“Too bad they fixed her face, but couldn’t fix her inner.”
Bagi yang mengikuti dunia hiburan
Thailand tentu tak lagi asing dengan Diary
of Tootsies. Salah satu webseries
paling banyak dibicarakan dan ditonton saat ini. Atau dengan kata lain,
fenomenal. Guliran pengisahan dari serial yang telah melahirkan dua musim
tersebut berkisar pada petualangan mencari cinta empat karakter utamanya. Mereka
dideskripsikan sebagai tootsies – bahasa
gaul di Negeri Gajah Putih yang bermakna “gay rempong”. Ya, keempat tokoh
sentral dalam webseries ini adalah
tiga lelaki gay dan satu perempuan lesbian. Sebuah konfigurasi karakter yang
sama sekali tidak terbayang akan melenggang mulus di dunia hiburan Indonesia
yang amat konservatif. Itulah mengapa saat versi layar lebar serial ini, Tootsies and the Fake, diluar dugaan
bisa tayang di bioskop-bioskop tanah air, berbagai penyesuaian pun turut
diterapkan seperti: 1) judul diubah menjadi Cuties
and the Fake meski hamba ragu masyarakat negeri ini paham dengan makna sesungguhnya
dari kata tootsie (oops, sorry not sorry!), 2) klasifikasi
usia yang dipatok ke batasan teratas yaitu 21+ lantaran konten yang dinilai terlampau
berani, dan 3) pemberlakuan sensor mandiri dimana pihak importir film terpaksa meniadakan
satu subplot dengan total durasi sekitar 18 menit demi memperoleh izin tayang
dari Lembaga Sensor Film (LSF). Sungguh sebuah perjuangan tersendiri, bukan?
Padahal jika kamu bersedia menontonnya tanpa disertai penghakiman maupun
sejenisnya, Cuties and the Fake sejatinya
bukanlah tontonan “berbahaya” dengan adegan-adegan vulgar nan menyesatkan di
dalamnya. Ini hanyalah sajian komedi lebay nirfaedah yang tujuannya adalah membuat
hati para penontonnya menjadi riang gembira.
Selaiknya materi sumbernya,
jajaran karakter dalam Cuties and the
Fake masih tersusun atas Gus (Petch Paopetch), Golf (Pingpong Thongchai),
Kim (Ter Ratthanant), dan Natty (Peak Pattarasaya). Pada mula-mula pengisahan
yang dinarasikan oleh Gus, kita mendapati bahwa setiap dari mereka memiliki
persoalannya masing-masing. Dari Gus yang menyimpan rahasia dari kekasihnya,
Win (Gun Sawasdiwat), mengenai kebenciannya pada anak-anak, lalu Golf yang
tengah dirundung patah hati, kemudian Kim yang karirnya sebagai pramugara
mendadak berakhir karena satu insiden amat bodoh yang bikin hamba ngakak
gegulingan, sampai Natty yang terancam kehilangan hak warisnya apabila tak
kunjung memberikan momongan. Tapi empat problematika pelik ini lantas seolah
tak ada artinya saat Golf dan Kim membawa satu masalah besar bagi
kawan-kawannya. Masalah tersebut bermula kala Golf yang berprofesi sebagai makeup artist berjumpa dengan idolanya,
Cathy (Araya Hargate), di satu lokasi pemotretan. Usai sedikit bercakap-cakap, Cathy
mendadak mengalami satu insiden yang membuatnya terpaksa beristirahat total di
ranjang. Berhubung dalam waktu dekat sang megabintang memiliki satu proyek
besar yang tak bisa dibatalkan, maka sang manager, Koya (Pompam Niti), meminta
Golf dan Kim untuk menemukan solusinya atau mereka dimintai uang ganti rugi
sebesar 50 juta baht. Dikejar oleh waktu, keduanya seketika berburu perempuan
berwajah seperti Cathy yang lantas membawa mereka ke pedagang kaki lima bernama
Nam. Walau secara wajah terbilang identik dengan Cathy, Nam memiliki perangai
yang berbeda jauh sehingga memaksa geng tootsie
untuk turun tangan agar segalanya berjalan sesuai harapan sampai hari-H.
Sejauh mana kamu bisa menerima Cuties and the Fake bukan semata-mata
ditentukan oleh seberapa akrab dirimu dengan versi serialnya, melainkan lebih
kepada kesanggupanmu dalam mencerna gaya berkelakarnya yang cenderung semau gue.
Antisipasi munculnya guyonan slapstick
diiringi musik beserta ekspresi wajah luar biasa lebay, olok mengolok, toilet jokes, banyolan kentut, permainan
kata, hingga referensi budaya populer. Kurang lebih, apa yang diaplikasikan
oleh sang sutradara, Kittiphak Thongauam, di sini tak jauh berbeda dengan
guyonan-guyonan yang sering kita jumpai dalam tontonan komedi asal Thailand. Jika
kamu tidak keberatan melihat adegan-adegan lucu bin nyeleneh semacam terpantiknya
suatu kehebohan akibat seorang perempuan yang kebelet pupita, keapesan tak
disangka-sangka karena wajah seorang lelaki yang penuh botox, atau tarian “dangdut”
yang out-of-nowhere dari beberapa
karakter untuk meredakan stres, maka Cuties
and the Fake jelas cocok dikudap olehmu. Tapi jika humor absurd bukanlah
jalan ninjamu, maka film ini kemungkinan besar hanya akan memberimu rasa jenuh.
Apalagi, si pembuat film melontarkannya secara tak berkesudahan sedari detik
pembuka hingga detik penutup dan ditempatkan pula di berbagai penjuru. Kita benar-benar
dikondisikan untuk terus menertawakan kenelangsaan berikut tingkah polah para
karakternya di sepanjang durasinya. Mengingat pendekatannya ini, tentu tak
terelakkan adanya beberapa momen yang memantik “paduan suara jangkrik”
bereaksi. Namun begitu elemen komediknya sanggup mengenai sasarannya, wah… saya
sampai ketawa terjungkal-jungkal.
Sebagai seseorang yang disebut
memiliki selera humor ajaib oleh beberapa kawan karib, saya jelas menikmati
suguhan yang ditawarkan Cuties and the
Fake. Bagi saya, ini adalah sajian komedi nyeleneh dan tak berfaedah yang membahagiakan
hati. Mengasyikannya lagi, jajaran pemainnya pun tampak menikmati sekali peran
yang mereka bawakan dengan tak berkeberatan buat tampil malu-maluin di depan
kamera. Dari empat personil utama, apresiasi layak disematkan kepada Pingpong
Thongchai yang ekspresinya selalu melewati batas maksimal dan Ter Ratthanant
yang kehebohannya seolah-olah tak mengenal kata rem. Membentuk chemistry yang begitu lekat, keduanya
menjadi nyawa utama bagi film sekalipun dua kawannya yang lain pun
berkesempatan memiliki momen untuk bersinar. Hanya saja, yang menjadi kendala
bagi Peak Pattarasaya adalah sosok Natty yang agak terpinggirkan seiring
berjalannya durasi. Dia seolah terpisah dari kawanannya dan tidak memiliki
banyak andil terhadap pergerakan narasi. Keberadaannya terkesan untuk sebatas
membahagiakan penggemar versi serial tanpa benar-benar mempunyai peranan berarti.
Agak mengecewakan, seperti halnya Petch Paopetch yang diberi subplot sedikit terlalu
dramatis sehingga ada kalanya berdampak pada sedikit tereduksinya kesenangan
utamanya di menit-menit pamungkas yang gila-gilaan. Bagi para penggemar berat
yang menanti resolusi dari kisah kasih Gus dengan sang mantan, cabang cerita
ini boleh jadi memuaskan (tapi kalau kamu nonton di bioskop, subplot tersebut
hilang tak berbekas). Tapi bagi penonton anyar, kemunculannya justru memberikan
distraksi dan memperlambat laju pengisahan yang tadinya sudah begitu lincah nan
bergegas. Sebuah resiko yang sebetulnya wajar bagi film adaptasi materi populer.
Yang saya dambakan dari sajian
rusuh ini hanyalah melihat Pingpong beserta Ter menggila bersama Araya Hargate
yang senantiasa mencuri perhatian di setiap kemunculannya. Dia memberi lakon
memuaskan sebagai dua karakter bertolak belakang; Cathy (hmmm… sebenarnya sih
Cathry alias Catriona Kannika Wang) yang keanggunannya bikin jatuh hati dan Nam yang sikap urakannya membuat kita berharap tak pernah mengenalnya. Kesediaannya untuk lepas kendali
dengan menghempas segala urat malu kala melakonkan Nam menjadi satu pemandangan
mengasyikkan dalam Cuties and the Fake. Apalagi,
comic timing-nya juga juara sehingga
banyolan-banyolan yang diperagakan atau dilontarkannya nyaris selalu membuat
saya ingin membalik-balikkan kursi saking ngakaknya. Fun!
Exceeds Expectations (3,5/5)
Nonton versi sensored apa unsensored?
ReplyDeletedaftar situs judi slot online terpercaya
ReplyDeletedaftar situs slot gacor
daftar situs slot
daftar slot gacor
daftar slot online