“I was supossed to say goodbye, but I was scared. That’s when I decided
I was never going to be scared again.”
Kehilangan figur orang tua
bukanlah perkara mudah, terlebih dalam usia relatif muda. Terasa ada yang
kosong, terasa ada kurang lengkap, dan tentu saja terasa memilukan saat kamu
sempat berbagi momen penuh kegembiraan selama beberapa waktu. Pixar – maupun si
induk semang, Disney – kerap mengulik tema kehilangan dalam keluarga berulang
kali dalam film-film rilisan mereka, entah sebagai topik pembicaraan utama atau
dibubuhkan sebatas untuk memperkuat karakteristik si tokoh utama. Dari Finding Nemo (2003), Up (2009), The Good Dinosaur (2015) sampai Coco
(2017), kita kerap mendapati narasi menyoal berdamai dengan duka pasca
ditinggal pergi oleh orang terkasih. Obrolan ini memang berpotensi membuat
tangis pecah, tapi pihak pembuat film justru tidak berminat menenggelamkan
penonton ke dalam kesedihan, dan lebih memilih untuk menghadirkan keriangan
beserta optimisme dibalik isu pilu yang disodorkan. Melalui karya terbaru
Pixar, Onward, yang menandai karya
orisinal pertama bagi studio animasi ini sejak Coco, kematian dan kehilangan kembali dikedepankan sebagai bahan
perbincangan. Inspirasinya berasal dari sang sutradara, Dan Scanlon (Monsters University), yang tak memiliki
kesempatan untuk bercengkrama dengan ayahnya yang wafat di saat usianya masih
amat belia dan hanya mengenalnya lewat rekaman suara yang diberikan oleh sang
paman. Dari pengalamannya ini, Scanlon lantas mengkreasi premis berbunyi “bagaimana jadinya kalau kamu memiliki
kesempatan selama satu hari untuk bertemu lagi dengan orang tuamu yang telah
tiada?” yang kemudian diejawantahkannya ke dalam satu sajian petualangan seru
nan lucu yang bertabur unsur magis di dalamnya.
Lewat Onward, penonton diboyong untuk mengunjungi suatu dunia fantasi
dimana makhluk-makhluk mitologi seperti peri, pixie, mantikora, kentaur, sampai
naga hidup berdampingan. Tapi berbeda seperti dongeng-dongeng yang sering kita
dengar, para karakter di film ini tidak pernah bersentuhan dengan sihir. Memang
sih pada zaman dahulu kala setiap persoalan dapat dituntaskan dengan
rapalan-rapalan mantera. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat lebih
terbiasa menggunakan temuan-temuan teknologi modern yang dinilai lebih praktis
dan tidak membutuhkan penguasaan ilmu sihir terlebih dahulu untuk bisa
menggunakannya. Alhasil, listrik, ponsel genggam, serta mobil pun menjadi
pilihan utama yang kemudian membawa kita ke era masa kini di sebuah kota
bernama New Mushroomton. Kita lalu diperkenalkan pada dua kakak beradik yang
memegang peranan inti dalam film, Ian (Tom Holland) dan Barley (Chris Pratt).
Hidup bertiga bersama sang ibu, Laurel (Julia Louis-Dreyfus), sekilas penonton
melihat bahwa mereka baik-baik saja kecuali kenyataan bahwa Ian mendambakan
figur ayah yang tak pernah hadir di sisinya. Sang ayah meninggal karena kanker
di saat dirinya masih berada dalam kandungan. Ditengah perasaan gundah
gulananya ini, Ian mendapatkan kejutan dalam wujud hadiah ulang tahun ke-16.
Bukan sembarang hadiah, melainkan sebuah tongkat sihir beserta mantra yang
dapat mempertemukannya dengan sang ayah selama sehari. Tanpa dibarengi ilmu
sihir yang mumpuni, proses “mengembalikan ayah” tentu saja urung berlangsung mulus
dan malah berakhir kacau. Demi memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat, Ian
pun nekat mengembara bersama Barley ke tempat dimana sihir berasal yang lantas
menguji ikatan persaudaraan keduanya.
Seperti telah diisyaratkan melalui
premis yang diusungnya, Onward ternyata
beneran mampu mengaduk-aduk emosi hamba sedemikian rupa. Saya menyeka air mata
tatkala Scanlon kembali mengingatkan penonton bahwa tak ada guna meratapi
kehilangan orang yang dicintai. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kamu
merayakan kehidupan yang penuh dengan tantangan, dan orang-orang yang setia
berada di sampingmu. Cintailah mereka sepenuh hati sehingga tak tersisa
penyesalan kala perpisahan dalam wujud maut akhirnya datang menyapa. Guna menyampaikan
pesan ini, si pembuat film menghadirkan sosok Ian yang merepresentasikan
keengganan untuk melepas masa lalu, dan sosok Barley yang menggambarkan
keinginan untuk menghempas penyesalan dengan menikmati setiap waktu dalam
hidup. Adanya perbedaan pandangan ini secara otomatis memantik gesekan demi
gesekan terlebih upaya Barley dalam memproyeksikan perasaan bersalahnya kerap
disalahpahami oleh sang adik. Padahal dia hanya tidak ingin lagi memendam ketakutan,
dia hanya tak ingin saudaranya beranjak dewasa tanpa bimbingan, dan dia hanya
ingin berbuat benar untuk orang-orang di sekitarnya. Disokong sulih suara dari
Chris Pratt yang terdengar begitu bersemangat dalam menyongsong hari-hari yang
dilaluinya, sukar untuk tak menyematkan afeksi kepada Barley. Dia bukan saja
terlihat seru untuk diajak nongkrong bareng, tapi dia pun tampak seperti
seseorang yang benar-benar tulus dalam mencintai dibalik tampilannya yang serba
urakan. Serentetan nasihat penyemangat yang disampaikan secara jenaka kepada
Ian dalam berbagai kesempatan membuktikan bahwa dia memang menyayangi adiknya.
Ian sendiri mempunyai perangai
yang sama sekali bertolak belakang dengan Barley. Well, dia memang penuh semangat dan memiliki kesadaran untuk
merubah dirinya ke arah lebih baik, tapi dia juga seseorang yang penakut. Dia mengkhawatirkan
terlalu banyak hal dalam hidupnya – yang seketika mengingatkan saya pada errr…
diri saya sendiri – sampai-sampai kesulitan untuk berteman, mengendarai mobil,
serta menikmati hidup. Secara singkat, Ian bahkan lebih memenuhi syarat sebagai
seorang pecundang ketimbang Barley yang diam-diam dia anggap demikian. Segala
kecanggungan yang melekat erat dalam diri Ian ini sanggup dihidupkan oleh Tom
Holland yang akting suaranya turut menebalkan kesan manis untuk karakternya. Ya,
sekalipun Ian payah dalam berbagai hal yang menuntut keberanian bertindak, dia
tetaplah seorang remaja akil baligh berhati tulus. Yang dibutuhkannya adalah
sedikit dorongan dan panduan yang menurut cara berpikirnya, hanya bisa
diperoleh dari seorang ayah. Satu sosok yang tak pernah hadir dalam hidupnya. Meski
premisnya memberi kesan bahwa film ini semata-mata berceloteh tentang berdamai
dengan duka dan luka, Onward kenyataannya
bertutur lebih dari itu. Pada intinya, Onward
merupakan narasi tentang menyadari pentingnya keluarga dan pendewasaan diri dari seorang remaja dengan perspektif
dangkal serta cenderung kekanakan. Melalui petualangan besar yang dilaluinya,
Ian secara perlahan tapi pasti mulai menyadari mengenai potensinya, kemampuannya,
dan paling penting, kehadiran orang-orang di sampingnya terutama sang kakak. Mendapati
narasi semacam ini – apalagi usai babak pamungkas yang merobek hati sekalipun
berpotensi memecah belah pendapat – hamba pun ingin buru-buru memberikan
pelukan hangat ke ayah, kakak, dan sahabat yang tak pernah lelah menyuarakan
dukungan agar saya bisa melewati masa-masa sulit seusai kehilangan ibu. Saya ingin berkata, “terima kasih untuk semuanya.”
Masih sebuah film animasi
berkualitas di atas rata-rata kok!
Outstanding (4/5)
Jadi pengen donlot kalo blog ini ngasih film rate 4
ReplyDeletelink slot gacor terpercaya
ReplyDeletelink slot gacor
link slot
main slot
online slot