Kalau kamu telah membaca
ulasan-ulasan di sini sedari beberapa tahun lalu tentu tahu, saya sangat
menyukai Teman Tapi Menikah (2018). Saking
gandrungnya, saya bahkan menahbiskannya sebagai film Indonesia terfavorit di
tahun 2018. Betapa tidak, digarap oleh Rako Prijanto (3 Nafas Likas, Asal Kau
Bahagia) berdasarkan buku bertajuk sama rekaan Ayudia Bing Slamet dan Ditto
Percussion, film bergenre drama romantis ini tanpa dinyana-nyana mampu tampil
menyenangkan. Tatkala film sejenis berlomba-lomba untuk menyelipkan dialog ala
pujangga dan mengedepankan karakter cowok slengean, Teman Tapi Menikah memilih bertutur secara sederhana nan apa adanya
mengikuti premis klasiknya yang dekat dengan realita. Premis seputar jatuh
cinta pada sahabat sendiri dikemas dalam narasi manis-manis menggemaskan yang acapkali
bersumber dari kecanggungan interaksi duo “sahabat rasa pacar, pacar rasa
sahabat”, dan ditunjang oleh chemistry
padu Adipati Dolken bersama Vanesha Prescilla. Alhasil, selama menonton saya pun
dibuat tertawa, gregetan bukan main, tersipu-sipu, tersentuh, sampai
mengembangkan senyum lebar. Rentetan perasaan yang jarang hamba jumpai di
sajian romansa negeri ini, khususnya yang secara khusus menyasar penonton
remaja. Maka begitu film kelanjutannya bertajuk Teman Tapi Menikah 2 dibuat – well,
selain film pertamanya memang sukses, bukunya pun berlanjut ke jilid dua – saya
tentu mengantisipasi kehadirannya. Menantikan sensasi rasa apa lagi yang
dipersembahkan oleh film yang sekali ini menghadirkan problematika yang lebih
dewasa dan kompleks dibanding pendahulunya.
Dalam Teman Tapi Menikah 2, Ayu (Mawar de Jongh menggantikan Vanesha yang
hengkang) dikisahkan telah resmi menikahi sahabatnya sendiri, Ditto (Adipati
Dolken). Selaiknya pasutri muda lain yang berjiwa bebas, Ayu dan Ditto pun
tidak ingin buru-buru dikaruniai momongan. Mereka ingin terlebih dahulu menikmati
momen sebagai pasangan baru dengan berjalan-jalan keliling dunia, berburu
makanan enak di berbagai penjuru, dan bermesra-mesraan. Terlebih, keduanya
tidak memiliki banyak kesempatan untuk berpacaran karena tak lama selepas Ditto
berani menyatakan rasa, mereka lantas memilih melanjutkannya ke jenjang
pernikahan. Akan tetapi, rencana mereka untuk berbulan madu selama
berbulan-bulan lamanya – bahkan kalau perlu bertahun-tahun – belakangan urung
terealisasi setelah Ayu mendapati dirinya tengah mengandung. Segala bentuk
sukacita yang tadinya mengiringi pasangan ini pun perlahan tapi pasti berubah
menjadi gundah gulana tatkala Ayu mulai “dirasuki” hormon. Dia menjadi mudah
tersinggung, dia menjadi mudah marah, dan dia menjadi mudah bersedih yang
seringkali tanpa dibarengi peristiwa tertentu sebagai pemicunya. Tak ayal,
pertengkaran demi pertengkaran pun kerap mewarnai hari-hari pasangan ini karena
Ditto sendiri masih sulit memahami apa yang sesungguhnya dirasakan oleh sang
istri. Hingga tiba pada satu titik, Ayu yang mulai merasa lelah dan frustrasi akibat
terjangan hormon yang semakin menggila seiring bertambahnya usia kehamilan
mengutarakan keinginannya untuk menyerah. Dia tak ingin melahirkan bayi yang
dikandungnya tersebut lantaran telah menyebabkan berbagai permasalahan yang
mengancam hubungannya dengan Ditto.
Berbeda dengan jilid sebelumnya
yang cenderung riang mengikuti jiwa-jiwa muda para karakternya yang masih
bergejolak dan topik pembicaraan tentang merajut kasih, Teman Tapi Menikah 2 mempunyai nada pengisahan yang agak lebih serius
dan dewasa. Apabila film pertama lebih bersifat seperti nostalgia bagi sebagian
penonton dengan pengalaman senada, maka film kedua ini menjadi semacam sesi berbagi
kisah bagi mereka yang pernah melalui dan pembelajaran bagi mereka yang belum
mengalami fase “menanti kelahiran buah hati”. Itulah mengapa, Teman Tapi Menikah 2 akan teresonansi ke
penonton yang sudah merasakan “penderitaan” Ayu-Ditto atau benar-benar menunjukkan
ketertarikan terhadap obrolan mengenai mempersiapkan diri menjadi orang tua. Maklum,
perbincangan yang diajukan oleh Rako telah bergeser ke area kehidupan setelah
pernikahan yang mana tentu tak semengasyikkan dan seseru masa-masa berpacaran. Ada
tanggung jawab yang mesti dipanggul, ada perbedaan yang mesti dikulik titik
temunya, dan ada keresahan yang tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Penonton dapat
merasakan perbedaannya seusai melewati belasan menit pertama yang masih
menggambarkan euforia dari pasangan muda di film. Pertikaian mulai sering
mengemuka, amarah kerap meletup-letup, dan tangis karakter acapkali pecah. Tampak
melelahkan, tapi memang seperti itulah yang dimaui oleh film. Kita diajak untuk
ikut merasakan berbagai ketidaknyamanan yang dilalui oleh Ayu-Ditto dalam
menapaki fase hidup yang sama sekali baru bagi mereka. Tidak pernah
mengharapkan akan dikaruniai momongan secepat itu, maka sudah barang tentu
keduanya kelabakan kala realita tidak sejalan dengan ekspektasi.
Dan disinilah letak menariknya Teman Tapi Menikah 2. Penonton melihat
mereka berproses dalam berdamai dengan keadaan demi menjadi pasutri serta orang
tua yang baik. Kita menyaksikan bagaimana Ayu berjuang untuk menundukkan hormon
yang terus memicu drama-drama tidak perlu, kita juga menjadi saksi bagaimana
Ditto mencoba untuk belajar memahami situasi yang dihadapi oleh sang istri. Penonton
mendapatkan dua perspektif berbeda yang tentu diperlukan agar tidak terkesan
memihak atau mengantagonisasi salah satu pihak. Apalagi, keduanya masih
sama-sama belajar sehingga kesalahan mengambil keputusan sejatinya masih bisa dimafhumi.
Dari proses yang dilewati oleh duo karakter utama ini pulalah kita kemudian memperoleh
pengingat dan pembelajaran. Pengingat bahwa pernikahan membutuhkan kerjasama
dua nahkoda agar kapal tidak karam, lalu pembelajaran ditujukan untuk mereka
yang berniat membina rumah tangga serta yang sudah menjalaninya. Narasi yang
bergulir terus menekankan bahwa kepekaan, kesabaran, saling pengertian, dan
komunikasi adalah kunci utama yang tak boleh dilupakan. Penonton terus menerus
diingatkan di sepanjang durasi tanpa pernah membuatnya terdengar kelewat
ceriwis atau mengganggu. Bahkan, Teman
Tapi Menikah 2 tetap berupaya untuk terhidang sebagai sajian menghibur percintaan yang menghibur sekalipun topik perbincangannya terhitung berat. Kita masih akan mendapati
momen-momen manis yang bikin gemas bukan kepalang seperti saat Ditto
bermanja-manja dengan Ayu, kita masih akan dibuat tergelak oleh tingkah polah
pasutri ini yang kadangkala tampak seperti bocah, dan kita pun akan memperoleh
momen-momen mengharu biru di saat keduanya saling menguatkan agar tak ada yang
menyerah.
Semua bentuk rasa ini
memungkinkan untuk tersampaikan ke penonton berkat performa dua pelakon
utamanya yang cihuy. Walau awalnya merasa janggal melihat posisi Vanesha
digantikan oleh Mawar de Jongh, tapi kenyataannya saya justru lebih menikmati
akting Mawar sebagai Ayu. Bukan saja dia sanggup membina chemistry yang sangat hangat dan nyaman dengan Adipati Dolken sehingga
penonton tak sulit diyakinkan bahwa mereka adalah pasutri betulan, Mawar pun
luwes dalam menaklukkan momen-momen emosional. Kita ikut tertawa bersamanya,
kita ikut marah bersamanya, dan kita pun ikut merasakan sakit bersamanya. Adegan
melahirkan yang bikin hamba ikutan ngilu-ngilu menjadi salah satu momen terbaik
yang mempersilahkannya untuk bersinar. Keberadaannya melengkapi Adipati yang
sekali lagi bermain secara effortless sebagai
Ditto.
Outstanding (4/5)
Outstanding (4/5)
Wah, bakal menjadi film favorit di 2020 nggak Nimas?
ReplyDeleteJelas bakal masuk list sih. Tapi kalau jadi nomor 1, mesti lihat dulu gimana film Indonesia dalam 10 bulan ke depan 😁
DeleteAku pengen nonton lagiiiii. Suka banget sama sekuel TTM ini, segala emosi tersampaikan dengan baik. Chemistry duo pemain utamanya lebih enak ini menurutku. Oya yg bagusnya lagi, temen2nya Dito yg aku kurang kenal mereka siapa, tp mereka bs kasih impact juga ke film dan cerita ayu-ditto.
ReplyDeleteMudah2an masuk di list film favoritmu ya :D
Aku juga ngerasa chemistrynya lebih dapet ini sih. Dan temen-temennya Ditto asyik banget interaksinya. Ngasih bumbu komedi ke film, tapi juga berguna buat beri pemahaman ke karakternya Ditto sendiri.
DeleteTTM2 jelas bakal masuk. Kan Outstanding. Kecuali 10 bulan ke depan ini buanyak yang lebih bagus 😂
Omm aku udah nonton. TTM 1 itu manisnya sampai ke ubun ubun. Ga nyangka yg satu ini bener bener diabetessss sama manisnya film ini. Walaupun transisi mereka dari yg masih berantem2 sampai mulai dewasa itu agak kecepetan sih, n konklusi sikap dito ke ayu juga kayak kurang didalami.tapiiiii uwuuuu
ReplyDeleteTuh kan apa aku bilang. Manisnya bikin gemesss. Makanya bisa nangkring di posisi pertama tahun 2018.
Deletesitus judi slot
ReplyDeletesitus judi slot online
situs judi slot online resmi
situs judi slot terpercaya
situs online