Pages

February 25, 2017

REVIEW : RINGS


“7:10. I win, bitch.” 

Agaknya, hantu perempuan berambut hitam panjang bernama Sadako (atau Samara untuk nama bulenya) masih belum diperkenankan oleh para petinggi-petinggi studio film yang serakah untuk beristirahat dengan tenang di dalam sumur. Usai Jepang membangkitkannya kembali tahun lalu lewat film bermetode crossover dimana Sadako ditandingkan melawan memedi ikonik lainnya, Kayako, dalam Sadako vs Kayako yang level menghiburnya plus absurditasnya jauh melampaui pertarungan dua superhero galau, kini giliran Hollywood menjajal peruntungannya lewat Rings. Tidak jelas mengambil pendekatan sekuel atau reboot, Rings merupakan instalmen ketiga usai The Ring (2002) yang tidak dinyana-nyana seseram versi aslinya dan The Ring Two (2005) yang lempeng tapi masih bolehlah dalam urusan menciptakan atmosfer creepy. Barisan pemain Rings sama sekali baru – tidak melibatkan pelakon seri-seri sebelumnya termasuk Naomi Watts – begitu pula sang nahkoda kapal, F. Javier Gutierrez, yang baru sekali ini menangani film panjang untuk penayangan bioskop. Benang merah tersisa yang menautkan Rings dengan dua film terdahulu adalah kehadiran Samara beserta video kutukan kreasinya. 

Berselang tiga belas tahun usai peristiwa di film pertama, video kutukan garapan Samara Morgan (Bonnie Morgan) ternyata masih belum berhenti memakan korban. Yang terbaru adalah Holt Anthony (Alex Roe), mahasiswa anyar yang apes terkena kutukan “nonton video absurd, telepon berdering, lalu sepekan kemudian mati” usai mengikuti penelitian tentang hal-hal gaib dari dosennya, Gabriel Brown (Johnny Galecki). Gabriel tertarik meneliti video Mbak Samara setelah dirinya tanpa sengaja terpapar kutukan gara-gara menonton video tersebut via VCR bekas yang dibelinya di toko loak. Nah, Gabriel lantas mendapatkan solusi supaya para korban tidak ditemui Samara pada hari ketujuh yakni dengan meminta anggota penelitiannya menonton video kutukan ini, lalu menduplikatnya, dan meminta orang lain untuk menontonnya sebelum masa jatuh tempo tiba. Tapi rupa-rupanya mencari korban baru tidak semudah itu, terbukti salah satu anggota akhirnya tewas di tangan Samara. Untunglah Holt mempunyai kekasih luar biasa pengertian, Julia (Matilda Lutz), yang bersedia mengorbankan dirinya secara sukarela untuk menyelamatkan Holt. Mungkin karena Neng Julia menyadari bahwa dia adalah the chosen one yang bakal selamat sampai penghujung film apapun yang terjadi, kali ya? 

Langkah Paramount untuk merevisi jadwal edar Rings sebanyak empat kali sebetulnya telah menguarkan bau anyir. Dari awalnya bersemangat ingin menyambut kedatangan Samara, perlahan tapi pasti semangat ikut tergerus seiring semakin seringnya Rings berganti tanggal rilis. Jika tidak ada sesuatu yang salah, tentu mustahil krisis kepercayaan diri menyerang berulang ulang. Bukankah demikian? Dan betul saja, Rings memberikan siksaan yang meninggalkan rasa bingung dan jemu tak terperi kala menyimaknya. Tanda-tanda bahwa film tidak akan berlangsung semestinya sudah terpampang jelas semenjak prolog nggak nyambungnya. Maunya sih memberi kesan awal gahar dengan menempatkan teror di dalam pesawat yang tengah terjebak badai. Namun mempersilahkan Samara mengobrak-abrik sistem pesawat sehingga mengalami malfungsi dan pada akhirnya menyebabkan kecelakaan yang meminta tumbal ratusan nyawa penyumpang sementara korban incarannya hanyalah dua... sungguh tidak berkeprimanusiaan. Keji. Belum apa-apa, si pembuat film sudah lancang mengkhianati mitologi yang telah dibentuk susah payah sang kreator, Koji Suzuki. Parahnya lagi, adegan ini pun tidak mempunyai signifikansi ke jalinan kisah film keseluruhan (kecuali buat gaya-gayaan yang malah bikin ngakak!) karena ternyata ada prolog lainnya sebelum film resmi dimulai. Duh, dek.


Berjalan menit demi menit, Rings tidak kunjung membaik malah justru kian meracau. Memiliki dua karakter utama tak mengundang simpati yang hobinya berasyik masyuk di atas ranjang, sulit untuk bisa menaruh kepedulian terhadap nasib mereka terlebih lagi akting masing-masing sama sekali tidak membantu. Sekaku kayu. Padahal, keterikatan dengan karakter merupakan salah satu kekuatan jilid-jilid awal disamping guliran kisah menarik perhatian dan kecakapan membangun kengerian. Tidak bisa diharapkan dari sisi karakterisasi tokoh beserta lakonan pemain, Rings pun tidak bisa diharapkan dari caranya menampilkan teror. Memanfaatkan klakson truk atau gonggongan anjing untuk menciptakan daya kejut pada penonton, sekalipun teramat sangat klise, masih bisa diterima. Tapi suara payung dibuka? Iya, kamu tidak salah baca, payung dibuka! Ya Allah, Tuhan YME, ini sih menggelikan dan memprihatinkan. Apakah Gutierrez betul-betul sudah kehabisan trik menakut-nakuti sampai harus mendayagunakan jump scares sekacrut itu? Bahkan Sadako vs Kayako yang dari awal mula bertujuan buat ngelawak saja masih mempunyai satu dua momen yang bikin merinding. Lha Rings, bagian paling mengerikan dari film ini adalah tiap kali melihat ekspresi pemainnya atau mendengar mereka mengucapkan dialog. Samara yang malu-malu kucing disini pun kalah mengerikan! 

Mencoret “akting” dan “teror” dari daftar, tersisa “jalinan penceritaan”. Sejujurnya, usai elemen lain tidak bekerja, sudah tiada pengharapan lagi yang tersisa. Bisakah naskah diandalkan sementara sedari awal mitologi yang berkembang di semesta Ring sudah dikoyak sedemikian rupa? Berharap Rings mempunyai pengisahan apik sama halnya mengharapkan cinta dari seseorang yang bahkan tidak mengetahui keberadaanmu. Mus-ta-hil. Saya sendiri bingung terhadap bagaimana film ini menempatkan dirinya, reboot atau sekuel. Jika reboot, Rings kurang memberi paparan detil mengenai video kutukan Samara – menyinggung soal si hantu perempuan ini saja jarang – yang berdampak terciptanya kebingungan bagi penonton baru. Dan jika sekuel, lebih parah lagi. Menciptakan kisah asal mula baru bagi Samara dan sang ibunda, berarti dia menganggap dua film sebelumnya tidak pernah ada, dong? Juga membuat bertanya-tanya adalah metode pembunuhan yang diterapkan Samara di Rings. Coba ingatkan saya lagi. Bukankah si demit hanya perlu memberi tatapan manis andalannya dan si korban langsung tewas seketika? Kalau betul demikian, mengapa dia harus susah-susah menerjunbebaskan pesawat serta merobohkan tiang listrik hanya untuk membunuh satu dua orang? Rempong bener, bu. 

Dan saya juga masih belum habis pikir, kenapa para korban tidak menyebarkan video kutukan lewat media sosial saja, ya? Kan lebih gampang, to? Atau jangan-jangan mereka tidak ingin membebani Mbak Samara yang pastinya akan sangat sibuk di hari ketujuh? Pada suka ngerepotin diri sendiri deh! Dengan lebih banyaknya pertanyaan yang tertinggal sekaligus rasa geli dan bosan lantaran deretan terornya amat basi ketimbang rasa tercekam, Rings adalah sebuah aib bagi franchise The Ring. Tonton film ini hanya jika kamu memang sangat menggilai franchise ini atau sedang mempunyai uang serta waktu berlebih dan kebingungan hendak menghabiskannya buat apa. Kalau tidak, jangan coba-coba mendekatinya.

Poor (2/5)


8 comments:

  1. Hahahaha. Reviewmu maas, sptnya asik sekali menulisnya xD
    Aku bacanya ketawa2, tapi kayaknya kalau nonton tetap saja takut 😅😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha. Tonton deh. Kamu juga bakalan lebih sering ngakak saking goblosnya.

      Delete
    2. Tapi anehnya di Indonesia film ini sukses besar
      Apakah berarti pennonton film disini adalah.......

      Kayanya setiap film horor barat sejelek dan sekacrut apapun selalu disambut heboh penonton Indonesia.
      Gampang banget ya penonton Indonesia dibohongin "PAKE" film horor barat
      Ooops....

      Delete
    3. Pada dasarnya film horor (bahkan buatan dalam negeri sekalipun lho!) memang seringnya disambut hangat di Indonesia. Genre favorit buat penonton sini selain action.

      Faktor lain yang bikin Rings sukses, brand. Popularitas Sadako (atau Samara), hantu yang merangkak keluar dari televisi, tinggi sekali disini. Sewaktu Sadako vs Kayako pun rameeee.

      Delete
    4. Tapi beberapa tahun belakangan ini horor Indonesia mulai ditinggalkan penontonnya
      Jarang masuk 10 besar film terlaris
      Paling cuma ada satu film dan itu pun horornya Shandy Aulia

      Tapi bukan cuma Rings doang yang diserbu penonton
      Film2 horor barat lainpun mudah sekali menarik minat penonton Indonesia hanya dengan melihat posternya
      Walau filmnya super kacrut dan basi pula (Basi karena edarnya telat di Indo dan link bluraynya udah muncul sejak lama)

      Delete
    5. Ya itu tadi, kembali ke faktor utama, film horor punya basis penggemar amat besar di Indonesia. Masyarakat sini kan memang doyan sekali sama hal-hal yang berbau mistis. Asalkan posternya ciamik dan trailernya heboh, kemungkinan besar langsung diserbu.

      Dan soal film horor Indonesia, jangan salah. Penurunannya memang drastis, tapi tetap punya penggemar loyal. 50-75 ribu penonton aman dalam genggaman apalagi jika materinya familiar. Untuk ukuran film horor, sudah terhitung untung karena mayoritas buat BEP cuma butuh 25 ribu penonton.

      Delete
    6. Oh pantes produksi horor Indonesia masih banyak walau jumlah penonton ga sampe seratus ribu.
      Jadi budget nya emang minim ya?
      Tapi kalau buatan Jose Purnomo atau yang dibintangi Shandy Aulia kayanya production value nya lebih bagus dari horor rata2.
      Dan jumlah penontonnya pun mencapai ratusan ribu.

      Btw, Di AS sekarang lagi tayang horor GET OUT
      Baru 2 minggu sudah mencapai 75 juta US. Termasuk sangat besar untuk ukuran film horor.

      Delete
    7. Yup. Pada dasarnya, mayoritas ongkos produksi film horor memang rendah termasuk di Hollywood sekalipun (seperti contoh, Get Out dan Split) dan ada jaminan balik modal. Itulah mengapa genre ini tak pernah surut.

      Tentu ada pengecualian. Di Indonesia, Hitmaker ('adik' dari Soraya Intercine Films) yang bikin film-film horornya Shandy Aulia, dibekali modal gede. Nggak heran kalau dari segi production value terlihat mumpuni?

      Oia. Get Out baru rilis disini bulan April. Penasaran sekali dengan film itu. Tanggapan penonton dan kritikus sama antusiasnya.

      Delete