Pages

June 23, 2011

REVIEW : INSIDIOUS


"It's not the house that is haunted. It's your son." - Elise

Kapan Anda terakhir kali menonton film horror buatan Hollywood yang menakutkan? Kalau saya, ketika menyaksikan Drag Me to Hell di bioskop. Film olahan Sam Raimi ini berhasil memadukan horror dan komedi dalam takaran yang pas sehingga menghasilkan tontonan yang tidak hanya mencekam tetapi juga mengundang gelak tawa. Sejak itu, tak ada lagi film horror dari US yang berhasil membuat saya menjerit-jerit di bioskop. Buried terpaksa saya kesampingkan karena efek yang dihasilkan lebih kepada tekanan secara psikologis, bukan sebuah film yang menyenangkan untuk ditonton. Nah, kehadiran Insidious ini mampu mengobati kerinduan saya terhadap film horror supernatural bergaya klasik yang mengasyikkan. Apalagi buatan lokal sama sekali tidak bisa diandalkan. Memiliki tampilan poster, trailer dan sinopsis yang kurang meyakinkan, pada kenyataannya Insidious justru menjelma menjadi sebuah tontonan yang sangat mencekam dari awal hingga akhir. Proyek kolaborasi terbaru dari pencetus film sakit, Saw, James Wan dan Leigh Whannell ini sangat tidak saya sarankan untuk ditonton oleh mereka yang lemah jantung, sedang hamil dan penonton dibawah umur.

Siapa bilang film horror harus bersetting di sebuah rumah tua yang sudah reyot dan jauh dari pemukiman penduduk? Seperti yang dilakukan oleh Oren Peli dalam Paranormal Activity, Wan dan Whannell mendobrak aturan tak tertulis dari film horror. Mereka seakan ingin mengatakan, "hey, rumah modern di pemukiman padat penduduk pun bisa berhantu!." Ya, setting yang dipakai memang modern, namun jangan bayangkan rumah keluarga Lambert ini mewah. Interior ruangannya klasik, menyimpan banyak lorong dan ruangan yang misterius. Pencahayaannya pun hampir selalu remang-remang. Menghemat listrik? Bisa jadi, apalagi Josh (Patrick Wilson) dan Renai (Rose Byrne) baru saja pindahan bersama ketiga anak mereka. Di rumah yang terlihat cantik namun misterius ini, mereka siap untuk menjalani hidup yang lebih baik. Namun tentu saja segalanya tidak berjalan dengan semestinya. Anak mereka, Dalton (Ty Simpkins) terjatuh dari tangga ketika 'menjelajah' loteng dan mendadak koma. Dokter tidak menemukan ada sesuatu yang salah dalam tubuh Dalton. Lantas apa yang terjadi dengan Dalton?


Renai mulai merasakan berbagai kejanggalan semenjak Dalton koma. Seperti ada yang sedang mengawasi gerak-geriknya. Josh menjadi kerap lembur, membuat Renai terperangkap sendirian di rumah. Ketika segalanya semakin tak terkendali, Renai menuntut Josh untuk pindah rumah. Apakah itu berarti teror yang dihadapi oleh Renai berakhir begitu saja? Tidak, karena menurut Elise (Lin Shaye), seorang cenayang, bukan rumah mereka yang dihantui, tetapi Dalton! Saat Renai memekerjakan dua ghostbuster, Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson), saya mengira Insidious akan berubah menjadi film horror yang mudah ditebak. Tingkah laku mereka yang menggelikan dimaksudkan untuk mencairkan ketegangan penonton. Lumayan berhasil. Namun sejak kehadiran mereka dan Elise, tensi ketegangan justru semakin meningkat dan meningkat. Josh yang awal kemunculannya terlihat hanya sebagai pelengkap saja ternyata memegang peranan penting menuju ending. Teror yang dihadapi oleh Renai dan penonton di rumah baru ini nyatanya malah justru lebih parah dan mencekam ketimbang sebelumnya. James Wan tidak akan membiarkan Anda duduk tenang di kursi bioskop.

Sesungguhnya, Insidious tidak dilengkapi naskah yang istimewa. Kesuksesan dalam membuat penonton menjerit ketakutan karena Wan pintar menciptakan atmosfir yang pas. Belum lagi musik gubahan Joseph Bishara yang mendukung. Terdengar berisik dan kuno, namun efektif. Grafik ketegangan sempat menukik turun saat penonton mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Dalton dan sosok apa yang menghantuinya. Tapi lagi-lagi, Insidious tidak berakhir begitu saja. Wan dan Whannell masih menyisipkan sejumlah twist yang pasti membuat Anda gemas dan lemas. Jantung terus digedor hingga credit title benar-benar berakhir. Alunan lagu dari Tiny Tim, Tiptoe Through The Tulips mendukung segalanya. Jika Anda, setelah menyaksikan film ini, berani tidur dalam kegelapan dan bercermin, maka saya acungi dua jempol. Karena saya dibuat lemas tak berdaya setelah menonton Insidious. Kesalahan saya, tidak memersiapkan jantung dengan baik dan terlalu meremehkan film horror buatan James Wan ini. Insidious adalah bukti film horror yang sangat menakutkan tanpa perlu dibanjiri dengan bergalon-galon darah, potongan tubuh dan ketelanjangan.

Exceeds Expectations

Trailer


12 comments:

  1. akhirnya dibuatin reviewnya \(^^)/

    ReplyDelete
  2. nnotonya di bioskop? sekarang masi diputar ga ya?

    ReplyDelete
  3. Iya, sangat disarankan nonton di bioskop agar feel-nya lebih terasa. Sampai sekarang masih gagah perkasa kok di bioskop :)

    ReplyDelete
  4. jadi parno sehabis nnton flim ini

    ReplyDelete
  5. kecewa banget begitu tahu misterinya... jadi gag nakutin lagi...

    ReplyDelete
  6. udah ada filmnya di lappie tp smape skrg ga brni nntn. *ga smpt nntn di bioskop* liat foto nenek2 di atas tmbh bkn ga pengen nntn --" ngeri. tp kta tmn2 sih, bgs bgt sampe susah tdr

    ReplyDelete
  7. Kalau berkenan, saya ingin bertanya, kenapa film ini tidak disarankan untuk penonton di bawah umur ya? Trims sebelumnya. Lagi mau incar DVD original-nya. :)

    ReplyDelete
  8. Karena filmnya yang terbilang menyeramkan. Dikhawatirkan dapat mempengaruhi psikologi anak :)

    ReplyDelete
  9. Dari skor 1-10, "menyeramkannya" kira-kira skor berapa ya? *deg-degan* Murid kelas SMP 3 kira-kira bisa nggak ya? Trims sebelumnya. Jadi banyak nanya, hehe. :)

    ReplyDelete
  10. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  11. Saya beri skor 7. Kalau murid kelas 3 SMP sih tak masalah :) Di bawah umur ini patokannya kurang dari 13 tahun atau belum memasuki SMP.

    ReplyDelete
  12. Makasih banyak ya! :) Blog ini baru ketemu 2 hari yang lalu tapi langsung jadi referensi film terbaru, hihi. ^^ Ditunggu review-review berikutnya!

    ReplyDelete