Pages

February 8, 2019

REVIEW : ALITA: BATTLE ANGEL


“I do not standby in the presence of evil!”

Apakah kalian tahu bahwa James Cameron (Terminator 2: Judgment Day, Titanic) sudah bernafsu untuk menggarap Alita: Battle Angel sedari dua dekade lalu? Ya, beliau kepincut dengan materi sumbernya yang berupa manga beberapa jilid gubahan Yukito Kishiro dan telah beberapa kali berupaya untuk mewujudkannya tapi terus terbentur oleh proyek lain. Salah satu proyek yang menghalanginya adalah Avatar (2009) berikut dengan sekuel-sekuelnya yang tak kunjung juga kita pirsa. Ada perjalanan sangat panjang yang mesti dilalui oleh film ini dimana didalamnya mengandung perombakan naskah beserta perombakan tim. Usai berada di fase development hell (baca: terus dikembangkan tapi tak jelas kapan akan diwujudkan) selama belasan tahun, Pak Cameron akhirnya menemukan cara agar proyek kesayangannya ini tak berjalan di tempat dan bisa segera lahiran secepatnya. Solusi yang kemudian ditempuhnya adalah menyerahkan kursi penyutradaraan Alita: Battle Angel kepada Robert Rodriguez (Desperado, Spy Kids), sementara dia memantau secara langsung proses produksi dari kursi produser. Sebuah win-win solution, bukan? Alita: Battle Angel akhirnya bisa dihidangkan sebagai tontonan di layar lebar dibawah penanganan sutradara yang selama ini kondang berkat kepiawaiannya meramu adegan laga. Belum apa-apa, film sudah terdengar menggiurkan buat dicoba berkat kolaborasi dua maestro ini yang seolah menjanjikan bahwa ini bukanlah tontonan eskapisme biasa. Ini adalah pengalaman sinematis yang wajib dijajal. Tapi benarkah potensi sebesar itu memang sanggup dicapai?

Dalam Alita: Battle Angel, penonton diboyong jauh menuju ke tahun 2563 lalu diperkenalkan pada cyborg bernama Alita (dimainkan dengan sangat baik oleh Rosa Salazar menggunakan teknik motion capture) yang tak sanggup mengingat masa lalunya. Alita ditemukan oleh Dr. Dyson Ido (Christoph Waltz) di tempat pembuangan sampah dalam keadaan hancur dan hanya menyisakan otak beserta bagian inti yang bekerja. Demi memberikan kehidupan baru bagi perempuan ini, Ido pun memboyongnya ke tempat kerjanya dan “menyusun ulang” tubuh Alita dengan menempatkannya pada tubuh mekanik sehingga memungkinkannya untuk beraktifitas secara normal laiknya cyborg. Dalam perjalanannya menggali lebih jauh mengenai jati dirinya di masa lampau, Alita berkenalan dengan Hugo (Keean Johnson) yang membuatnya jatuh hati, berlatih bermain motorball yang merupakan olahraga ekstrem paling populer, serta mendaftarkan diri sebagai pemburu bayaran mengikuti jejak ayah angkatnya yang terpaksa menjalani profesi ini sebagai sampingan demi mendapatkan uang. Alita sendiri memiliki sebuah alasan khusus yang mendorongnya untuk bergabung sebagai pemburu bayaran, yakni dia bisa melihat kelebatan dari masa lalu setiap kali dia beraksi. Aksi-aksinya yang tergolong menakjubkan tersebut – terlebih Alita menguasai gerakan khusus yang tak sembarangan orang bisa melakukannya –  seketika menarik perhatian penguasa setempat, Vector (Mahershala Ali) – yang lantas merekrutnya sebagai salah satu pemain di liga profesional motorball. Kepolosan Alita membuatnya menerima tawaran ini dengan senang hati tanpa pernah sekalipun mencurigai Vector yang diam-diam menyiapkan sebuah rencana jahat.


Berhubung Alita: Battle Angel ditangani oleh Robert Rodriguez serta memperoleh uluran bantuan dari James Cameron, tentu bukan lagi sesuatu yang mengejutkan tatkala saya mendapati bahwa film ini mempunyai elemen laga yang rancak nan impresif. Bukankah memang elemen tersebut yang diharapkan paling menonjol dari Alita: Battle Angel? Dan jika pengharapanmu saat melangkahkan kaki ke dalam gedung bioskop adalah semata-mata mendapatkan tontonan eskapisme yang mengasyikkan, maka segala pengharapanmu akan terpenuhi dengan mudah di sini. Film menunjukkan sisi terbaiknya saat Rodriguez tak segan-segan menyodori kita dengan baku hantam, baku tembak, maupun aksi-aksi sarat kekerasan lainnya. Dari pertama kali Alita mengonfrontasi para pemburu bayaran (disebut sebagai ‘Ksatria Pemburu’) dimana dia menyadari bakat terpendamnya, penonton sudah dibuat berdecak kagum oleh suguhan koreografi laganya yang asyik sekali. Terlebih lagi, si pembuat film pun enggan berkompromi dengan rating 13+ sehingga adegan kekerasan yang ditampilkan bisa cukup gamblang seperti bagaimana dia memperlihatkan tubuh-tubuh dipreteli meski tentu saja konteksnya adalah cyborg dan tidak menampilkan darah berwarna merah. Pun begitu, Rodriguez sanggup menghadirkan kesenangan tersendiri bagi Alita: Battle Angel menyusul keputusannya untuk tidak melunak termasuk bagaimana cara dia mengkreasi pertikaian di dalam bar yang intensitas (plus gayanya, tentu saja!) akan mengingatkan pada film-film beliau terdahulu dan kebrutalan permainan motorball yang sedikit banyak melayangkan ingatan ke Rollerball (1975/2002).   

Ya, ada banyak hal yang mengingatkan kita pada film lain saat menyaksikan Alita: Battle Angel. Ini mencakup penggambaran kota Zalem yang tertambat melayang di atas Iron City yang membuat saya bernostalgia dengan Elysium (2013), sosok Alita yang menyerupai Motoko dari Ghost in the Shell (2017), sampai narasinya yang mungkin terdengar “kueren!” di era 1990-an tapi untuk saat ini terasa tak ada bedanya dengan rentetan judul film adaptasi young adult novel berlatar masa depan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah ini menjadi ganjalan utama bagi Alita: Battle Angel untuk tampil menonjol seperti pernah dibayangkan oleh James Cameron? Well, saya pribadi tidak menganggap familiaritas sebagai titik lemah film ini – bahkan saya pun tak masalah dengan keserupaan asal digarap dengan baik. Gangguan pada film muncul saat dirinya menyingkir sejenak dari arena pertarungan Alita dan memilih untuk fokus pada kehidupan pribadinya termasuk urusan asmaranya yang luar biasa cheesy. Saya masih oke-oke saja dengan interaksi Alita-Ido walau berharap bisa digali lebih mendalam lagi, tapi saya sungguh pengen ngacir saking gelinya setiap kali Alita mencoba bermesraan dengan Hugo menggunakan dialog-dialog yang astaganagaaa (dialog soal “ambillah hatiku” itu bikin speechless sih) ditambah chemistry yang hambar. Apabila diterjemahkan ke anime mungkin subplot ini masih berhasil, tapi live action… duh, tingkat mengganggunya sudah cukup untuk menyerap energi film yang telah dilontarkan oleh elemen laganya. Seketika, film terasa menjemukan. Beruntunglah Alita: Battle Angel dikaruniai visual beserta tata laga yang aduhai sehingga mampu mengobati rasa jenuh (dan puyeng) akibat sempilan kisah kasih dua sejoli tersebut.  


Exceeds Expectations (3,5/5)


3 comments:

  1. Replies
    1. Mintain ke bioskop buat muter Bollywood di Jogja, ntar aku ulas

      Delete
  2. Aku sih suka bgt film ini, ga sabar nunggu sequelnya

    ReplyDelete