Pages

September 15, 2011

REVIEW : RISE OF THE PLANET OF THE APES


"Apes alone weak. Apes together strong."

Apa revolusi yang paling menggemparkan dunia? Bukan revolusi Perancis, revolusi Russia, revolusi Iran, apalagi revolusi industri. Ini benar-benar sesuatu yang tidak biasa dan aneh. Revolusi kera. Nah lho, bisa dibayangkan bagaimana kekacauan yang terjadi, bukan? Sekelompok primata mengamuk, menghancurkan bangunan-bangunan di perkotaan dengan membabi buta menuntut kebebasan dan perlakuan yang layak terhadap manusia. Walaupun hanya terjadi di film Hollywood terbaru, namun tidak menutup kemungkinan hal ini bisa terjadi di masa mendatang terutama ketika hari kiamat telah mendekat. Revolusi kera ini terjadi dalam film garapan Rupert Wyatt, Rise of the Planet of the Apes, yang merupakan film ketujuh dari franchise Apes. Mengingat Rise of the Planet of the Apes (selanjutnya akan saya sebut dengan ROTPOTA) adalah sebuah reboot, maka ROTPOTA tidak memiliki keterkaitan dengan Planet of the Apes garapan Tim Burton yang dikecam para kritikus tersebut. Apabila melihat dari sejarah franchise-nya, ROTPOTA sedikit banyak memiliki kemiripan alur dengan Conquest of the Planet of the Apes (1972). Menjadi semacam pertanda bahwa franchise ini akan kembali dilanjutkan.

Protagonis kita adalah Will Rodman (James Franco), seorang ilmuwan yang tengah melakukan eksperimen terhadap sejumlah simpanse demi menemukan cara untuk mengobati penyakit Alzheimer. Gen-Sys, perusahaan tempat Will bernaung, enggan memberikan suntikan dana pada eksperimen ini setelah salah satu simpanse bernama Bright Eyes mendadak menjadi liar dan membuat para investor merugi. Will yang putus asa kemudian merawat anak Bright Eyes, Caesar (Andy Serkis), seraya mencoba untuk menemukan ramuan obat Alzheimer yang lebih pas. Caesar pun dijadikannya sebagai kelinci percobaan. Tak dinyana, obat yang dikembangkan oleh Will ini memberi dampak yang luar biasa kepada Caesar. Dia tidak lagi menjadi simpanse biasa. Tingkah lakunya menyerupai manusia dan Caesar memahami bahasa isyarat. Semakin hari, Caesar menjadi semakin cerdas dan cerdas. Melihat respon yang positif seperti ini, Will menjajalnya pada sang ayah, Charles (John Lithgow) yang mengidap Alzheimer. Penyakitnya seketika lenyap dalam semalam. Atasan Will, Steven (David Oyewolo), yang semula mendepaknya langsung mengutusnya untuk mengembangkan obat ini. Namun keserakahan para manusia yang bertindak seolah-olah sebagai Tuhan ini akhirnya harus dibayar mahal. Caesar mulai memberontak dan kondisi Charles justru kembali memburuk. Setelah menyerang seorang pria yang memaki Charles, Caesar dikirim ke semacam tempat penampungan hewan yang lebih mirip seperti sebuah penjara. Dikomandoi oleh seseorang yang mirip Hannibal Lecter dan hadirnya Draco Malfoy versi kucel, ini jelas bukan tempat yang tepat bagi Caesar yang emosinya tengah labil.

Saya sama sekali tidak menduga ROTPOTA akan menjadi sebuah sajian yang sangat memuaskan. Diremehkan oleh banyak pihak ketika proyek ini pertama kali didengungkan, Rupert Wyatt sukses membungkam siapa saja yang awalnya memandang film buatannya ini dengan sebelah mata, termasuk saya. Saat materi promosinya dipublikasikan, ROTPOTA sudah terlihat menjanjikan. Film ini langsung bercokol di urutan pertama film yang paling saya nantikan kehadirannya di bulan Agustus lalu. Setelah berminggu-minggu lamanya mengalami kegalauan mengkhawatirkan ROTPOTA yang mungkin saja tidak akan ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia, minggu lalu saya bisa bernafas lega setelah 21 Cineplex dan Blitz memberi lampu hijau untuk film ini. Penantian saya pun terbayar lunas. Seperti halnya Star Trek garapan J.J. Abrams, ROTPOTA versi Wyatt ini telah membuat saya jatuh hati pada franchise Apes. Sebelumnya, saya tidak tertarik sama sekali. Naskah racikan Rick Jaffa dan Amanda Silver sebetulnya sederhana, akan tetapi penanganan Wyatt yang tepat adalah kuncinya. Wyatt tidak memusingkan penontonnya dengan istilah-istilah yang rumit agar ROTPOTA bisa disebut sebagai film science fiction berkualitas tinggi. Alur berjalan dengan menarik dan tidak bertele-tele. Saat Caesar berjuang untuk mendapatkan kebebasannya, tensi meningkat. Pada titik ini yang berkeliaran di pikiran saya adalah, “apakah ROTPOTA bisa disebut sebagai film horror?” Penjara primata ini tidak hanya menjadi momok bagi para primata, tetapi juga penonton. Kita turut merasakan apa yang mereka rasakan. Saat revolusi mulai bergejolak, kita dihadapkan pilihan antara membenarkan tindakan primata-primata ini atau justru mengutuknya. Wyatt dan tim berada dalam posisi netral, tidak membiarkan kita memihak salah satu pihak meski terkadang ada kalanya penonton akan lebih memilih mendukung tindakan para primata.

Sanjungan juga patut untuk dilayangkan kepada Andy Serkis dan CGI buatan WETA yang memesona. Andy Serkis bisa dikatakan sebagai dewa penyelamat. Departemen aktingnya sama sekali tidak istimewa. Cenderung datar malah. James Franco bermain di zona yang terlalu aman, Freida Pinto terasa sama sekali tidak penting dan duo Brian Cox plus Tom Felton tak ada bedanya dengan villain di film sejenis yang sangat menyebalkan yang adegan kematiannya dirancang untuk membuat penonton bersorak sorai. Beruntung, Wyatt memiliki Serkis. Setelah bermain apik sebagai Gollum di trilogy The Lord of the Rings dan menghidupkan kembali tokoh legendaris, King Kong, Serkis tampil mengesankan sebagai Caesar. Dia adalah bintang sesungguhnya di ROTPOTA. Apakah penampilan briliannya disini sudah cukup untuk membuat Serkis mendapatkan piala Oscar? We’ll see. Special effect dalam ROTPOTA memang tidak semewah seperti apa yang ditunjukkan oleh Transformers 3, namun tetap digarap rapi dan porsinya tidak berlebihan karena difungsikan hanya sebagai penunjang, bukan sebagai kebutuhan utama. Sesuatu yang sudah sangat jarang ditemukan dalam film-film berbujet besar saat ini. Wyatt dan tim tidak manja. Sekalipun difasilitasi dengan special effect yang canggih, naskah tetap diperhatikan dengan baik. Dengan kepuasan tiada tara yang saya dapatkan seusai menonton film ini, pantaslah rasanya saya menempatkan ROTPOTA ke dalam jajaran film terbaik tahun ini.

Exceeds Expectations

4 comments:

  1. Follow yap cantrecallmypastlives.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. jadi penasaran, apalagi ada james franco hehe

    ReplyDelete
  3. Dari dulu gw emang dah penasaran ama film ini, apalagi abis nonton trailernya. Cuma gw sempet khawatir filmnya bakalan batal tayang begitu muncul kasus sengketa menteri Indo ama MPAA. Untungnya, masalahnya kelar tepat waktu sehingga gw bisa nonton dengan keterlambatan waktu yg ga beda jauh dengan tanggal rilisnya di AS sono...

    Anyway, soal filmnya sendiri, menurut gw emang keren. Filmnya berhasil menampilkan Caesar apa adanya, mulai dari bagaimana dia berperilaku & menampilkan emosi tanpa berkata-kata, sampai bagaimana dia bertansformasi dari seekor hewan adopsi yg polos menjadi seekor primata kharismatik yg ingin menghentikan penindasan atas kawan-kawannya. Adegan action di bagian menjelang akhir filmnya juga sama sekali ga ngebosenin

    Scene paling bikin trenyuh menurut gw ya pas si Caesar abis disemprot air itu, terus kemudian meringkuk sendiri di selnya. Sementara yg paling bikin merinding itu pas dia & primata-primata lainnya melarikan diri dari penangkaran

    Selebihnya, yg gw kurang suka ya adegan-adegan berantemnya yg kurang brutal. Belum ditambah gimana para polsinya yg berpakaian pelindung lengkap bisa pingsan begitu aja walau cuma dipukul sekali ama keranya. Padahal gw awalnya dah berharap bisa lihat banyak darah pas adegan manusia vs keranya, secara tampang keranya juga dah sangar-sangar, hehehe. But at least, film ini jadi bisa disaksikan pula oleh anak-anak.

    ----------------------------------------

    Btw, Tar. Gw rekues reviewnya film "Tarung" juga donk...

    ReplyDelete
  4. Filmnya Lumayan .. tapi gampang di tebak ... and gak ada endingnya

    Regards

    ReplyDelete