“Cinta itu emang ribet. Tapi yang ribet itu yang bikin hidup kita
seru.”
Duo Angga Yunanda dan Adhisty
Zara pertama kali dipertemukan dalam Dua
Garis Biru (2019) yang tanpa dinyana-nyana, menduduki klasemen atas dalam
perolehan penonton. Kesanggupan keduanya dalam membentuk chemistry lekat di film tersebut bukan saja menghadirkan puja-puji,
tetapi juga mendorong khalayak ramai untuk menobatkan mereka sebagai pasangan on-screen kesayangan masa kini
selayaknya Nicholas Saputra-Dian Sastrowardoyo. Zarangga FTW lah pokoknya (!). Usai “berpisah jalan” untuk sejenak demi
menjalankan proyek film masing-masing, mereka lantas kembali dipersatukan
melalui film adaptasi Wattpad populer rekaan Luluk HF, Mariposa, yang berada di jalur cenderung berbeda dari perjumpaan
awal keduanya. Mengikuti materi aslinya yang menyasar pembaca usia belasan,
film garapan Fajar Bustomi (Milea Suara
Dari Dilan, Surat Kecil Untuk Tuhan)
ini mengedepankan jalinan pengisahan yang menghindari kompeksitas dan lebih
menonjolkan pada aspek keunyuan. Pada dasarnya, narasi yang dicelotehkan oleh Mariposa ini pun sebatas memberikan
tanda centang terhadap komposisi pembentuk cerita percintaan di Wattpad yang
tak pernah jauh-jauh dari: 1) bad boy
atau cowok dingin yang digandrungi oleh para cewek sebagai tokoh utama, 2)
dialog berisi gombalan-gombalan agak nyeleneh yang bikin penggemar beratnya senyum-senyum
gemas, dan 3) nama karakter yang tak pernah terbayang sebelumnya. Ditengok dari
permukaannya semata, Mariposa memang
terlihat tak memberi pembeda dengan film-film adaptasi sejenis. Tapi saat saya bersedia
memberinya kesempatan dengan menontonnya di bioskop, pada saat itulah saya
menyadari tengah menyaksikan salah satu film percintaan remaja terbaik buatan
sineas Indonesia.
Dalam Mariposa, poros penceritaan terletak pada seorang remaja perempuan bernama
Natasha Kay Loovy atau akrab disapa Acha (Adhisty Zara). Sosoknya dideskripsikan
menaruh kecintaan pada mata pelajaran sains sehingga dia memutuskan untuk
pindah sekolah demi memfasilitasi minatnya tersebut. Di sekolah barunya ini,
Acha tak saja berambisi untuk dilibatkan dalam tim olimpiade sains tetapi juga
ingin merasakan nikmatnya berpacaran. Mumpung masih muda belia. Diantara ratusan
siswa yang berada di sekelilingnya, perhatian protagonis kita ini tertambat
pada Iqbal Guanna (Angga Yunanda). Seorang cowok yang menurut observasi sang
sahabat, Amanda (Dannia Salsabilla), tubuhnya hanya berisikan otak tanpa
memiliki hati. Pendapat ini bukannya tanpa alasan, karena Iqbal sendiri memang
kerap bersikap dingin kepada siapapun dan lingkungan pertemanannya pun hanya
berkisar di dua sahabat karibnya, Glen (Junior Roberts) dan Rian (Abun
Sungkar). Saat Acha nekat menyatakan rasa kepada sang pujaan hati, Iqbal tak
segan-segan melontarkan penolakan. Gestur berikut air mukanya turut menguatkan
bahwa dia tidak ingin didekati oleh Acha. Mendapat respon tak mengenakkan hati
seperti ini, Acha tak lantas putus semangat. Dia justru merasa, Iqbal
sebetulnya diam-diam naksir kepadanya tapi terlalu gengsi untuk menyatakannya. Kesempatan
bagi Acha untuk memenangkan hati Iqbal semakin terbuka lebar kala keduanya
dinyatakan lolos sebagai personil dari tim olimpiade sains. Keduanya menjadi
semakin sering bertemu, keduanya juga semakin sering berbincang-bincang. Tapi dasar
manusia batu, kedekatan ini tak lantas membuat Iqbal bersedia untuk membuka
hatinya. Acha yang tak ingin perjuangannya berakhir sia-sia pun seketika mengatur
siasat bersama Amanda agar Iqbal dapat secepatnya jatuh ke pelukannya.
Sejatinya, Mariposa menghadirkan guliran penceritaan yang tergolong sederhana
dan cukup jamak dijumpai di genrenya. Tentang seorang remaja yang jatuh cinta
pada pandangan pertama, lalu begitu menggebu-nggebu dalam upayanya memenangkan hati
sang pujaan. Yang menjadikannya sedikit berbeda adalah, si pemilik cerita
memberlakukan “tukar gender” dimana posisi karakter pengejar cinta yang agresif
beralih ke si cewek alih-alih si cowok. Seolah ingin menggugat konstruksi
sosial yang senantiasa menempatkan perempuan dalam posisi pasif untuk urusan berburu
jodoh. Padahal, perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar,
untuk memilih, serta untuk menyatakan rasa terlebih dahulu ketimbang hanya bisa
duduk diam menunggu pinangan dari pangeran. Bukankah begitu? Jika ocehan ini
membuat Mariposa terdengar seperti
tontonan yang berat, tak perlu risau. Ini hanyalah pandangan sok njelimet dari
hamba karena Mariposa sendiri tidak
pernah memandang dirinya secara serius. Dalam artian, Fajar Bustomi paham betul
bahwa film arahannya ini memang sedari awal diniatkan sebagai sajian percintaan
untuk remaja yang ringan-ringan menyenangkan saja. Dia tidak pernah ngoyo untuk
membuatnya terlihat memiliki kompleksitas dan justru
disitulah letak pesonanya. Tengok saja rentetan adegannya yang sengaja dibikin jenaka
bin ajaib seperti si protagonis yang nyerocos tak berkesudahan di menit-menit
awal untuk berkenalan dengan Iqbal, ibu penjaga perpus yang mendirikan “team
Acha”, kue keju Belanda yang masa kadaluarsanya senantiasa bertambah tiap
berganti tangan, sampai ibunda Acha (Ersa Mayori) yang gemar menjadikan
putrinya sebagai eksperimen atas kecintaannya pada budaya Korea.
Alhasil, sepanjang durasi
mengalun, saya mampu dibuatnya tersenyum-senyum gemas, terbahak, maupun
tersentuh. Bahkan saat saya menontonnya beberapa hari lalu, penonton remaja
terdengar begitu heboh tiap kali Iqbal dan Acha berduaan. Ada yang
teriak-teriak, ada yang menarik-narik baju temannya, dan saya yakin, tidak
sedikit diantaranya yang kelonjotan. Sebuah bukti bahwa film ini diterima oleh
pasar utamanya. Bisa jadi pula, mereka relate dengan persoalan di film ini. Itulah mengapa, penonton
yang telah agak berumur diminta untuk mengenakan lagi kacamata ABG demi bisa
menelaah kisah kasih Acha dengan Iqbal yang boleh jadi akan dikategorikan creepy oleh sebagian orang. Melihat Acha
yang sedemikian ngoyonya untuk memacari Iqbal, sementara cowok yang ditaksirnya
tersebut tak segan-segan melabelinya “murahan”. Tapi Mariposa yang naskahnya ditulis dengan sangat mengesankan oleh Alim
Sudio ini memberikan motivasi yang bisa dipahami dibalik tindakan-tindakan
karakternya. Dari Acha yang memiliki tekad kuat dalam merealisasikan
keinginannya, sampai Iqbal yang terus ditekan oleh sang ayah untuk menggapai
kesempurnaan. Kita memang tidak memperoleh penjabaran memadai mengenai alasan
dibalik cintanya Acha, namun bukankah kadangkala cinta memang serumit itu ya?
Tiba-tiba hati tertambat, tanpa pernah mengetahui alasannya. Apalagi, si
karakter utama masih siswi berseragam putih abu-abu yang belum memiliki riwayat
dalam hal memadu kasih. Dia masih polos, naif, dan saya yakin betul, dia tidak
betul-betul paham mengenai makna dibalik menjalin suatu hubungan. Ini adalah
sebuah narasi tentang cinta pertama sekaligus cinta monyet yang semestinya
ditengok menggunakan perspektif masa belia.
Jika kita berkenan untuk
menggunakannya, percayalah, Mariposa tak
akan kesulitan dalam merebut hatimu. Lebih-lebih, Fajar Bustomi menggarapnya
secara kompeten dimana film mampu bertutur secara lancar nan menyenangkan
dengan tunjangan naskah menggelitik, production
value memadai (artistik beserta sinematografi yang didominasi warna pastel
itu cantik sekali!), beserta jajaran pemain yang mengerahkan akting cihuy. Ya,
saya sangat menikmati setiap menit dari Mariposa
yang mengalun secara lincah ini.
Dialog-dialognya yang ceriwis guna memfasilitasi karakteristik Acha yang
cenderung kenes mendorong diri ini untuk mendapati dua sensasi sekaligus:
tertawa dan gemas. Ndilalah, Adhisty
Zara memainkannya secara lepas nan nyantai sampai-sampai saya tak ada keraguan
untuk menyebutnya sebagai akting terbaik yang pernah diperagakannya. Di
tangannya, sosok Acha yang berpotensi menyebalkan atau menyeramkan, dapat menjelma
menjadi seseorang yang mudah untuk disukai. Kita gregetan melihat polahnya,
kita kagum dengan kegigihannya, dan kita pun bersimpati penuh dengannya sampai
di ujung durasi. Mengesampingkan fakta bahwa dia bucin, Acha sebetulnya perempuan cerdas dan kuat. Dia tahu apa yang diinginkannya dan itu sendiri merupakan pesan berharga bagi penonton remaja, selain penyuluhan mengenai makna cinta. Bersama dengan Angga Yunanda yang bermain prima sebagai cowok kulkas luar biasa dingin,
keduanya membentuk chemistry rindu
dendam ciamik yang memberi penonton keyakinan bahwa keduanya memang semestinya
bersatu. Tidak menyerupai gaya mereka di Dua
Garis Biru, tidak pula diperlihatkan bersatu secara ujug-ujug. Ada proses pendewasaan dalam diri keduanya dan bagi
saya, di situlah salah satu letak kekuatan film ini. Dua karakternya berproses
dari ulat, kepompong, sampai kemudian menjelma menjadi kupu-kupu (atau Mariposa
dalam bahasa Spanyol) di ujung durasi.
Saya mendapati banyak
kesenangan di Mariposa dan itu tidak
semata-mata berasal dari kisah kasih duo tokoh sentralnya. Jajaran karakter
pendukungnya juga tak kalah menariknya dimana setiap dari mereka membentuk
interaksi hidup yang memungkinkan bagi hamba untuk tergelak-gelak. Entah itu
karena Junior Roberts bersama Abun Sungkar yang bermain kompak sebagai sahabat
karib Iqbal, Dannia Salsabilla yang menunjukkan kepedulian dibalik ketegasannya
sebagai Amanda yang tak pernah berhenti takjub dengan tingkah nyeleneh
sahabatnya, Syakir Daulay yang nelangsa sebagai anggota tim sains yang cintanya
ke Acha tak berbalas, atau karena Ersa Mayori yang mencuri perhatian sebagai
ibu muda yang suportif nan enerjik. Berkat mereka, Mariposa yang telah mengalun dengan penuh semangat ini menjadi
terasa semakin meriah untuk disimak sehingga sama sekali tak menyisakan momen
membosankan di durasinya. Satu sensasi utama yang ditinggalkannya seusai lampu
bioskop menyala adalah “bahagia” dan saya jarang-jarang mendapati sensasi macam
ini di sinema romantis remaja tanah air. Go
watch it!
Outstanding (4/5)
Beneran deh kalo bukan karena zara angga, ga bakal minat nonton ini. Sayangnya lagi gabisa keluar rumah karena himbauan huhuu. Stay safe ya om tariz.
ReplyDeletePremis nya unyu banget sih. Keinget dulu pas SMA aku juga ngejer2 cowok yg sok cool gitu 😆😆 eh pas udah gak dikejer malah doi nya penasaran. Relate sekaleeee 🤣🤣
Iya nih jadi nggak bisa kemana mana padahal sebenernya pengen nonton lagi. Huhuhu. Zara bagus sekali di sini, peran cewek ambisius yang kenes cocok buat dia.
Delete3 dari 5 reviewers film yang biasa aku jadiin kiblat kalo mau nonton merespon positif untuk Mariposa. Jadi makin penasaran.
ReplyDeleteMakasih review nya mang, eh mas maksudnya... :)
Iya om rasyid aja skor nya jelek ke film ini haha
DeleteSejak kapan rating 3 dianggap jelek? Mixed cenderung ke bagus, bukan jelek.
DeleteCoba tonton dulu saja. Film romantis remaja belakangan ini kan seperti genre komedi dan horor. Memecah belah pendapat.
Mungkin ngga jelek kalo menurut reviewer nya, tapi kebanyakan film yang skornya tiga itu gak bisa kunikmati sihh
DeleteWah, beberapa review bilang film ini bagus. Awalnya ragu buat nonton, karena novelnya, terlalu maksain juga Saya coba nonton deh. Udah baca novel Mariposa nggak Mas?
ReplyDeleteAku belum baca novelnya. Meski suka film romantis, tapi aku kurang bisa baca novel romantis.
DeleteFilmnya udah ada atau belum ya kak ?
ReplyDeleteSejujur-jujurnya, film ini menurut saya sangat buruk dan merupakan sebuah bentuk penghujatan terhadap audiens, serta logika-logika film yang terlalu bego untuk diaplikasikan ke dunia nyata.
ReplyDeleteSejujurnya saya nggak ngerti gimana film ini bisa dapet review bagus seperti ini, storytellingnya sangat surface level dan tidak memberi refreshing sama sekali pada genre romance comedy di Indonesia, masalah utamanya adalah penerapan trope-trope film yang sangat overused pada genre ini sendiri.
Masalah lainnya yang saya temukan, film ini menglorifikasikan stalking, harassment, toxic relationship dan pelecehan privasi. Film ini menyebarkan pesan buruk kepada kaum-kaum muda mudi Indonesia. Beberapa contohnya adalah dimana pemeran utama, ialah Acha, memaksakan jalinan hubungan meski hal tersebut berdampak sangat buruk bagi Iqbal, yang mana itu mulai jelas terlihat sejak Acha mendekatkan dirinya di Act II (persiapan olimpiade). Masalah kedua adalah, film ini tidak mengajarkan pentingnya self-respect, yang mana Acha bersedia untuk merusak hidup orang lain dan dirinya demi mendapatkan cinta monyet belaka.
Sekian dari saya.
slot judi terpercaya
ReplyDeleteslot terpercaya
slot togel
togel slot
slot online