Pages

September 28, 2016

REVIEW : ONE DAY


Masih ingat dengan film komedi romantis asal Thailand yang bikin geli-geli gregetan, Hello Stranger? Apabila masih mengingatnya jelas – bahkan dirimu adalah salah satu yang dibuat jatuh hati olehnya – maka One Day yang juga menjamah ranah komedi romantis tentunya harus menduduki peringkat teratas dalam daftar “film yang wajib ditonton secepat mungkin, begitu ada waktu senggang”. Alasannya sederhana; One Day menandai kolaborasi reuni antara sutradara Banjong Pisanthanakun (Shutter, Pee Mak) bersama aktor sekaligus peracik skenario Chantavit Dhanasevi yang sebelumnya bertanggungjawab atas lahirnya Hello Stranger. Mereka bekerjasama dibawah naungan rumah produksi GDH (Gross Domestic Happiness) yang merupakan jelmaan GMM Tai Hub setelah pecah kongsi akhir tahun lalu. Guliran penceritaan diajukan di karya terbaru ini pun sejatinya tidak jauh berbeda. Apabila Hello Stranger mempersilahkan dua orang asing untuk saling merajut kasih dalam tempo sepekan di Korea Selatan, maka One Day mempersingkatnya ke batasan maksimal: satu hari saja. Kali ini, Jepang adalah saksi bisunya. Mencuplik elemen dongeng berbumbu fantasi, sang protagonis laki-laki disini yang berasal dari kalangan nobody diceritakan memperoleh kesempatannya untuk membuat perempuan idamannya bertekuk lutut hanya dalam waktu sehari. 

Denchai (Chantavit Dhanasevi), nama sang protagonis laki-laki, adalah petugas IT berusia 30 tahun yang kehadirannya di tempat kerja tak dianggap kecuali saat rekan-rekan kerjanya mempunyai masalah dengan komputer masing-masing. Kehidupan Denchai yang monoton perlahan mulai berubah tatkala pegawai baru dari bagian Marketing yang cantik, Nui (Nittha Jirayungyurn), dapat mengingat secara baik namanya. Well, lantaran telah terbiasa diperlakukan sebagai outsider yang mana mayoritas kerap melupakan namanya, tentu hal sesepele “namamu Denchai, kan?” membuat Denchai merasa berharga. Di lubuk hati terdalam, Denchai ingin Nui menjadi kekasihnya. Hanya saja, perbedaan kasta di lingkaran sosial keduanya – belum ditambah kenyataan Nui telah menjalin hubungan dengan sang atasan – menyulitkan mereka untuk bersatu. Denchai pun akhirnya memilih sekadar mengagumi Nui dari kejauhan. Namun takdir ternyata berkata lain begitu perusahaan tempat mereka bekerja mengadakan wisata ke Hokkaido, Jepang. Sebuah kecelakaan menyebabkan Nui mengalami amnesia yang hanya berlangsung sehari saja. Menyadari ada kesempatan menghabiskan waktu bersama Nui, Denchai lantas memanfaatkannya dengan berpura-pura menjadi kekasihnya meski dia mengetahui bahwa Nui tidak akan bisa mengingat kebersamaan mereka keesokan harinya. 

Yang sedikit memberi corak lain dibanding film bergenre senada keluaran GMM Tai Hub terdahulu, konten komikalnya agak dibatasi. One Day mencoba menguarkan aroma romansa lebih pekat yang mengambil beberapa elemen dongeng dengan laju cenderung syahdu nan mendayu-dayu. Kamu memang masih menjumpai lawakan-lawakan absurd khas film buatan Negeri Gajah Putih, tapi gelak tawanya tak akan habis-habisan seperti menonton May Who? atau Hello Stranger misalnya. Saat Denchai memproklamirkan dirinya sebagai belahan jiwa Nui, kadar kelucuan dari film mulai mundur teratur. Paling-paling, pemantiknya adalah tingkah serba awkward Denchai yang kentara sekali belum pernah mempunyai hubungan percintaan bersama lawan jenis. Dengan adanya tenggat waktu yang pendek (kurang dari 24 jam), Banjong Pisanthanakun ingin fokus terhadap bagaimana protagonis utama kita berupaya membuat Nui percaya bahwa dia adalah belahan jiwanya yang sesungguhnya. Itu artinya, sebisa mungkin menghadirkan momen-momen manis plus romantis yang diterjemahkan ke rentetan adegan bertemakan memberikan kebahagiaan bagi Nui dengan membuatnya merasakan kenyamanan pula kehangatan ditengah-tengah udara Hokkaido yang menusuk tulang. Tanpa harus disesaki dialog-dialog puitis melelahkan, keromantisan dalam One Day semata-mata tercipta dari kemahiran si sinematografer menata gambar, iringan musik sentimentil, serta interaksi kompak pula mesra dari duo pemain utamanya. 

Chantavit Dhanasevi bermain bagus sebagai Denchai yang dipresentasikan selayaknya pecundang. Kekikukkannya kala berinteraksi dengan Nui begitu pula mulut ketusnya dalam menanggapi keluhan mengundang tawa, dan perjuangannya mendapatkan cinta sang perempuan idaman mengundang simpati. Memang sih tindakannya kadangkala mendekati creepy tapi berkat permainan lakon hebat Chantavit dan dijustifikasi oleh dialog “saat kamu jatuh cinta kepada seseorang, kamu akan melakukan hal-hal yang cenderung tidak rasional” yang juga bukan muncul tiba-tiba melainkan berproses terhitung dari momen Nui bisa mengingat nama Denchai, semuanya dapat dimaklumi malah somehow meninggalkan cita rasa manis-manis pahit. Dan Chantavit mendapat dukungan dari Nittha Jirayungyurn yang pesonanya mempunyai daya tarik kuat sehingga kita sangat bisa mengerti mengapa Nui digilai dua pria secara bersamaan. Mereka berdua adalah tim solid yang cukup dari chemistry saja sudah mampu menggerakkan roda film. Mesranya Chantavit dan Nittha memunculkan harapan penonton – khususnya kaum-kaum lajang – agar mereka berdua dapat bersatu di penghujung film meski sama-sama tahu tidak akan semudah itu. Yang kemudian menjadi pertanyaan, akankah masih ada cinta dalam diri Nui saat ingatannya pulih? Tidak bisa disangkal, pertanyaan inilah yang lantas menjerat keingintahuan kita untuk mengetahui sampai akhir lika-liku perjalanan asmara antara Denchai dengan Nui yang kadangkala manis, kadangkala lucu, kadangkala aneh, dan tak jarang pula menyesakkan dada... seperti rasa cinta itu sendiri.

Outstanding (4/5)

2 comments:

  1. Nyari review athirah malah nemu review inii, dan udh pingin nonton ini jugaa. Kenapa sih film bagus datangnya bersamaan kan jd binguung mau nonton yg mana di biskoop x((

    ReplyDelete
  2. Bang rasyd ada gak sih film indonesia yg alur ceritanya kek gini, bikin senyum nangis sampai geregetan ni akhirnya mbok dikasih kebahagiaan hehe

    ReplyDelete