Pages

September 5, 2010

REVIEW : PRIVATE EYE


Selain horror, genre misteri pembunuhan dan thriller juga sangat diminati oleh publik Korea Selatan bahkan untuk saat ini pamornya lebih tinggi ketimbang horror terbukti dengan raihan jumlah penonton yang lebih banyak. Produser tentu tak ingin kehilangan momentum, tak heran jika genre ini begitu mudah ditemui tiap tahunnya. Jika dulu hanya horror yang meramaikan musim panas, maka kali ini misteri dan thriller turut serta dalam persaingan. Hebatnya, para sineas tak mengabaikan mutu meski hampir setiap bulan genre ini muncul di pasaran. Sekalipun belum ada yang menandingi mutu Memories of Murder, Oldboy, Voice of Murderer, The Chaser hingga Seven Days, tak ada film genre ini yang terbilang buruk, paling mentok ya lumayan lah. Sineas debutan, Park Dae-min, mencoba peruntungannya di jalur ini dengan membesut Private Eye.

Mencoba tampil beda dengan mengalihkan setting waktu dari masa kini menuju tahun 1910, saat Jepang menguasai Korea, Private Eye justru bertutur lebih riang. Jang Kwang-su (Ryu Deok-hwan), seorang calon dokter, menemukan sesosok mayat saat melewati hutan. Bukannya dilaporkan ke pihak berwajib, Kwang-su justru menyimpan mayat tersebut untuk dibuatnya berlatih membedah. Masalah mulai muncul saat Kwang-su kemudian mengetahui bahwa mayat tersebut adalah putra dari seseorang paling berkuasa di Korea yang menghilang. Dicekam rasa takut, Kwang-su menyewa seorang detektif, Hong Jin-ho (Hwang Jung-min), untuk mencari sang pembunuh. Bukan perkara yang mudah terlebih kasus pembunuhan ini rupanya berkaitan erat dengan rahasia yang disimpan oleh masyarakat kalangan atas di Korea kala itu. Belum juga bukti kuat ditemukan, pembunuhan lain terjadi. Seperti halnya pembunuhan pertama, sang korban adalah orang penting di Korea.


Park Dae-min berhasil melaksanakan tugas pertamanya sebagai sutradara dengan amat baik. Sebagai sebuah misteri pembunuhan, Private Eye tak berbelit - belit menjabarkan kisahnya, malah dibuat cenderung santai. Penggambaran tahun 1910 di Korea juga terbilang cukup detail dan apik. Lihat saja dari kostum yang dipakai para pemerannya yang merupakan gabungan antara gaya Korea, Jepang dan Barat, serta desain bangunannya. Korea memang pakarnya dalam hal ini, tak usah diragukan lagi. Dari segi teknis memang tak ada masalah berarti, begitu pula dengan naskahnya. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, film berjudul asli Geurimja sarin ini menolak untuk bertutur dengan berat seperti halnya film misteri pembunuhan kebanyakan, sebaliknya Park Dae-min malah membuatnya dengan ringan dan sedikit 'ceria' walaupun nuansa kelamnya tetap dipertahankan. Twist pun dianggap perlu dimasukkan mengingat identitas sang pembunuh sudah terbongkar sejak pertengahan film. Cukup efektif, di saat saya mengira film telah selesai, ternyata masih ada kejutan lain yang disodorkan. Sempat hadir pula saat - saat yang membosankan, tapi untungnya Park Dae-min sigap mengatasinya sehingga film kembali enak untuk diikuti.

Chemistry antara Ryu Deok-hwan dan Hwang Jung-min terjalin dengan baik. Masing - masing memainkan karakternya dengan sangat baik. Sekilas karakter yang mereka perankan mengingatkan saya kepada Sherlock Holmes dan Watson. Lebih kepada kesamaan profesi sementara untuk karakteristik sedikit berbeda. Jin-ho adalah seorang detektif dengan perilaku dan cara berpikir yang tidak biasa sementara Kwang-su adalah dokter muda yang polos dan sedikit naif, agak mirip bukan ? Bisa jadi Park Dae-min dan rekannya dalam tim penulisan skenario terinspirasi dari karakter rekaan Arthur Conan Doyle tersebut. Perpaduan dua karakteristik yang unik inilah yang membuat Private Eye menjadi lebih riang, seperti halnya Sherlock Holmes versi film yang meskipun nuanasa misterinya cukup pekat namun masih mampu mengundang tawa renyah dari penonton. Park Dae-min mencoba menerapkannya di film debutnya ini.

Apabila kalian ingin mencoba menonton film misteri pembunuhan yang tidak begitu berat, maka Private Eye adalah jawabannya. Memang sensasi yang dirasakan tak seasyik saat menonton Voice of Murderer atau The Chaser, tapi bolehlah sebagai hiburan. Private Eye mungkin lebih cocok bagi penonton yang enggan untuk berpikir terlalu keras serta mengharapkan misteri yang tidak begitu mencekam. Bagi yang menginginkan tontonan sejenis film - film yang telah saya sebutkan di atas akan dibuat kecewa olehnya apalagi pengungkapan identitas sang pembunuh terkesan dibuat cari gampangnya saja. Kecuali jika kalian tak berekspektasi berlebihan kepada film ini, maka akan dibuat terhibur olehnya. Menurut saya, Private Eye cukup berhasil sebagai sebuah film misteri pembunuhan. Ada kalanya penonton dibuat tegang, tertawa hingga tercekat.

Nilai = 7/10 (Acceptable)

No comments:

Post a Comment