Pages

June 11, 2020

REVIEW : MISS AMERICANA


“There’s a part of me that feels like I’m 57 years old, but there’s a part of me that’s definitely not ready for all this grown-up stuff.”

Beberapa waktu lalu, jejaring sosial Twitter dihebohkan oleh cuitan dari satu dua selebtwit mengenai “pengaruh”. Mereka berargumentasi, siapapun yang mempunyai pengaruh di dunia maya semestinya bersuara tentang situasi genting yang sedang terjadi di muka bumi, alih-alih bungkam dan memilih untuk memperbincangkan hal remeh temeh. Para influencer ini didesak untuk berbicara soal gelombang protes di Amerika Serikat yang dipicu oleh kebrutalan polisi beserta rasisme, agar para pengikutnya menyadari bahwa dunia tidak semata-mata sedang berperang melawan Covid-19. Ada musuh lain yang tak kalah berbahayanya, diam-diam mengintai. Pernyataan mereka tentu tidak keliru, bahkan saya juga sejatinya sepakat bahwa kita semestinya tidak tinggal diam kala menyaksikan ketidakadilan. Tapi yang kemudian menjadikannya problematis adalah munculnya desakan tanpa melihat konteks peristiwa maupun latar belakang si influencer itu sendiri. Di era dimana warganet semakin brutal dan cancel culture merupakan suatu kelaziman, menyatakan pendapat bukan lagi hal yang mudah. Terlebih jika isu yang disuarakan terhitung sensitif dan kompleks. Rentan memercik debat kusir berlarut-larut dari beberapa pihak dengan perspektif berbeda, rentan menyalurkan informasi berbahaya apabila tak dibarengi pengetahuan mumpuni, dan kita tidak pernah tahu pula bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi si influencer. Bukan semata-mata berbincang soal karir, tetapi juga kehidupannya secara menyeluruh termasuk kesehatan mental. Apakah dia sudah siap menerima segala konsekuensi dari pernyataan politisnya yang sangat mungkin disalahartikan oleh pihak tertentu?

Berkat keributan ini, saya mendadak teringat pada film dokumenter bertajuk Miss Americana garapan Lana Wilson (After Tiller, The Departure) yang mengajak penonton untuk melongok satu fase kehidupan dari seorang megabintang yang mempunyai pengaruh signifikan dalam industri musik pop, Taylor Swift. Fase tersebut mencakup empat tahun terakhir dimana Swift terlibat satu kontroversi besar bersama Kanye West dan Kim Kardashian yang meruntuhkan citra gadis baik-baiknya, sekaligus satu momen besar yang menandai untuk pertama kalinya dia bersedia mengungkap pandangan politiknya kepada publik. Disela-sela wawancara bersama sang subjek, kita turut melihat proses kreatif dibalik pembuatan album terbarunya, Lover (2019), yang konon disisipi pernyataan politis disamping mengajak para pendengarnya untuk merayakan cinta. Selaiknya sajian dokumenter sejenis, Miss Americana pun sejatinya perpanjangan tangan dari upaya mempromosikan Lover dan bisa pula ditengok sebagai propaganda dari tim public relation guna memperbaiki citra pelantun tembang “Love Story” yang terlanjur terkoyak-koyak. Bukan sesuatu yang salah dan tentunya sah-sah saja jika memang diniatkan demikian. Satu hal yang lantas membuat hamba mengapresiasi film ini adalah kesediaannya untuk tidak menggulirkan narasi konvensional yang semata-mata memotret perjuangan Swift dalam membangun karirnya sedari awal mula, lalu menyuarakan pesan “kalian pasti bisa merengkuh mimpi!” kepada para penggemarnya.  


Bagian tersebut memang masih bisa dijumpai dalam Miss Americana saat membicarakan Swift sebagai seseorang yang bertalenta dan pekerja keras. Tapi tidak diletakkan sebagai fokus utamanya yang sekali ini lebih condong dalam memperbincangkan sisi lain dari Swift yang mungkin tidak banyak diketahui oleh khalayak ramai. Sebelum akhirnya kita mengetahui apa yang melandasi si penyanyi untuk buka suara mengenai pandangan politiknya di akun media sosial, penonton terlebih dahulu diperdengarkan pada pengakuan-pengakuannya mengenai standar kecantikan yang tidak masuk akal, warganet yang beracun, privasi yang diterabas oleh media, hari-hari yang terasa hampa, sampai kekhawatirannya untuk tumbuh dewasa. Terdengar familiar? Tentu, karena topik perbincangan yang diajukan oleh Wilson dan Swift ini kerap menghiasi pemikiran-pemikiran para manusia yang telah melewati usia ke-25. Kesanggupan untuk teresonansi dengan pembicaraan si subjek inilah yang membuat hamba tidak mengalami kesulitan dalam menyematkan simpati kepada Swift. Pada dasarnya, dia hanyalah manusia biasa yang turut dirundung kecemasan, ketakutan, maupun kesedihan dibalik segala pencapaian yang telah ditorehkannya. Bahkan, nama besarnya tidak memiliki pengaruh apapun saat dihadapkan dengan budaya patriarki yang dilanggengkan oleh industri hiburan. Salah satu momen paling kuat nan emosional dalam Miss Americana adalah kala Swift berusaha mati-matian dalam meyakinkan ayahnya beserta perwakilan manajemennya yang melarangnya untuk vokal mengenai pandangan politiknya. Mereka beranggapan, langkah ini dapat membunuh karir si musisi seperti pernah dialami oleh grup musik country, Dixie Chicks, usai mengkritisi kebijakan Presiden George W. Bush.

Adegan ini mendeskripsikan mengapa tanya berbunyi, “mengapa si influencer A masih belum bersuara mengenai kasus genting tersebut?,” tidak sesederhana itu untuk dijawab khususnya bagi para selebriti yang telah mempunyai pengikut dalam jumlah masif dan belum pernah memperbincangkan isu-isu sensitif. Ada banyak kepentingan yang harus dituruti, ada banyak pula pertimbangan yang harus dipikirkan. Kompleks. Saking kompleksnya, kamu mungkin akan berpikir dua kali untuk melontarkan komentar nyelekit berbunyi “kok baru ngomong sekarang?” atau “kamu cuma idola remaja, tahu apa soal politik?.” Miss Americana memperlihatkan transformasi Swift dari seorang penyanyi manis yang hak berbicaranya dikontrol penuh oleh label dan manajemen, menjadi seorang penyanyi yang bebas menyuarakan pemikiran-pemikirannya. Transformasi ini sendiri merupakan satu titik penceritaan yang membuat film terasa menggigit lantaran kita diperdengarkan dengan kisah-kisah yang mulanya tak banyak diketahui, termasuk serentetan peristiwa yang mengubah cara pandang seperti saat Kanye West menginterupsi momen kemenangan Swift dalam MTV Video Music Awards 2009 yang ternyata meninggalkan trauma tersendiri baginya. Maklum, saat itu dia masih berusia 19 tahun dan tidak pernah membayangkan akan dipermalukan dalam ajang penghargaan yang semestinya merayakan musik. Meski belakangan West meminta maaf, tapi jika kamu mengikuti karir dua penyanyi ini tentu mengetahui bahwa mereka kembali terlibat drama “percakapan di telepon” yang menyebabkan Swift menjadi sasaran kebencian warganet. Kontroversi ini sendiri memberi jawaban lain mengenai bungkamnya Swift dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016, serta menjadi titik balik yang membantunya menemukan pendewasaan diri disamping kasus pelecehan seksual yang mengantarkannya memasuki pengadilan.


Menilik materi obrolannya yang berkisar pada politik, seksisme, serta tumbuh dewasa, mudah untuk mengira Miss Americana akan menjelma sebagai tontonan dokumenter yang melelahkan dan berat, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki ketertarikan pada topik ini. Tapi kenyataan yang ada, Wilson sanggup mengemas segala kompleksitas ini ke dalam hidangan yang mudah dikudap oleh siapapun. Kamu tetap bisa menjumpai kejenakaan yang bersumber dari energi Swift yang ternyata melimpah ruah (tengok sesi cipta lagu “Me!” yang heboh), dan kamu juga akan menjumpai momen menyentuh hati melalui interaksi Swift bersama sang ibu yang divonis mengidap kanker atau ketika Swift memberi pengakuan mengenai rasa sepi yang mendera dirinya. Meski Miss Americana kentara diciptakan untuk mempromosikan Lover yang belum lama dirilis maupun memperbaiki citra Swift yang tak lagi putih bersih, tapi saya juga melihat bahwa film ini berupaya untuk mengajak generasi muda untuk memperbincangkan isu-isu penting dengan cara yang asyik sehingga membantu membangun kesadaran mereka. Dan bagi saya, ini menjadi satu alasan mengapa Miss Americana sangat layak untuk dimasukkan ke dalam daftar tontonan sekalipun kamu bukan penggemar berat diskografinya Mbak Taytay.   

Outstanding (4/5)


   

3 comments: