Pages

March 14, 2020

REVIEW : CUTIES AND THE FAKE


“Too bad they fixed her face, but couldn’t fix her inner.”

Bagi yang mengikuti dunia hiburan Thailand tentu tak lagi asing dengan Diary of Tootsies. Salah satu webseries paling banyak dibicarakan dan ditonton saat ini. Atau dengan kata lain, fenomenal. Guliran pengisahan dari serial yang telah melahirkan dua musim tersebut berkisar pada petualangan mencari cinta empat karakter utamanya. Mereka dideskripsikan sebagai tootsies – bahasa gaul di Negeri Gajah Putih yang bermakna “gay rempong”. Ya, keempat tokoh sentral dalam webseries ini adalah tiga lelaki gay dan satu perempuan lesbian. Sebuah konfigurasi karakter yang sama sekali tidak terbayang akan melenggang mulus di dunia hiburan Indonesia yang amat konservatif. Itulah mengapa saat versi layar lebar serial ini, Tootsies and the Fake, diluar dugaan bisa tayang di bioskop-bioskop tanah air, berbagai penyesuaian pun turut diterapkan seperti: 1) judul diubah menjadi Cuties and the Fake meski hamba ragu masyarakat negeri ini paham dengan makna sesungguhnya dari kata tootsie (oops, sorry not sorry!), 2) klasifikasi usia yang dipatok ke batasan teratas yaitu 21+ lantaran konten yang dinilai terlampau berani, dan 3) pemberlakuan sensor mandiri dimana pihak importir film terpaksa meniadakan satu subplot dengan total durasi sekitar 18 menit demi memperoleh izin tayang dari Lembaga Sensor Film (LSF). Sungguh sebuah perjuangan tersendiri, bukan? Padahal jika kamu bersedia menontonnya tanpa disertai penghakiman maupun sejenisnya, Cuties and the Fake sejatinya bukanlah tontonan “berbahaya” dengan adegan-adegan vulgar nan menyesatkan di dalamnya. Ini hanyalah sajian komedi lebay nirfaedah yang tujuannya adalah membuat hati para penontonnya menjadi riang gembira.

Selaiknya materi sumbernya, jajaran karakter dalam Cuties and the Fake masih tersusun atas Gus (Petch Paopetch), Golf (Pingpong Thongchai), Kim (Ter Ratthanant), dan Natty (Peak Pattarasaya). Pada mula-mula pengisahan yang dinarasikan oleh Gus, kita mendapati bahwa setiap dari mereka memiliki persoalannya masing-masing. Dari Gus yang menyimpan rahasia dari kekasihnya, Win (Gun Sawasdiwat), mengenai kebenciannya pada anak-anak, lalu Golf yang tengah dirundung patah hati, kemudian Kim yang karirnya sebagai pramugara mendadak berakhir karena satu insiden amat bodoh yang bikin hamba ngakak gegulingan, sampai Natty yang terancam kehilangan hak warisnya apabila tak kunjung memberikan momongan. Tapi empat problematika pelik ini lantas seolah tak ada artinya saat Golf dan Kim membawa satu masalah besar bagi kawan-kawannya. Masalah tersebut bermula kala Golf yang berprofesi sebagai makeup artist berjumpa dengan idolanya, Cathy (Araya Hargate), di satu lokasi pemotretan. Usai sedikit bercakap-cakap, Cathy mendadak mengalami satu insiden yang membuatnya terpaksa beristirahat total di ranjang. Berhubung dalam waktu dekat sang megabintang memiliki satu proyek besar yang tak bisa dibatalkan, maka sang manager, Koya (Pompam Niti), meminta Golf dan Kim untuk menemukan solusinya atau mereka dimintai uang ganti rugi sebesar 50 juta baht. Dikejar oleh waktu, keduanya seketika berburu perempuan berwajah seperti Cathy yang lantas membawa mereka ke pedagang kaki lima bernama Nam. Walau secara wajah terbilang identik dengan Cathy, Nam memiliki perangai yang berbeda jauh sehingga memaksa geng tootsie untuk turun tangan agar segalanya berjalan sesuai harapan sampai hari-H.


Sejauh mana kamu bisa menerima Cuties and the Fake bukan semata-mata ditentukan oleh seberapa akrab dirimu dengan versi serialnya, melainkan lebih kepada kesanggupanmu dalam mencerna gaya berkelakarnya yang cenderung semau gue. Antisipasi munculnya guyonan slapstick diiringi musik beserta ekspresi wajah luar biasa lebay, olok mengolok, toilet jokes, banyolan kentut, permainan kata, hingga referensi budaya populer. Kurang lebih, apa yang diaplikasikan oleh sang sutradara, Kittiphak Thongauam, di sini tak jauh berbeda dengan guyonan-guyonan yang sering kita jumpai dalam tontonan komedi asal Thailand. Jika kamu tidak keberatan melihat adegan-adegan lucu bin nyeleneh semacam terpantiknya suatu kehebohan akibat seorang perempuan yang kebelet pupita, keapesan tak disangka-sangka karena wajah seorang lelaki yang penuh botox, atau tarian “dangdut” yang out-of-nowhere dari beberapa karakter untuk meredakan stres, maka Cuties and the Fake jelas cocok dikudap olehmu. Tapi jika humor absurd bukanlah jalan ninjamu, maka film ini kemungkinan besar hanya akan memberimu rasa jenuh. Apalagi, si pembuat film melontarkannya secara tak berkesudahan sedari detik pembuka hingga detik penutup dan ditempatkan pula di berbagai penjuru. Kita benar-benar dikondisikan untuk terus menertawakan kenelangsaan berikut tingkah polah para karakternya di sepanjang durasinya. Mengingat pendekatannya ini, tentu tak terelakkan adanya beberapa momen yang memantik “paduan suara jangkrik” bereaksi. Namun begitu elemen komediknya sanggup mengenai sasarannya, wah… saya sampai ketawa terjungkal-jungkal.

Sebagai seseorang yang disebut memiliki selera humor ajaib oleh beberapa kawan karib, saya jelas menikmati suguhan yang ditawarkan Cuties and the Fake. Bagi saya, ini adalah sajian komedi nyeleneh dan tak berfaedah yang membahagiakan hati. Mengasyikannya lagi, jajaran pemainnya pun tampak menikmati sekali peran yang mereka bawakan dengan tak berkeberatan buat tampil malu-maluin di depan kamera. Dari empat personil utama, apresiasi layak disematkan kepada Pingpong Thongchai yang ekspresinya selalu melewati batas maksimal dan Ter Ratthanant yang kehebohannya seolah-olah tak mengenal kata rem. Membentuk chemistry yang begitu lekat, keduanya menjadi nyawa utama bagi film sekalipun dua kawannya yang lain pun berkesempatan memiliki momen untuk bersinar. Hanya saja, yang menjadi kendala bagi Peak Pattarasaya adalah sosok Natty yang agak terpinggirkan seiring berjalannya durasi. Dia seolah terpisah dari kawanannya dan tidak memiliki banyak andil terhadap pergerakan narasi. Keberadaannya terkesan untuk sebatas membahagiakan penggemar versi serial tanpa benar-benar mempunyai peranan berarti. Agak mengecewakan, seperti halnya Petch Paopetch yang diberi subplot sedikit terlalu dramatis sehingga ada kalanya berdampak pada sedikit tereduksinya kesenangan utamanya di menit-menit pamungkas yang gila-gilaan. Bagi para penggemar berat yang menanti resolusi dari kisah kasih Gus dengan sang mantan, cabang cerita ini boleh jadi memuaskan (tapi kalau kamu nonton di bioskop, subplot tersebut hilang tak berbekas). Tapi bagi penonton anyar, kemunculannya justru memberikan distraksi dan memperlambat laju pengisahan yang tadinya sudah begitu lincah nan bergegas. Sebuah resiko yang sebetulnya wajar bagi film adaptasi materi populer.  

Yang saya dambakan dari sajian rusuh ini hanyalah melihat Pingpong beserta Ter menggila bersama Araya Hargate yang senantiasa mencuri perhatian di setiap kemunculannya. Dia memberi lakon memuaskan sebagai dua karakter bertolak belakang; Cathy (hmmm… sebenarnya sih Cathry alias Catriona Kannika Wang) yang keanggunannya bikin jatuh hati dan Nam yang sikap urakannya membuat kita berharap tak pernah mengenalnya. Kesediaannya untuk lepas kendali dengan menghempas segala urat malu kala melakonkan Nam menjadi satu pemandangan mengasyikkan dalam Cuties and the Fake. Apalagi, comic timing-nya juga juara sehingga banyolan-banyolan yang diperagakan atau dilontarkannya nyaris selalu membuat saya ingin membalik-balikkan kursi saking ngakaknya. Fun!

Exceeds Expectations (3,5/5)    


     

2 comments: