Pages

August 17, 2016

REVIEW : LIGHTS OUT


“Sometimes the strongest thing to do is to face your fear.” 

Tahun lalu, seorang kawan mengenalkanku pada sebuah film horor pendek berjudul Lights Out yang diunggah oleh akun bernama ponysmasher di YouTube. Durasinya singkat saja, sekitaran tiga menit, tapi daya teror yang dibawanya sanggup membuat penonton-penonton berhati lemah enggan lagi untuk mematikan lampu sampai kurun waktu cukup lama. Efektifitas penempatan metode menakut-nakutinya di tengah terbatasnya durasi dan (pastinya) bujet layak memperoleh acungan dua jempol. Ponysmasher atau David F. Sandberg tidak hanya memberi rasa takjub lewat Lights Out semata karena penelusuran didasari kepenasaran tingkat tinggi akan karya-karyanya mempertemukanku dengan film-film seram lain darinya yang tidak kalah menggedor jantung, seperti Pictured, Cam Closer, serta Coffer. Dengan popularitas kian menjulang akibat masifnya penyebaran Lights Out lewat media sosial, tinggal menunggu waktu bagi sang sutradara untuk mendapat ajakan berkolaborasi dari para petinggi Hollywood. Benar saja, hanya terhitung tiga tahun sejak versi pendeknya mulai menjumpai penggemarnya, Lights Out mendapatkan kesempatan menghiasi layar-layar bioskop dunia dalam wujud film panjang. 

Karakter penjaga baris lini utama di Lights Out adalah Rebecca (Teressa Palmer). Bukan tipikal gadis baik-baik seperti kebanyakan heroine di film horor, Rebecca digambarkan enggan merajut komitmen bersama sang kekasih, Bret (Alexander DiParsia), dan mempunyai hubungan bermasalah dengan sang ibu, Sophie (Maria Bello), sehingga membawanya pergi dari rumah. Relasi antar ketiga karakter ini perlahan mulai berubah semenjak Rebecca mendapatkan panggilan dari sang adik, Martin (Gabriel Bateman). Kesulitan memejamkan mata kala malam hari lantaran menjumpai kejanggalan pada perilaku Sophie, Martin meminta bantuan pada Rebecca untuk menampungnya sementara di apartemennya. Kedatangan Martin ternyata mengembalikan kenangan buruk dari masa kecil Rebecca terhadap sesosok misterius bernama Diana. Mendapati keberadaan makhluk gaib yang mengerikan nan mengancam setiap kali penerangan dipadamkan, Rebecca mulai mengorek masa lalu Diana yang disinyalir merupakan dalang dari setiap teror di sekitarnya. Dalam investigasinya, Rebecca tidak saja menjumpai fakta memilukan mengenai Diana tetapi juga mengungkap rahasia kelam keluarganya termasuk masa lalu Sophie dan keberadaan ayah kandungnya. 

Lights Out bukanlah film horor banci penampakan – jika itu yang kamu khawatirkan. Guna mencekam penonton, David F. Sandberg banyak mempergunakan trik membangun atmosfir setidaknyaman mungkin yang berarti kamu akan sering melihat lorong-lorong panjang nan gelap, situasi sunyi yang serba janggal seolah-olah ada sesuatu disana tapi kamu tidak bisa meyakininya secara pasti (kebanyakan menyebutnya metode “there or not there”), sampai sekelebatan-sekelebatan yang cepat menghilang sebelum kamu sadari, ketimbang mempersilahkan si hantu menampakkan wujud utuhnya. Dampaknya, riuh rendah jerit tawa penonton di dalam bioskop mungkin akan jarang terdengar kecuali pada menit-menit tertentu saat Sandberg memutuskan untuk rehat sejenak dari “gangguan rasa” ke penonton dan melepas jump scares berpenempatan efektif yang akan membuat kita terlonjak di kursi bioskop. Hanya saja, mengingat ruang gerak si hantu sangat terbatas yakni di luar jamahan cahaya, trik menerornya cepat sekali kehabisan bahan bakar. Mula-mula membangunkan rasa takut, namun lama kelamaan mulai terbiasa lantaran cenderung repetitif meski bohong sekali kalau mengatakan sama sekali tidak terperanjat. 

Kekhawatiran adanya pengulangan berkelanjutan sebetulnya telah mengemuka sedari proyek film ini diumumkan. Sebagai film pendek, teror “jangan coba-coba matiin lampu karena ada sesuatu berbahaya dibalik kegelapan” bekerja sangat baik. Tapi saat direntangkan menjadi film panjang berdurasi satu setengah jam, errr... tidak terlalu. Upaya mengisi kekosongan agar penonton tidak terhantam kejenuhan pada akhirnya memunculkan gagasan-gagasan penuh tanda tanya seperti bagaimana Diana bisa berada di apartemen Rebecca (tidak akan dijabarkan lebih lanjut demi menghindari spoiler) atau menggelikan utamanya ketika salah satu karakter mengeluarkan kunci mobilnya (tebak sendiri untuk apa!). Dua faktor yang lantas menghindarkan Lights Out dari julukan ‘film horor medioker’ adalah sumbangsih akting bagus jajaran pemainnya seperti Teressa Palmer, Maria Bello, serta Gabriel Bateman yang cukup mampu menghidupkan elemen drama keluarga emosionalnya, dan masih adanya teror-teror cermat kreasi David F. Sandberg yang akan membuatmu setidaknya menempatkan tas di depan wajah untuk menghalau pandangan ke layar. Buat seru-seruan di kala senggang sih, Lights Out bolehlah.

Acceptable (3/5)

10 comments:

  1. tapi film ini tdk buruk menurut saya...emang konsep seram nya sering di ulang2 matikan lampu hidupkan lampu tapi itu cukup berhasil bikin saya terkejut..yg agak disesalkan penyelesainya cuma begitu doang..

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Angga: Iyap. Penyelesaian masalahnya kurang greget walau untungnya nggak jatuh jadi konyol macam Annabelle. Dan omong-omong, aku tidak menyebut film ini buruk (karena dari komenmu mengisyaratkan kalau memberi ulasan negatif ke film ini).

      Delete
    2. saya melihat dari rating yg kamu berikan.agak rendah juga.kalau saya memberi rating sedikit lebih tinggi yakni 3,5/5

      Delete
    3. Buatku 3 terhitung masih layak tonton dan filmnya masih direkomendasikan ke pembaca. Nggak aku naikkan jadi 3,5 karena tidak melebihi ekspektasi sebelum nonton. Kebetulan aku suka banget dengan film pendeknya. Mending baca ulasannya saja, kadang nilainya nggak selalu sejalan kok (ada pertimbangan yang bisa panjang jika dijabarkan).

      Delete
    4. ooo gitu iya jadi rating nya gak selalu sejalan..maaf ya kalo bikin kmu marah sebelum nya trimaksi atas review review nya sangat membantu saya dalam memilih film sebelum di tonton..

      Delete
    5. Hahaha, santai aja kali. Aku nggak marah kok. Cuma memang mau menegaskan aja sih soal keterkaitan rating dengan ulasan karena sering ditanya temen juga.

      Delete
  2. kalau dibandingin sama the conjuring 2, bagusan mana kak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmmm... secara personal aku lebih menyukai The Conjuring 2 sih.

      Delete
    2. aku juga lebih menyukai the conjuring 2

      Delete
  3. Film ini "menyacati" reputasi film pendek aslinya.

    ReplyDelete