Pages

September 30, 2016

REVIEW : ATHIRAH


Tradisi Miles Films sedikit berubah tahun ini. Jika biasanya mereka hanya mempersembahkan satu karya untuk khalayak ramai, maka sekali ini dua film diluncurkan dengan pendekatan cenderung berbeda; Ada Apa Dengan Cinta? 2 dan Athirah. Adanya perbedaan pun tidak sebatas terhenti pada tradisi maupun bagaimana kedua buah hati diperlakukan, melainkan sampai menyasar ke lantunan kisah. Athirah, film terbaru dari Miles Films yang disarikan dari novel bertajuk sama racikan Alberthiene Endah serta dikomandoi oleh Riri Riza, pada dasarnya adalah sebuah film biografi. Didalamnya, terdapat konflik terkait istri dimadu (atau bahasa kerennya, poligami) dan elemen religi yang melingkungi. Dalam menafsirkan ulang kisah Athirah, ibunda dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, ke bahasa gambar gerak Riri sebisa mungkin tidak ingin terkungkung pada pakem film biografi, poligami, maupun religi yang jamak diaplikasikan oleh mayoritas sineas dalam negeri. Biografi condong ke arah glorifikasi, poligami identik dengan isak tangis tak berkesudahan, dan religi sekadar untuk alat hias belaka. Riri mencoba memberi warna lain lewat penuturan lebih puitis nan elegan dalam Athirah sehingga sulit disangkal memberikan kesegaran tersendiri bagi film yang sejatinya mengusung tema usang ini. 

Perjalanan film dibuka oleh kemunculan sebuah truk yang mengangkut Athirah (Cut Mini) dan suaminya, Haji Kalla (Arman Dewarti). Pasangan suami istri ini mengungsi dari Bone ke Makassar lantaran situasi kurang kondusif tengah melanda kampung halaman akibat peperangan melawan kelompok separatis pasca kemerdekaan Republik Indonesia sehingga mustahil bagi keduanya memperoleh mata pencaharian yang layak. Setibanya di Makassar, tanpa banyak berbasa basi, film lantas memperlihatkan bahwa pelarian mereka membuahkan hasil. Bisnis yang dikelola Haji Kalla bersama istrinya berkembang pesat dan mereka pun dikaruniai putra-putri yang taat, salah satunya adalah si anak sulung yang bernama Ucu (Christoffer Nelwan). Kehidupan keluarga Kalla terhitung sakinah bahkan Athirah tengah mengandung anak keempat, sampai sebuah berita tak mengenakkan hati membisiki telinga Athirah yang seketika menggoyahkan bahtera rumah tangga mereka. Ternyata oh ternyata, Haji Kalla telah mempersunting perempuan lain tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan pada sang istri. Mengetahui dirinya telah dimadu, hati Athirah tentu nelangsa. Hanya saja alih-alih meratapi nasib pilunya, Athirah justru memilih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membangun bisnisnya sendiri. 

Ya, Athirah memang tidak dilantunkan bak melodrama yang sedikit-sedikit terdengar teriakan histeris, sedikit-sedikit bercucuran air mata, sekalipun kisah hidup sang subjek adalah materi bagus untuk membuat penonton terisak hebat. Riri memilih menuturkannya secara elegan, dipenuhi ketenangan ketimbang letupan-letupan emosi, seraya mempersilahkan penonton memberi pembacaannya sendiri atas suatu adegan lantaran dialog memang bukan sesuatu yang lazim ditemukan dalam Athirah. Bukannya tak ada, hanya saja diminimalisir betul-betul dan lebih bergantung kepada permainan mimik wajah barisan karakternya untuk menjabarkan suatu keadaan. Kesunyian semacam ini boleh jadi berasa janggal bagi penonton yang mendamba drama eksplosif – jika kamu berekspektasi demikian, hempaskan sesegera mungkin – akan tetapi saat kamu dapat menerima gaya tutur sang sutradara, kesan puitis dan cantik dapat dirasakan. Pemilihan gaya tutur tenang-tenang menghanyutkan sendiri, bagi saya, efektif menebalkan karakteristik dari sang tokoh utama yang digambarkan sebagai perempuan kuat dan tegar. Hanya sesekali Athirah terlihat menangis di depan karakter lain pasca dipoligami, selebihnya air mata kekecewaan ditumpahkan kala dia tengah sendirian atau membaca kitab suci. Pun tanpa ledakan tangis, Athirah tetap sanggup menusuk hati penontonnya sedemikian rupa. 

Athirah berupaya menahan-nahan emosinya demi keutuhan keluarga. Dia tidak ingin anak-anaknya menyadari bahwa hubungannya dengan sang suami telah jauh merenggang – walau tercium juga oleh Ucu – dan tetangga sekitar yang pastinya gemar bergunjing mengetahui kian dalam aib keluarga bercitra terhormat ini. Tidak ingin terlarut dalam kesedihan, pula upayanya untuk tidak membebani Haji Kalla yang telah mempunyai keluarga lain untuk dihidupi, Athirah pun membangun usaha sarung tenun sutera. Perjuangan hebat Athirah guna bangkit dari terjangan badai besar yang nyaris menenggelamkannya inilah yang menginspirasi Ucu di kemudian hari. Bukan hanya Ucu, penonton pun memperoleh inspirasinya seusai menonton film ini malahan turut disertai respek kepada sosok Athirah maupun Ucu (panggilan kecil Jusuf Kalla). Sebuah pertanda bahwa Athirah bekerja sangat baik sebagai film biografi. Ini diperoleh lantaran Athirah menghindari adanya glorifikasi berlebihan. Kelamnya jalan hidup keluarga Kalla juga dipapar tanpa tedeng aling-aling, termasuk bagaimana Athirah yang seorang relijius diperlihatkan mendatangi ‘orang pintar’ demi mendapatkan jampi-jampi untuk mempertahankan Haji Kalla. Mengetahui bahwa mereka adalah manusia biasa yang juga melakukan kesalahan membuat kita mudah terkoneksi ke film. 

Bagusnya cara Riri bercerita berdasar naskah ketat olahan Salman Aristo (juga Riri), memperoleh sokongan pula dari departemen teknisnya yang berada di level premium seperti bingkaian gambar-gambar oleh Yadi Sugandi yang tidak saja indah tetapi pula ‘berbicara’ banyak, iringan musik bernuansa etnis hasil gubahan Juang Manyala yang memberi sentuhan emosi serta rasa pada film, sampai bangunan artistik cermat rancangan Eros Eflin yang membuat penonton serasa menyelami era 50 dan 60-an. Dan, kita tentu tidak boleh melupakan kontribusi penting jajaran pemainnya. Riri jelas beruntung mempunyai aktris sekaliber Cut Mini yang memberi interpretasi mengagumkan untuk karakter Athirah. Dia adalah kunci sekaligus magnet bagi film ini. Penonton dapat merasakan kegetiran yang dialami oleh sang tokoh utama hanya dari penyampaian informasi melalui ekspresi air muka Cut Mini. Tengok pancaran mata yang mengisyaratkan kecurigaan bercampur kecemasan kala Haji Kalla mencari-cari minyak rambutnya, lihat bagaimana perubahan raut wajahnya saat mengetahui sang suami datang bersama istri muda di sebuah pesta perkawinan, dan simak pula reaksi ketakutannya ketika mencoba memasukkan ‘ramuan’ ke minuman sang suami. Itupun masih beberapa diantaranya mengingat Cut Mini juga menghadirkan akting hebat begitu berbagi layar bersama lawan mainnya yang tak kalah mengesankan seperti Christoffer Nelwan dan Jajang C. Noer (memerankan ibu Athirah). Dengan kombinasi semaut ini, tepat kiranya menyebut Athirah sebagai salah satu film terbaik tahun ini. Luar biasa cantik.

Intermezzo : Ada yang perutnya seketika keroncongan nggak melihat hamparan makanan-makanan di setiap adegan menjelang makan bersama?

Outstanding (4/5)

7 comments:

  1. Mungkin tuk sebagian orang yg tak terbiasa menonton film bertempo pelan dan sunyi seperti ini akan membuat mereka mengantuk krn minim ledakan-ledakan masalah tpi bagi saya pribadi senang rasanya menyaksikan film ini..adegan faforid sya pas nyanyian jajang c noer yg berasa menusuk kalbu pas dengar nya ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Angga: Yup, bukan film buat penonton kebanyakan emang. Secara pribadi sih senang dengan keputusan Riri bikin nada filmnya seperti ini. Memberi penyegaran dari film biopik dan poligama yang biasanya meletup-letup.

      Delete
  2. Belum sempet nonton Athirah, tapi memang penasaran sih sama filmnya Riri Riza.

    ReplyDelete
  3. film yang mengalir lembut tapi kuat. aku setuju sama katamu, film ini elegan :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Amatir: Untung mereka mendapuk Cut Mini jadi pemain utama yaa. Dari ekspresinya saja sudah bisa emosi bergejolak.

      Delete
  4. filmnya keren banget.... indah, cantik, menakjubkan... sayang cuma dapat layar seuprit doang... andai film-film bagus kaya gini dapet jatah layar yang banyak. pasti bisa buat mengedukasi penonton indonesia

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Triztan: sayang memang. Tapi film ini pun diemohi kebanyakan penonton karena cara berceritanya yang nggak konvensional. Banyak yang mengharap ada ledakan emosi mengingat ini film biopik dan memuat cerita poligami juga.

      Delete