Pages

June 11, 2016

REVIEW : THE CONJURING 2


"After everything we’ve seen there isn’t much that rattles either of us anymore. But this one, this one still haunts me."

Umumnya, sekuel dari sebuah film yang sukses secara kualitas mengalami hambatan berarti dalam melampaui – atau well, minimal menyamai – pencapaian dari instalmen pertama. Hanya segelintir judul yang sanggup membuyarkan ‘kutukan’ ini dan semakin mengerucut begitu kita membicarakan film dari teritori horor mengingat bukan perkara mudah untuk mengkreasi trik menakut-nakuti yang tidak sekadar pengulangan dari seri pendahulu demi memenuhi keinginan khalayak yang pastinya berharap lebih. Sulitnya menjumpai sekuel film seram dalam level “bagus” inilah yang mendasari skeptisisme menyambut kehadiran The Conjuring 2 sekalipun masih ada nama James Wan (Insidious, The Conjuring) di belakang kemudi. Ya mau bagaimana lagi, jilid perdananya merupakan salah satu film horor terbaik dalam beberapa dekade terakhir dengan teknik menebar teror kelas wahid dan ungkapan ‘lightning never strikes the same place twice’ lebih sering terbukti benar ketimbang keliru. Jadi untuk meminimalisir kekecewaan, satu-satunya pengharapan yang kemudian diboyong masuk ke gedung bioskop hanyalah, “semoga masih ada satu-dua momen pemantik jeritan lepas!.” 

The Conjuring 2 membawa pasangan Warren, Ed (Patrick Wilson) dan Lorraine (Vera Farmiga), ke Enfield, London enam tahun selepas peristiwa menyeramkan yang menimpa keluarga Perron di film pertama. Kali ini, mereka mencoba membantu seorang single parent dengan empat orang anak bernama Peggy Hodgson (Frances O’Connor) untuk membersihkan aktifitas supranatural di rumahnya yang telah berlangsung selama beberapa bulan. Aktifitas tersebut tidak sekadar meliputi benda-benda bergerak secara misterius, suara-suara aneh, serta penampakan-penampakan, melainkan juga termasuk adanya roh jahat yang bersarang dalam tubuh salah satu putri Peggy, Janet (Madison Wolfe). Tingkah laku janggal Janet sendiri dinilai berlebihan oleh sejumlah pihak sehingga ada kecurigaan bahwa kasus ini tidak lebih dari akal-akalan Peggy demi memperoleh rumah pengganti dari pemerintah. Lorraine pun sempat dihadang keraguan untuk melanjutkan menangani kasus ini lantaran kebenaran mengenai Janet yang kerasukan mulai dipertanyakan dan adanya penglihatan yang menunjukkan Ed dibunuh oleh sesosok iblis berkostum biarawati. 

Siapa menduga petualangan supranatural kedua pasangan Warren masih akan memberi sensasi ketakutan yang sama? Ungkapan ‘lightning never strikes the same place twice’ jelas sama sekali tidak berlaku disini. Terlonjak hebat dari kursi bioskop, berteriak-teriak lalu diikuti tawa gemas guna melepas stres, serta meringkuk manis di balik jaket adalah reaksi yang sangat mungkin kamu alami sepanjang menyimak The Conjuring 2. Dan, menghela nafas penuh kelegaan merupakan hal pertama yang saya lakukan usai menonton The Conjuring 2 di bioskop lantaran hampir sepanjang durasi dibuat sesak nafas. Hanya mengharap ada satu dua momen mengerikan, nyatanya James Wan memberikan lebih dari itu. Memang sih tidak ada adegan legendaris macam ‘hide and clap’ seperti sang predesesor, tapi The Conjuring 2 mempunyai penyebaran teror yang lebih merata dan berlimpah tanpa pernah terasa murahan apalagi mubazir. Penampakan para memedi mempunyai korelasi kuat dengan pergerakan kisah – bukan asal nongol sesuka hati agar penonton terkaget-kaget – dan kemunculannya pun diatur sedemikian rupa diiringi musik menghantui gubahan Joseph Bishara sehingga sekalinya muncul, istighfar maupun sumpah serapah dari mulut penonton seketika menggema.

Ya, The Conjuring 2 memang jagoan dalam urusan menakut-nakuti penonton entah itu menggunakan jump scares efektif atau atmosfir serba tidak mengenakkannya yang tercium kuat utamanya di paruh awal. Wan tidak berbasa-basi terlebih dahulu – atau menunggu penonton menyiapkan mental – karena begitu lampu bioskop dipadamkan, kita ditarik memasuki rumah Amityville yang merupakan salah satu kasus paling terkenalnya pasangan Warren. Bahkan hanya sesaat setelah duo protagonis menuntaskan kasus tersebut, sorotan langsung berpindah ke keluarga Hodgson. Memberi sekelumit gambaran terkait keluarga malang ini, teror kembali menghujam selepas Peggy bermain-main menggunakan papan Ouija. Kali ini benar-benar tiada ampun. Bulu kuduk merinding, tenggorokan tercekat, dan ada kalanya ingin mengalihkan pandangan dari layar. Suasananya begitu mengganggu, penampakan iblisnya pun sangat menyeramkan. Alih-alih bergantung pada komputer, tim produksi memutuskan untuk mendayagunakan kehebatan tim tata rias plus pencahayaan dalam mengkreasi tampilan si setan. Hasilnya, meyakinkan! Saking meyakinkannya, penonton berhasil dibuat percaya bahwa apa yang mereka lihat di layar adalah sesosok iblis bukannya manusia berdempul tebal (...atau jangan-jangan memang benar?). Yikes! 

Pun demikian, sumber kekuatan The Conjuring 2 tidak semata-mata berasal dari keahliannya menebar rasa takut, melainkan juga bagaimana film ini menciptakan rasa haru. Ada hati yang besar dibalik tampilan serba seramnya. Usai pasangan Warren mendarat di London, laju film sempat melambat namun tidak lantas membosankan untuk memberi ruang bernafas bagi penonton. Pada titik inilah, momen dramatik mulai tumbuh berkembang. Kita mengenal lebih jauh pasangan Warren, kita juga memperoleh tambahan informasi soal keluarga Hodgson. Wan menebalkan sisi humanis dan drama sentimentil untuk mendekatkan penonton dengan barisan karakter dalam film. Kita peduli terhadap apa yang para protagonis alami. Seolah-olah pasangan Warren dan keluarga Hodgson adalah orang-orang yang kita kenal baik di kehidupan nyata, bukan sekadar karakter dalam film. Inilah nilai lebih bagi The Conjuring 2 dibanding kebanyakan film horor masa kini yang sekaligus mengangkat derajatnya. Nilai lebih lainnya, para pelakonnya memberi kontribusi akting ciamik dalam menghidupkan karakter masing-masing terutama duo Vera Farmiga-Patrick Wilson yang chemistry bagusnya membuat kita iri, luluh, serta terenyuh melihat kemesraan pasangan Warren. 

Memberi label The Conjuring 2 ‘lebih seram atau tidak lebih seram’ dari jilid pertama, tergantung seberapa jauh kamu menyukai film perdananya. Apabila bagimu The Conjuring adalah sebuah tontonan horor yang sangat gemilang, bisa jadi apa yang ditawarkan Wan disini tidak akan membuatmu terpesona. Tapi jika kamu menganggap seri pendahulu tidak sebagus yang diobrolkan banyak orang, well, The Conjuring 2 akan mudah memikat hatimu dan menilai tingkat keseramannya lebih tinggi ketimbang sang kakak. Pada akhirnya, mengesampingkan kemana keberpihakanmu, rasa-rasanya kita dapat menyepakati film ini sebagai salah satu sajian horor paling menyeramkan keluaran negeri Paman Sam dalam beberapa tahun terakhir. Berkat The Conjuring 2, kita tidak akan lagi memandang sama para biarawati serta tidak akan lagi bisa mendengar tembang “Can’t Help Falling in Love” maupun “Hark! The Herald Angels Sing” tanpa harus bergidik ngeri. Well done, James Wan!

Outstanding (4/5)


5 comments:

  1. James Wan emang keren banget. Setelah The Conjuring 2 ini, aku lagi nungguin Lights Out, walaupun James Wan cuma jadi Produser, tapi dari trailernya, meyakinkan banget.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama. Aku juga nungguin Lights Out. Suka banget dengan film pendeknya jadi penasaran gimana versi panjangnya. Trailernya sih oke.

      Delete
  2. Om film horor itu krn suara nya aja atau nggak ya?

    ReplyDelete
  3. Kaak belum update review film2 baru kayak sabtu bersama bapak, koala kumal, habibie 2 gitu2 kak.. ditunggu loh hehe

    ReplyDelete