“Being genius is not enough. It takes courage to change people’s
hearts.”
Para moviebuff tentu mengenali Peter Farrelly sebagai salah satu
personil dari Farrelly Brothers. Dua bersaudara dibalik terciptanya film-film
komedi rusuh semacam Dumb and Dumber
(1994), There’s Something About Mary
(1998), serta Me, Myself & Irene
(2000) dimana disabled people kerap
dijadikan sebagai objek candaan sehingga tak mengherankan jika film-film mereka
terkesan ofensif bagi sebagian kalangan. Pun begitu – jika kita berkenan
menyelaminya lebih dalam – sebenarnya Farrelly Brothers kerap menyematkan pesan
bijaksana dalam karya mereka yang tak jarang tenggelam lantaran humor
urakannya. Sensitivitas keduanya baru benar-benar bisa dirasakan melalui film
komedi romantis bertajuk Shallow Hal
(2001) yang mendorong penonton untuk berhenti menilai kualitas seseorang
berdasarkan penampilan fisik semata. Deep,
bro, deep! Memasuki era 2000-an, pencapaian duo ini tak lagi sesemarak
di dekade sebelumnya dan perlahan tapi pasti, mereka memilih untuk vakum
sejenak dari mengerjakan film komedi yang membesarkan nama. Berpisah jalan
sementara demi mengerjakan proyek masing-masing, Peter Farrelly menjajal
mengambil tantangan dengan membesut Green
Book yang berpijak di genre drama. Tak hanya itu, film yang judulnya dicuplik
dari buku panduan bagi masyarakat kulit berwarna dalam memilih penginapan dan
restoran yang berkenan menerima mereka ini (The
Negro Motorist Green Book, 1936-1966) turut mengapungkan sederet isu berat
nan sensitif meliputi rasisme, prasangka, serta segregasi. Sebuah karya yang
tak disangka-sangka bakal meluncur dari tangan salah satu personil Farrelly
Brothers.
Dalam Green Book, penonton diajak untuk mengikuti sebuah pengalaman
perjalanan nyata selama delapan pekan yang dialami oleh seorang pianis kenamaan
berkulit hitam, Don Shirley (Mahershala Ali), bersama supir sekaligus bodyguard-nya yang berdarah Italia, Tony
Vallelonga (Viggo Mortensen), di wilayah selatan dari Amerika Serikat pada tahun
1962. Mengingat wilayah ini dikenal memberlakukan segregasi ketat dalam
berbagai fasilitas publik untuk masyarakat kulit hitam pada waktu itu,
keputusan Shirley untuk menggelar tur di sana jelas merupakan keputusan sangat
nekat. Tony sempat dibuat bertanya-tanya, tapi kemudian dia berhasil memahami
pilihan atasannya tersebut setelah mendapatkan penjelasan singkat nan menyentil
dari rekan Shirley dalam grup musik Don Shirley Trio. Ya, ada banyak hal yang
dipelajari oleh Tony – begitu juga sebaliknya – mengenai Shirley lewat
perjalanan ini. Dimulai dengan hubungan sangat kikuk lantaran Tony yang sangat
rasis sejatinya setengah hati menerima pekerjaan ini dan Shirley bukan pula
seseorang yang bersahabat, keduanya secara perlahan tapi pasti berkenan untuk
saling memahami antara satu dengan yang lain usai mengalami serentetan
peristiwa tak mengenakkan selama tur. Berkat Tony, Shirley yang selama ini
membentengi kerapuhannya dengan sikap flamboyan dan cenderung angkuh akhirnya
bersedia untuk membuka diri, sementara berkat Shirley, Tony yang berpikiran amat
dangkal ini mendapatkan perspektif lebih luas mengenai manusia. Tak ada lagi penghakiman
hanya karena seseorang memiliki kulit, orientasi seksual, dan gaya hidup yang
berbeda dari dirinya.
Meski isu yang dikedepankan oleh Green Book terbilang kompleks, Peter
Farrelly tak melantunkan narasi dengan nada penceritaan yang bikin dahi
mengerut maupun bermuram durja melainkan dikemas menjadi feel good movie yang dibumbui banyak canda tawa disana sini. Sebuah
pilihan kreatif yang tergolong kontroversial bagi sebagian pihak lantaran
dinilai menyederhanakan persoalan segregasi di era 1960-an. Tapi benarkah
pendekatan yang diambil oleh Farrelly untuk menyampaikannya secara santai adalah
sebuah kekeliruan besar? Bukankah The
Help (2011) dan Hidden Figures
(2016) yang mengambil latar waktu pada era yang sama juga memilih untuk
menyampaikan permasalahan dengan gaya penceritaan cenderung uplifting? Saya paham setiap orang
pastinya memiliki preferensi berbeda-beda, tapi bagi saya, pendekatan yang
ditempuh oleh ketiga film ini malah lebih efektif. Mengutuk keras tindak
rasisme tidak melulu harus disampaikan dengan kemarahan meluap-luap bak
kebakaran jenggot karena seperti salah satu dialog yang diucapkan oleh Don
Shirley, “you never win with violence. You
only win when you maintain your dignity.” Ya, martabat adalah kunci. Green Book mengutarakan segala keresahannya
terhadap diskriminasi, prasangka, sampai rasisme dengan cara elegan. Santai,
jenaka, menyentuh tetapi tetap memberi tamparan hebat. Di sini, penonton dapat
melongok salah satu fase tergelap dalam sejarah negeri Paman Sam menggunakan
kacamata seorang pria berdarah Italia yang merasakan privilege karena warna kulitnya, dan menggunakan kacamata seorang
pria berkulit hitam yang cerdas, kaya, serta memiliki pencapaian besar di
bidang musik yang ironisnya tetap saja memperoleh perlakuan sangat tidak
manusiawi karena warna kulitnya sekalipun dia disebut sebagai “tamu kehormatan”.
Melalui Green Book, penonton disuguhi sebuah kisah kemanusiaan yang
beranjak dari persahabatan tak biasa antara seorang musisi kenamaan dengan
supir barunya dalam suatu perjalanan selama dua pekan yang menantang nyawa. Kita
diperkenalkan pada Tony Vallelonga yang dimainkan dengan sangat asyik oleh
Viggo Mortensen, lalu dipertemukan dengan Don Shirley yang dibawakan secara
flamboyan oleh Mahershala Ali. Disamping latar belakang, dua karakter ini pun memiliki
karakteristik bertolak belakang yang sejatinya agak sulit dibayangkan dapat
menyatu. Tony digambarkan ala karakter kelas pekerja tidak berpendidikan yang
cenderung selow dalam menjalani hidup dan temperamen, sementara Shirley adalah
kaum borjuis yang terobsesi dengan keteraturan. Dua dunia yang jelas berbeda
dan mengikuti aturan konvensional dalam buddy
movie atau road movie, kedua
protagonis ini pun tidak saling menyukai pada titik awal perjalanan. Tapi seiring
berlalunya konser demi konser di beberapa kota, mutual respect diantara keduanya perlahan mengemuka dan di sinilah Green Book mulai menunjukkan pesonanya. Ada
gelak tawa menyertai menyaksikan interaksi Tony-Shirley (adegan makan ayam
goreng KFC itu lucu sekali, perhatikan deh ekspreksi Shirley!), ada kemarahan
melihat bagaimana Shirley diperlakukan, dan ada pula kehangatan terdeteksi saat
dua sahabat anyar ini saling mencurahkan perhatian. Si bodyguard yang tadinya rasis
luar biasa sampai-sampai enggan berbagi gelas dengan orang kulit hitam menemukan
sudut pandang baru yang membuatnya bisa memanusiakan manusia, lalu Shirley yang
kesepian menyadari bahwa kesalahan terbesarnya adalah menciptakan dinding
pembatas kelewat tinggi bagi manusia lain. Ketakutannya akan dilukai, ketidakmampuannya
untuk menerima diri sendiri, dan keengganannya dalam membuka diri hanya membuat
dia semakin terasing. Melalui perjalanan ini, dua manusia yang sejatinya tidak
berbeda satu sama lain ini saling menemukan life
lesson yang sebelumnya tak pernah disangka akan mereka dapatkan.
Tema-tema rasisme kayak gini memang kebanyakan bagus ya..contoh nya help juga
ReplyDeleteDari temanya sendiri emang sudah seksi. Hanya tinggal gimana cara mengolahnya. Kalau tepat, ya bisa jadi sangat bagus.
Delete