Pages

January 31, 2019

REVIEW : THE UPSIDE


“Don’t judge me. I ain’t judged you.”

Apakah kamu familiar dengan film Prancis berjudul The Intouchables (2011)? Jika tidak, dua hal yang perlu diketahui mengenai film ini adalah: 1) narasinya terinspirasi dari kisah persahabatan nyata antara seorang pebisnis sukses dengan perawat pribadinya yang berasal dari strata sosial dan ras berbeda, dan 2) The Intouchables tergolong film yang fenomenal. Bukan hanya sukses besar di kampung halaman, tetapi turut menyebar ke negara-negara lain yang lantas menempatkannya sebagai salah satu film Prancis paling banyak dipirsa sepanjang masa. Pencapaiannya di tangga box office – plus, film ini pun berjaya pula di ajang penghargaan termasuk mengganjar Omar Sy dengan piala Best Actor di Cesar Award (Oscar-nya sinema Prancis) – membuat The Intouchables dilirik sederet produser yang meminta hak pembuatan ulang. Disamping India yang segera memiliki dua versi dan Argentina yang telah merilis interpretasinya pada tahun 2016 silam, Hollywood pun enggan ketinggalan. Telah dicanangkan sedari tahun 2012, sayangnya ada berbagai ganjalan yang menyertai perjalanan remake ini dari pergantian konfigurasi kru dan pemain sampai skandal pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein (pemilik The Weinstein Company, pemegang hak remake) yang menyebabkan film bertajuk The Upside sempat terombang-ambing nasibnya. Usai diakuisisi oleh STX Films, film yang menempatkan Kevin Hart dan Bryan Cranston di garda terdepan pemain ini pun akhirnya memperoleh kepastian rilis pada awal 2019.

Mengingat The Upside tak lebih dari bentuk interpretasi Hollywood untuk The Intouchables, sudah barang tentu tak ada perombakan signifikan dalam hal penceritaan. Di sini, karakter utamanya tetaplah seorang pebisnis kaya raya yang mengalami kelumpuhan hampir di sekujur tubuh bernama Phillip Lacasse (Bryan Cranston) dan seorang mantan narapidana yang mencoba bertaubat bernama Dell Scott (Kevin Hart). Kedua karakter yang memiliki dunia, karakteristik, serta fisik bertolak belakang ini berjumpa secara tidak sengaja saat Phillip beserta sekretaris pribadinya, Yvonne (Nicole Kidman), sedang mewawancarai sejumlah kandidat yang melamar sebagai perawat purnawaktu Phillip. Dell yang mengikuti wawancara ini hanya demi memperoleh tanda tangan yang menyatakan bahwa dia mencari pekerjaan, rupa-rupanya menarik perhatian Phillip yang menganggap kandidat lain kelewat serius. Ketimbang sekadar memberinya tanda tangan, Phillip justru menawarkan pekerjaan bagi Dell. Meski awalnya ogah-ogahan, Dell akhirnya menyetujui tawaran ini terlebih gaji yang diterimanya lebih dari cukup untuk menebus kesalahannya pada mantan istri dan putra tunggalnya. Berhubung Dell tidak pernah mendapat pelatihan apapun terkait merawat seseorang, hari-hari pertama menjalani pekerjaan life auxiliary terasa berat bagi Dell, Phillip, maupun Yvonne yang berusaha keras untuk memecat Dell. Tapi seiring berjalannya waktu dimana sisi sensitif dari Dell turut mengemuka, Phillip secara perlahan tapi pasti bisa menerima kehadiran Dell dan bahkan, dia menemukan kembali semangat hidup yang sebelumnya telah meredup tatkala dia menyadari bahwa masih ada seseorang yang memandangnya sebagai manusia normal.    


Apabila kamu telah menyaksikan The Intouchables – apalagi sangat menyukainya, seperti saya – maka tidak ada hal baru yang bisa didapatkan dari The Upside. Pada dasarnya ini adalah film yang serupa baik dari segi narasi maupun pengadeganan, kecuali adanya beberapa penyederhanaan di area konflik personal dan ketersediaan karakter yang melingkungi Phillip. Ya, sekalipun The Upside memiliki rentang durasi yang lebih panjang, film arahan Neil Burger (Limitless, Divergent) ini justru mereduksi cukup banyak hal yang membuat materi sumbernya terasa menggigit dan sebatas menghadirkannya sebagai sebuah kisah persahabatan yang generik. Di sini, penonton tidak banyak memperoleh kesempatan untuk melihat interaksi Dell dengan keluarga kecilnya yang ternyata bersedia begitu saja menerima kembali kehadiran Dell setelah dia membawa segepok uang (kontradiktif dengan pernyataan Phillip: money can’t buy everything), dan Phillip pun tampak sangat kesepian sehingga tak heran jika kemudian dia berubah menjadi seorang suicidal. Saya tak ingin terus membandingkannya dengan versi asli, tapi sungguh, saya rindu dengan suasana rumah si protagonis yang guyub. Si perawat pribadi bernama Driss yang gayanya agak slengean ini tak hanya membawa perubahan pada sang atasan tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Rasa hangat yang telah lama menghilang sejak kepergian “nyonya”, menyelimuti lagi rumah ini. Penonton pun bisa memafhumi mengapa Driss bisa dicintai oleh orang-orang terdekat Philippe dan sanggup pula mengerti mengapa dia bisa mempertahankan ikatan persahabatan selama bertahun-tahun dengan Philippe. Sesuatu yang sayangnya tidak terlalu bisa dirasakan dalam The Upside yang tak juga membuat saya benar-benar bisa memahami pesan yang ingin dihantarkan dibalik ikatan persahabatan dua protagonis utamanya. 

Harus diakui, Kevin Hart dan Bryan Cranston bermain bagus di sini. Hart membuktikan bahwa dia juga mempunyai range emosi mencukupi yang memungkinkannya bermain di genre drama, sementara Cranston ditengah segala keterbatasan ruang geraknya (karakternya hanya bisa menggerakkan tubuh di bagian kepala) sanggup menyalurkan emosi melalui peralihan mimik muka dengan baik. Ditambah dengan adanya chemistry yang bisa terdeteksi, keduanya adalah koentji bagi The Upside yang mengalami kendala di sektor naskah dan penyutradaraan. Tanpa sokongan performa apik kedua pemain ini – plus Nicole Kidman yang kentara telah berusaha maksimal dalam membawakan karakter Yvonne yang karakteristiknya ditulis amat tipis – maka bisa jadi film akan terasa sukar dinikmati. Mereka berdua yang menyebabkan The Upside masih memiliki kandungan hiburan seperti diharapkan oleh para penonton yang menebus tiket film ini di bioskop. Paling tidak, mereka menghadirkan sejumlah gelak tawa yang dipicu oleh kecanggungan Dell dalam beradaptasi dengan pekerjaan beserta lingkungan barunya yang sama sekali berbeda (seperti bagaimana dia mencoba memahami karya seni dalam wujud lukisan atau opera), lalu pandangan Dell dengan Phillip dan Yvonne yang seringkali bertentangan, sampai interaksi Dell dan Phillip sebagai dua sohib baru. Yang paling mengasyikkan diantara semuanya adalah saat-saat dimana Dell mengajak serta Phillip dalam serangkaian petualangan kecil yang telah lama tidak dia dapatkan. Meski kesenangannya tidak lagi tinggi karena sebagian diantaranya hanyalah pengulangan, kecuali adegan menghisap ganja bareng (!), tapi saya masih bisa terhibur menyaksikan adegan berkejar-kejaran dengan mobil polisi, jalan-jalan malam berujung santap makanan, serta menikmati pertunjukkan opera.

Acceptable (3/5) 


4 comments:

  1. Situs Nonton Movie Online QQCINEMA21.Streaming Film Online Bioskop Box Office Terlengkap 2019 Subtitle Indonesia Kualitas HD, BLURAY dan Gratis Download Film-film Terbaru

    ReplyDelete
  2. Min, padahal film aslinya film the intouchable film favorit ane..

    ReplyDelete
  3. Film ini bagi saya standar min, yang film aslinya w kasih bintang 5.. karena sangat menyentuh.. yang film aslinya masuk dalam list film yang akan saya tonton berulang2

    ReplyDelete