Pages

October 16, 2020

REVIEW : SEPERTI HUJAN YANG JATUH KE BUMI

“Melarikan diri dari rasa sakit hati itu, enggak akan membuat kita lebih baik. Sakit hati itu harus kita nikmati.”

Terlampau sering di dalam rumah selama pandemi Covid-19, membuat pikiran saya sering melantur kemana-mana. Pernah pada suatu hari yang tidak terlalu indah, saya mendadak punya keinginan amat random, “duh pengen deh nonton film percintaan remajanya Screenplay Films yang ajaib itu. Udah lama sekali rasanya.” Ternyata, dari sekian banyak doa yang pernah hamba rapalkan, doa ini termasuk yang dikabulkan secara cepat oleh Tuhan. Tiba-tiba saja rumah produksi ini, bekerjasama dengan IFI Sinema dan Netflix, meluncurkan Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi ke raksasa penyedia layanan streaming. Film romansa yang didasarkan pada novel laris bertajuk sama rekaan Boy Candra (karyanya yang lain, Malik dan Elsa, pun sudah diadaptasi) ini memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi sajian cinta-cintaan khas Screenplay. Di sini, kamu bisa mendapati: 1) jalinan penceritaan yang agak sulit dibayangkan akan terwujud dalam kehidupan nyata, 2) dialog berisi untaian kata-kata puitis yang diucapkan oleh para karakter dalam setiap hembusan nafas mereka, dan 3) production value yang tampak berkelas guna membedakannya dengan sajian-sajian serupa yang khusus ditayangkan di stasiun televisi. Terdengar menyiksa menarik, bukan? Tentu saja, seperti sudah hamba duga sebelumnya, film ini pun tak kalah ajaibnya sekalipun telah merekrut nama-nama seperti Lasja F Susatyo (Mika, Sebelum Pagi Terulang Kembali) sebagai sutradara, serta Upi (Teman Tapi Menikah, My Stupid Boss) dan Piu Syarif (Moammar Emka’s Jakarta Undercover) sebagai penulis skenario. 

Dalam Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi, kita diperkenalkan kepada dua muda-mudi yang telah bersahabat sedari SD, Kevin (Jefri Nichol) dan Nara (Aurora Ribero). Di mata Nara, Kevin adalah malaikat pelindung yang selalu bisa diandalkannya setiap kali dia butuh seseorang untuk bersandar karena patah hati. Kepada Kevin, Nara sering mengutarakan isi hati serta kekecewaannya kepada para laki-laki yang telah mencampakannya. Nara tak pernah tahu bahwa sahabatnya ini diam-diam menaruh rasa kepadanya. Ya, di mata Kevin, Nara lebih dari sekadar teman baik. Berkat dia lah, Kevin untuk pertama kalinya memahami rasanya jatuh cinta meski dia selalu ragu-ragu untuk mengutarakan perasaannya ini. Apakah karena malu atau karena tak ingin merusak tali persahabatan? Well, penonton tak pernah diberi tahu alasannya secara pasti. Yang jelas, sadboy yang satu ini memilih untuk terus memendam perasaannya sementara sang pujaan hati terus menerus mencoba menjalin hubungan baru sekalipun selalu berakhir tragis. Di saat Nara berikar akan menghentikan kebiasaan buruknya ini lantaran lelah dipermainkan oleh lelaki, Kevin akhirnya melihat kesempatan untuk menyatakan cinta. Tapi tentu tidak semudah itu, Fergusooo… karena film lantas menghadirkan seorang cowok penggemar olahraga panjat tebing bernama Juned (Axel Matthew Thomas) yang membuat Nara klepek-klepek, dan Tiara (Nadya Arina) yang begitu terobsesi ingin menjalin hubungan dengan Kevin sekalipun lelaki yang ditaksirnya ini jarang memberikan respon menggembirakan tiap diajak ngobrol. Why, Tiara, why?

Yaaa namanya juga cinta. Manusia bisa mengabaikan logika dan enggan memberikan alasan saat sudah kepincut dengan seseorang. Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi pun demikian. Saya tak pernah bisa memahami jalan pikiran para karakternya sampai pada satu titik akhirnya memilih untuk menyerah, lalu teringat pada permintaan hamba yang acak. “Bukankah kamu sendiri yang mendamba tontonan percintaan ajaib? Sekarang sudah di depan mata lho, nikmati saja keajaibannya.” Begini nih Bun akibatnya kalau berdoa sembarangan ke Tuhan, ku-a-lat. Sebetulnya sih film ini memulai penceritaan dengan cukup meyakinkan. Chemistry antara Jefri Nichol dan Aurora Ribero yang asyik seolah mengindikasikan kalau kisah asmara di sini akan menggemaskan. Bahkan, saya sempat tersipu-sipu gemas menyaksikan interaksi keduanya yang memang menjadi keunggulan utama film ini. Bung Nichol memainkan peran sedikit berbeda dari biasanya dengan menjelma sebagai aktivis lingkungan yang  selalu menggalau lantaran tak sanggup mengutarakan rasa. Dia bermain meyakinkan, begitu pula Aurora yang enerjik dan senantiasa menyebarkan energi positif ditengah nada penceritaan yang sendu. Saya sempat mengira, Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi akan meletakkan fokusnya pada dinamika hubungan berstatus friendzone dari dua manusia ini. Apalagi selepas Nara berjanji tak lagi-lagi mudah hati kepada laki-laki. Tapi ternyata, film mengedepankan dua karakter lagi ke arena utama penceritaan yang alih-alih membuat kisahnya menjadi kian menarik, malah justru membuatnya terasa membosankan.

Masalah utamanya, karakter Juned tak pernah benar-benar terlihat meyakinkan untuk menjadi seseorang yang membuat Nara mengingkari janjinya sendiri. Satu hal yang saya pertanyakan, kenapa Nara bisa mendadak kepincut dengan Junaedi sementara pertemuan pertama mereka meninggalkan kesan buruk? Apa yang menyebabkan Nara berubah pikiran sedemikian cepat apalagi di waktu yang sama dia sudah tak ingin lagi disakiti? Bukankah memilih untuk kembali membuka diri kepada lelaki yang telah memperlakukannya dengan tak hormat itu beresiko? Jujur, hamba bingung dengan jalan pikiran Dek Nara ini. Andai keputusannya dilandasi oleh keinginan membalas dendam kepada Kevin yang tidak tegas – terus-terusan maju mundur untuk mendeklarasikan cintanya kepada Nara – sejatinya saya bisa mafhum. Tapi kenyataannya tak demikian, saudara-saudara. Dia pun diperlihatkan kesengsem betulan kepada Juned yang selalu diceramahi oleh ibunya (Karina Suwandi) dengan tema, “bukalah hatimu, Nak. Move on.” Ditambah akting datar tanpa ekspresi dari Axel Matthew Thomas, makin tak bisa pahamlah hamba mengapa Nara bisa sebegitu cintanya dengan lelaki yang selalu bersikap sengak kepada orang-orang yang ditemuinya ini, termasuk kepada Kevin yang membawa pada kesimpulan bahwa perangainya memanglah menyebalkan bukan karena trauma patah hati. Atau, ini semata-mata kesalahan Axel dalam menginterpretasikan peran? Entahlah. Yang jelas, interaksi mereka berlangsung anyep, konflik yang mengemuka pun terasa repetitif. Belum ada separuh jalan sudah kebosanan.

Diri ini sejatinya masih sanggup menerima dialog-dialog puitisnya yang menggelikan (meski tetap belum bisa mengalahkan mahakarya Bunda Tisa TS). Namun melihat Nara-Juned berduaan tanpa ada chemistry atau menyaksikan kebersamaan Kevin-Tiara yang dinaungi awan gelap, rasanya ingin bobo mumpung lagi hujan. Tanpa sokongan akting apik duo pemain utama dan elemen teknis bekerja dengan baik seperti sinematografi serta iringan musik, mungkin Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi sudah membawa saya ke alam mimpi sedari awal.

Bisa ditonton di Netflix

Acceptable (2,5/5)

7 comments:

  1. Saya rindu juga, eh, Setelah lihat 3 film, ily From 38 food, surat cinta untuk starla, dan, the perfect husband saya jadi malas nonton film-film ajaib lainnya dari sono, udah lama ya Bang nggak menelurkan film-film kayak gini, terakhir calon bini kalau nggak salah, jadi nggak tertarik nonton ini. Terbukti deh.
    Aaah Setelah sekian lama, akhirnya film Premiere di Disney+ ada yang bagus juga, jangan lupa di review ya bang, pelukis hantu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku mendingan film mereka yang dulu. Ajaibnya nggak tanggung-tanggung jadi bisa ditertawakan. Kalau ini, boring banget. Aktingnya Axel bikin bete pun 😭

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Baru aja nonton ini, ga nyampe setengah. Ga kuat bosen bangettt. Apalagi pas penceritaannya mulai fokus ke juned sama tiara 😴

    ReplyDelete
  4. banyak game yang menarik di IONQQ
    ayo segera daftarkan diri anda :D
    WA : +855 1537 3217

    ReplyDelete