“Things that matter are hard.”
Dalam beberapa bulan terakhir
ini, saya berkesempatan buat menonton film mengenai keluarga yang menggoreskan
kesan mendalam pada hati di layar lebar. Yang pertama adalah Shoplifters (2018) dimana keluarga tidak
didefinisikan secara konvensional mengikuti aturan yang telah disusun
masyarakat, lalu disusul oleh Mary
Poppins Returns (2018) yang keceriannya seketika membangkitkan mood, kemudian berlanjut pada Keluarga Cemara (2019) yang memberi
tontonan sederhana nan tulus yang sudah lama tidak saya dapatkan, dan akhirnya
yang baru saja saksikan sekaligus memberi kejutan terbesar diantara lainnya
yakni Instant Family. Apabila kamu
menjadikan jejak rekam sang sutradara sebagai bahan pertimbangan utama untuk
memprediksi kualitas suatu film, maka saya cukup meyakini kalau kamu akan sama
terkejutnya dengan saya saat menyaksikan Instant
Family arahan Sean Anders (Horrible
Bosses 2, dwilogi Daddy’s Home)
ini. Memang sih corak komedi yang cenderung liar sebagai ciri khas Anders dalam
berceloteh masih tertampang cukup nyata meski sekali ini agak direduksi
levelnya. Tapi ada satu hal yang tak pernah saya sangka-sangka kemunculannya – terlebih
berkaca pada Daddy’s Home yang hanya
bisa diingat karena semangat bersenang-senangnya – yaitu elemen sentimentil
yang digarap dengan kepekaan tinggi. Kamu akan dibuatnya berkaca-kaca,
berlanjut menangis sesenggukan, sampai kemudian memutuskan untuk menghubungi
orang tua di rumah melalui ponsel demi melontarkan pertanyaan sederhana, “apa kabar? Kalian sehat?.”
Salah satu faktor krusial yang
membuat Instant Family bisa memiliki
sensasi rasa berbeda dibanding karya-karya terdahulu si pembuat film adalah sumber
inspirasi untuk materi penceritaannya. Bukan adaptasi, bukan pula hasil
imajinasi orang lain, film ini justru beranjak dari pengalaman nyata Anders
saat menyatakan keputusannya untuk mengadopsi tiga kakak adik sebagai buah
hatinya. Di sini, sosok Anders beserta pasangannya diibaratkan sebagai sepasang
suami istri dari kelas menengah, Pete (Mark Wahlberg) dan Ellie (Rose Byrne),
yang belum juga dikaruniai momongan sekalipun usia mereka telah berada di area
kepala empat. Ditengah kepanikan karena mereka telat menyadari bahwa masih ada
‘lubang’ dalam kehidupan rumah tangga mereka dan rongrongan dari pihak keluarga
Ellie yang semakin gencar, keduanya pun memutuskan untuk nekat mengadopsi anak.
Awalnya sih, niat mereka saat mendaftar kelas pelatihan sebagai orang tua
angkat lebih kepada iseng-iseng belaka. Tapi saat Pete dan Ellie bertemu dengan
seorang remaja bernama Lizzie (Isabela Moner) beserta kedua adiknya, Juan
(Gustavo Quiroz) dan Lita (Julianna Gamiz), di ‘pameran anak angkat’, keduanya
tiba-tiba berubah pikiran. Mereka seolah menemukan cosmic connection dengan Lizzie dan adik-adiknya yang lantas
mendorong mereka untuk memantapkan hati dalam mengasuh tiga bersaudara ini
sekalipun perjuangannya tidak mudah. Disamping karakteristik ketiga anak yang
sulit diterka serta berbeda antara satu dengan yang lain, kehadiran seseorang
dari masa lalu semakin mempersulit perjuangan Pete dan Ellie dalam mendapatkan
hak asuh.
Meski saya sempat mengatakan Instant Family akan membuatmu nangis
sesenggukan dan film ini mengulik soal prosedur dalam mengadopsi anak di negeri
Paman Sam, si pembuat film tidak pernah membawanya ke ranah melodrama. Segala
tangis yang mencuat di sini bukan disebabkan oleh rangkaian adegan mendayu-dayu
yang meminta penonton untuk iba kepada nasib Pete, Ellie atau Lizzie, tetapi
lebih kepada adanya sejumlah adegan yang membahagiakan, menghangatkan, serta
menenangkan hati di sekitar para protagonis. Jangankan momen besar seperti
persidangan hak asuh dimana salah satu karakter mendesak hakim agar dirinya
dipersilahkan membacakan sebuah surat untuk si anak angkat, Instant Family pun bisa bikin mata kelilipan
seraya mengucap “awww… manisnya” dari
momen kecil seperti saat Ellie girang bukan kepalang lantaran Juan bersedia
memanggilnya ‘ibu’. Dan sebetulnya, film ini tersusun atas momen-momen kecil
nan sederhana seperti itu yang barangkali terlihat sepele di mata sebagian
penonton tapi ini sejatinya memiliki pengaruh besar bagi para karakter jika
kita memahami kondisi mereka seperti apa. Pete dan Ellie membutuhkan pengakuan
dari anak-anak angkat bahwa mereka telah menjalankan tugas sebagai orang tua
yang baik, sementara Lizzie yang telah terbiasa diabaikan tumbuh menjadi
seorang remaja pemberontak yang skeptis terhadap cinta. Saat dua dunia ini
enggan untuk memahami satu sama lain – bahkan cenderung mengedepankan ego
masing-masing – konsekuensi yang muncul adalah konflik. Tercipta pertikaian
yang disebabkan oleh: 1) pandangan Lizzie kepada calon orang tuanya yang
dianggapnya palsu, dan 2) Ellie yang menilai kemarahan Lizzie sebagai wujud
penolakan.
Inilah yang kemudian membuat Instant Family terasa menggigit. Dibalik
kemasan luar yang seolah mengindikasikan ini sebagai tontonan keluarga yang
ringan-ringan saja, ternyata terselip life
lesson berharga di dalamnya yang disampaikan secara efektif tanpa pernah
membuat telinga berdengung lantaran menyerupai isi khotbah. Anders menyelipkan
materi parenting yang bisa terdeteksi
dengan sangat jelas melalui upaya Pete dan Ellie dalam menciptakan relasi yang
hangat dengan ketiga anaknya, melalui support
group bersama para calon orang tua angkat yang berbagi pengalaman beserta
keluh kesahnya menghadapi anak-anak baru mereka, serta melalui dua pekerja
sosial, Karen (Octavia Spencer) dan Sharon (Tig Notaro), yang seringkali
memberi wejangan-wejangan kepada Pete-Ellie sekalipun tak jarang pula mereka
melontarkan celetukan bernada nyinyir yang mengundang gelak tawa. Baik Octavia
Spencer maupun Tig Notaro memainkan peran mereka secara santai – sampai-sampai
saya berharap mereka dipasangin lagi dalam sebuah buddy movie lantaran tektokannya kerap bikin tergelak – begitu pula
dengan jajaran pemain lain. Jika saya diperkenankan untuk menyebut keunggulan
lain dari Instant Family, maka itu
adalah para pelakon yang tampak menikmati peran mereka sekalipun porsinya
secuil. Dari Mark Wahlberg-Rose Byrne yang mempunyai chemistry beserta comic
timing bagus, lalu Isabela Moner yang menyembunyikan kerapuhannya dibalik
topeng remaja manipulatif yang tak jarang menjengkelkan, kemudian Margo
Martindale bersama Julie Hagerty sebagai duo nenek yang menyikapi situasi
adopsi ini secara berbeda (adegan mengucap nama Juan itu lucu sekali!), sampai
Joan Cusack dalam cameo yang teramat random tapi kocak.
Sokongan akting penuh semangat
dari para pemain ini sedikit banyak memberikan pengaruh amat baik bagi Instant Family sehingga film terasa
begitu enerjik dan menguarkan aura positif kepada penonton. Sulit untuk tidak
menyukai film ini terlebih jika kamu memiliki soft spot pada tontonan keluarga, berhati sensitif, serta bukan
wujud nyata dari Lizzie: skeptis pada cinta sampai melabeli segala sesuatu yang
manis nan lembut sebagai kepalsuan. Ada banyak sekali gelak tawa yang
terkandung di dalamnya – mengingat ciri khas Anders masih dipertahankan maka
antisipasi munculnya jokes yang
kurang cocok dikudap penonton cilik – begitu juga dengan rasa hangat. Instant Family adalah feel good movie yang kamu butuhkan untuk
menjaga positivity dalam tubuh ditengah
terjangan arus kebencian, kepenatan sehari-hari, serta berita tak
menggembirakan di televisi. Selain memberi kursus singkat mengenai parenting yang akan berguna bagi mereka
yang sudah (maupun akan) menjadi orang tua, Instant
Family juga mengingatkan penonton mengenai makna non-konvensional dari
keluarga yang sedikit banyak menyerupai Shoplifters.
Bukan semata-mata ditentukan oleh hubungan darah, keluarga dapat terlahir
karena adanya faktor lain yang melibatkan kesediaan untuk bertanggung jawab, adanya
rasa saling menghargai, serta paling utama, memelihara cinta kasih. Memang
betul family isn’t always easy karena
pertengkaran dan perselisihan akan senantiasa hadir demi menguji kekuatan
hubungan. Tapi saat mereka bersedia untuk kembali lalu merangkulmu kembali di
saat kamu jatuh, terpuruk, atau menjauh, pada saat itulah kamu telah menemukan
keluargamu yang sesungguhnya. Remember, things
that matter are hard.
Film film india dong
ReplyDeleteJarang banget ada film India yang tayang di bioskop Jogja makanya jarang bikin reviewnya
Deletekapan tayang ya?
ReplyDeleteUdah dari minggu kemarin kok
DeleteSitus Nonton Movie Online QQCINEMA21.Streaming Film Online Bioskop Box Office Terlengkap 2019 Subtitle Indonesia Kualitas HD, BLURAY dan Gratis Download Film-film Terbaru
ReplyDelete