“People ask me "Why do you risk death?". For me, this is life.”
Apa kamu pernah merasakan mimpi-mimpimu diremehkan oleh orang lain hanya karena dinilai terlalu ambisius atau malah, yah... bukan sesuatu yang prestisius? Philippe Petit (Joseph Gordon-Levitt) pernah. Sebagai putra dari seorang pilot, tujuan hidup yang ingin dicapai oleh Philippe bukanlah mengikuti jejak keberhasilan sang ayah melainkan berjalan menyebrangi gedung pencakar langit kembar World Trade Center New York di atas seutas tali tanpa menggunakan pengaman. Mimpi, atau bisa juga kamu sebut obsesi, Philippe ini memang terdengar terlalu mengada-ada bagi kebanyakan orang. Akan tetapi, sekalipun cibiran terus menerus menghampiri Philippe yang berujung pada diusir oleh orang tuanya dari rumah, Philippe tidak pernah menyerah untuk mewujudkan ide gilanya tersebut. Kegigihan Philippe dalam memperjuangkan cita-cita yang disebutnya sebagai ‘coupe’ ini menarik perhatian aktris jalanan Annie (Charlotte Le Bon), fotografer Jean-Louis (Clément Sibony), guru matematika yang takut ketinggian Jeff (César Domboy) dan pemilik sirkus Papa Rudy (Ben Kingsley) yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran mereka agar apa yang didamba-dambakan oleh Philippe dapat terlaksana dengan sukses.
Bagian terbaik dalam The Walk adalah 30 menit dari sisa durasi. Semenjak Philippe dan tim menyusun siasat untuk menyelinap masuk ke gedung kembar, tensi film perlahan tapi pasti mulai meningkat yang lantas mencapai titik maksimalnya tatkala atraksi Philippe resmi dimulai. Bagi kamu yang memiliki ketakutan hebat terhadap ketinggian (acrophobia), bersiap-siaplah untuk dibuat lemas tak berdaya di dalam bioskop menyaksikan panorama yang terhampar di sekitar Philippe khususnya jika menyimaknya dalam format 3D. Ya, Robert Zemeckis berhasil menyajikan sebuah pengalaman sinematik memuaskan berwujud momen ‘penyebrangan’ ini yang layak memperoleh label sebagai salah satu momen paling mendebarkan tahun ini (atau malah yang pernah ada dalam sejarah sinema!). Sensasi was-was tidak hanya akan menjangkiti para pemilik acrophobia, tetapi juga penonton kebanyakan sampai-sampai sulit untuk bernafas lantaran ketegangannya mencengkrammu erat. Phew. Untuk mencapai titik ini, Zemeckis pun memberikanmu perjalanan yang menyenangkan sebelumnya. Permulaannya tidak mulus, memang. Namun seiring berlalunya durasi, The Walk kian nikmat buat ditengok terlebih nada penceritannya ceria penuh humor, jalinan pengisahannya mengikat pula inspiratif dan akting Joseph Gordon-Levitt begitu ciamik dengan aksen Prancis yang kental. Sangat menarik!
Outstanding
“I'm gonna have to science the shit out of this.”
Melanjutkan tradisi akhir tahunan Hollywood untuk meluncurkan film bergenre fiksi ilmiah perihal penjelajahan antariksa, perwakilan kali ini adalah The Martian garapan Ridley Scott (Alien, Promotheus) yang didasarkan pada novel berjudul sama karangan Andy Weir. Basis ceritanya sendiri seperti perpaduan antara Robinson Crusoe, Cast Away dengan Apollo 13 mengenai perjuangan seorang astronot bernama Mark Watney (Matt Damon) untuk bertahan hidup seorang diri dengan perlengkapan serba terbatas di Planet Mars usai ditinggal oleh timnya dari Ares III yang mengira Watney telah tewas paska diterjang badai besar. Alih-alih menyerah pada keadaan, Watney justru mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya agar tetap bisa menghembuskan nafas dan berusaha mengirimkan kontak ke NASA untuk mengabarkan kondisi sebenarnya mengenai dirinya. NASA yang belakangan mengetahui Watney masih segar bugar lantas menyusun rencana penyelamatan yang terdiri atas: a) mengirimkan suplai makanan agar Watney dapat hidup hingga kedatangan tim Ares IV beberapa tahun mendatang, dan b) meminta tim Ares III yang tidak tahu menahu soal Watney untuk kembali ke Mars menjemput sang rekan.
Membayangkan terdampar di sebuah pulau terpencil sendirian saja sudah bikin stres, apalagi ditinggal seorang diri di planet lain yang jaraknya jutaan mil dari Bumi. Tentu kamu bisa merasakan perasaan Mark Watney, bukan? Tapi tenang saja, Ridley Scott tidak mengalunkan The Martian seperti dua kakak tingkatnya, Gravity dan Interstellar, yang cenderung depresif (sulit untuk tertawa di tengah-tengah bencana antariksa, mungkin begitu) melainkan menginjeksi banyak keriangan terhadap tuturan kisahnya. Ya, walau nadanya cenderung getir, humor-humor bertebaran ini tergolong efektif dalam mencairkan ketidaktentuan suasana yang kadang mencekam, kadang menjemukan. Tapi, tentu saja, kontribusi terbesar dalam membawa asupan oksigen pada The Martian berasal dari performa gemilang Matt Damon. Kemampuannya untuk membuat penonton bersimpati penuh kepada Mark Watney merupakan aset paling berharga dari film yang tersusun atas efek khusus mengesankan, pilihan tembang-tembang pengiring yang unik (hey, lagu disko di film fiksi ilmiah!), dan skrip lezat olahan Drew Goddard ini. Berkat The Martian, akhirnya Mars memperoleh tempat yang layak di film layar lebar, Ridley Scott kembali ke jalan yang benar, dan mata pelajaran ilmu eksakta tidak lagi terlihat sebagai momok menyeramkan.
Exceeds Expectations
ah iya, Gravity & Interstellar emang bikin depresi nontonnya. The Martian menurutku sih masih entertain. Si Mark masih bisa dengerin lagu disko di Mars :D
ReplyDeletethe martian memang lebih fun. seru, tegang, haru, tawa, semua ada. tapi entah knapa, the walk lebih memuaskan buat ane.
ReplyDeletecinematic experiencenya lebih berasa. sampe lemes gara2 kebanyakan nahan napas ngeliat aksi phillipe yang ampun dah!
^ Tos! Saya pun merasa lebih puas menonton The Walk ketimbang The Martian. Adegan di klimaks film itu benar-benar edan sampai lemas melihatnya. Hahaha.
ReplyDelete@Lina: Yoi. Gravity terlalu sunyi dan Interstellar terlalu njelimet. Kalau di The Martian, penontonnya juga bisa ikut-ikutan joget. Film fiksi ilmiah tapi tembang pengiringnya 'I Will Survive'. Unik!