi keingintahuan pada misteri dalam film. Pilihan berkisah yang beresiko ini pun bukan satu-satunya alasan mengapa Mangkujiwo urung bekerja secara semestinya karena naskah turut berperan serta di sini. Mengatasnamakan dirinya sebagai prekuel, sayangnya film tak pernah benar-benar menjabarkan soal Pengilon Kembar (cermin terkutuk yang ada dalam seri Kuntilanak) berikut aturan mainnya.


Tiba-tiba kita sudah mendapatinya di sana, dan tiba-tiba pula cermin ini identik dengan Mbak Kunti. Asal mulanya hanya dijabarkan sekilas lalu, tanpa pernah membuat penonton bisa memahami kesaktiannya sampai-sampai diperebutkan dua pihak.  Keinginan untuk menutup rapat misteri dengan lompatan latar waktu yang teramat sering turut berujung pada tereduksinya proses. Mangkujiwo tidak memberi penonton kesempatan untuk menyaksikan karakter tertentu bertransformasi ke arah kegelapan akibat kuota durasi yang tak lagi mencukupi. Film seolah lebih antusias dalam menjaga twist ketimbang memberi narasi yang membuat kita bersedia sedikit menaruh kepedulian terhadap karakter-karakter bengis ini. Meski informasi memang ada disematkan melalui lontaran dialog, tapi mengabaikan metode “show don’t tell” menyebabkan segala keriuhan di babak ketiga terasa kurang beralasan, kurang greget, dan kurang mencekam. Semuanya seakan berlangsung secara tiba-tiba, termasuk ketika Sadi (Septian Dwicahyo) ujug-ujug menuliskan lirik tembang Lingsir Wengi di atas tanah maupun saat Nyi Kenanga memperlihatkan agenda terselubung yang motifnya sulit untuk dimengerti. Segalanya mendadak berubah, lalu perubahan ini pun ditutup secara cepat. Memunculkan dengusan kecewa lantaran film tak juga memberi babak penebusan memuaskan usai mengajak kita mengikuti jalinan pengisahan berbelit-belit dari sebuah cerita yang sejatinya sederhana saja.

Acceptable (2,5/5)

2 comments:

  1. Sebenarnya Kanthi dari awal menggumamkan Lingsir Wengi dan ada 1 adegan setelah penyiksaan, Kanthi nembang Lingsir Wengi lalu didengar oleh Sadi. Jadi si Sadi tahu betul Kanthi menyukai lagu itu sambil mengelus-elus perutnya.
    Sehingga waktu adegan Sadi menulis Lingsir Wengi di atas pasir itu aku ga seberapa kaget sih, karena aku memahaminya itu cara Sadi memperkenalkan diri ke Uma bahwa dirinya dulu pernah mengenal Kanthi, ibu kandungnya Uma.

    Juga sejatinya agendanya Nyi Kenanga itu adalah mempersatukan Pengilon Kembar, dan sukses.
    Hanya kenapa Nyi Kenanga ngotot harus bersatu itu belum terjawab, membuka peluang sekuel.
    Yang terungkap itu cuman identitas Nyi Kenanga itu ketika Brotoseno di mid-credit scene bilang bahwa "Sekarang kamu sudah menjadi seorang Putri" = baru aku ngeh kalau Nyi Kenanga itu nantinya adalah Mbah Putri di Kuntilanak 3 (2008). Sebutan "Putri" itu cuma gelar doang sih, karena Nyi Kenanga mengabdi kepada loji pusaka.

    Lalu cermin Brotoseno kenapa berisi roh Kanthi ya karena Kanthi bunuh diri di ruangan itu dalam keadaan hamil (sesuai mitos kuntilanak yaitu perempuan yang bunuh diri dalam keadaan masih mengandung). Tapi, saat itu Kanthi masih belum terkurung di cermin itu. Kanthi baru terkurung ketika Brotoseno menancapkan paku cermin (Nyi Kenanga nyebutnya itu Kunci Pasak di mid-credit scene) yang ada di adegan mid-credit scene-nya. Makanya Nyi Kenanga bilang "Kunci Pasak ini memberi kita waktu untuk kendalikan Uma" yang artinya mereka (Broto dan Nyi Kenanga) sudah menguasai Kanthi dan Uma. Mid-credit scene penting banget sih karena disitu banyak clue yang terbongkar sampai akhirnya kita tahu juga kalau Karmila pindah kubu ke Broto buat cari aman.

    Aku sampai nonton 2-3 kali di iflix supaya paham sama detail yang aku ceritakan diatas, sambil rewatch Kuntilanak 2006-2019.
    Open sequel banget sih karena kononnya mau jadi trilogi juga, makanya dibiarin plot hole.

    Kalau dari aku 3/5 sih karena suka sama elemen Jawa sama ceritanya, meskipun jahitannya kurang rapi dan harus nonton lebih dari sekali serta nyalain Eng Sub biar lebih jelas. Hehehe :D

    ReplyDelete