Pages

August 17, 2019

REVIEW : BUMI MANUSIA


“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler bagi penonton yang tidak membaca novelnya)

Mengekranisasi sebuah novel jelas bukan perkara mudah, lebih-lebih jika novel bersangkutan sudah mempunyai basis penggemar yang loyal. Si pembuat film mesti legowo menghadapi serbuan komentar dari jutaan kepala yang masing-masing telah memiliki imajinasi tersendiri terkait penggambaran latar, situasi, maupun karakter kesayangan mereka. Ada yang bersuka cita karena novel kesayangannya diwujudkan menjadi gambar hidup, ada yang menyimpan keraguan tapi masih bersedia memberi kesempatan, dan ada juga yang secara terang-terangan menunjukkan keberatannya sedari awal. Tiga jenis penggemar yang sejatinya bisa dijumpai dari novel jenis apapun, tak terkecuali sastra Indonesia bertajuk Bumi Manusia yang merupakan babak awal dari Tetralogi Pulau Buru rekaan Pramoedya Ananta Toer. Sedari mula proyek pembuatan film adaptasinya dicanangkan, pro dan kontra tak henti-hentinya mengiringi pemberitaan. Dari tadinya dipinang oleh Oliver Stone tapi belakangan diemohi sang pengarang karena ingin film digarap oleh anak bangsa, lalu berpindah ke sutradara kontroversial Anggy Umbara, sampai akhirnya mendarat di pangkuan Hanung Bramantyo (Sang Pencerah, Kartini) yang mempunyai jejak rekam baik dalam mengkreasi film berlatar sejarah. Saat film secara resmi ditangani oleh Hanung dibawah naungan Falcon Pictures, setidaknya ada dua poin keberatan yang paling sering disorot oleh penggemar: 1) upaya sang sutradara untuk menitikberatkan pada elemen percintaan, dan 2) penunjukkan Iqbaal Ramadhan, pelakon utama dalam Dilan 1990 (2018), sebagai pemeran Minke si karakter sentral.

Padahal, tidak ada salahnya jika kemudian Hanung memilih untuk mengambil pendekatan dari kisah kasih antara Minke dengan Annelies Mellema (Mawar De Jongh) karena Bumi Manusia sejatinya merupakan hikayat percintaan. Pram memanfaatkan bahasa cinta yang universal untuk menghantarkan pesan mengenai isu-isu yang lebih kompleks terkait penindasan, perbudakan, stratifikasi sosial, kolonialisme, prasangka, sampai kemanusiaan di era pendudukan Belanda pada penghujung abad ke-19. Mengikuti kebutuhannya sebagai sebuah tontonan layar lebar, perspektif yang didayagunakan oleh Hanung memungkinkan bagi film untuk merangkul penonton awam yang belum pernah membaca materi sumbernya. Toh, versi layar lebar dari Bumi Manusia tidak pernah benar-benar melenceng dari topik pembicaraan yang diajukan oleh sang pengarang. Kisah cinta antara Minke dengan Annelies hanyalah sepenggal cerita yang berfungsi untuk memandu penonton dalam memahami kisah-kisah lain dalam “bumi manusia” yang tersusun atas: 1) kisah Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) yang pembawaannya membuat Minke tercengang lantaran berbeda dengan nyai atau gundik lain yang selama ini diketahuinya, 2) kisah keluarga Mellema yang carut marut akibat kebiasaan si kepala rumah tangga untuk mabuk-mabukan sementara si anak sulung, Robert (Giorgino Abraham) tidak juga bisa diharapkan, 3) kisah keluarga Minke yang notabene merupakan ningrat Jawa, 4) kisah teman-teman Minke di sekolah HBS (Hogere Burgerschool) yang mempunyai pandangan terpecah mengenai Hindia Belanda, serta 5) kisah Minke sendiri sebagai seorang pribumi ditengah-tengah kedigdayaan masyarakat berdarah Belanda.


Mengedepankan narasi sepadat itu yang merupakan hasil interpretasi atas novel setebal 500 halaman lebih, tidak mengherankan jika Bumi Manusia membutuhkan durasi penceritaan sepanjang tiga jam. Sebuah durasi yang belum apa-apa sudah bikin gentar sebagian penonton karena, “hey, apa bisa saya tetap melek dan bertahan di kursi bioskop? 3 jam itu lama lho!.” Saya juga mulanya dihadapkan pada keraguan karena membutuhkan seseorang bergelar master of storytelling agar membuat durasi sepanjang itu terasa hanya sekejap saja. Hanung yang belakangan ini cenderung fluktuatif dalam bercerita (well, kerjasamanya bersama Falcon dalam bentuk Benyamin Biang Kerok dan Jomblo tidak berakhir bahagia), nyatanya sanggup menyampaikan kisah secara lancar tanpa terbata-bata. Dibawah penanganannya, Bumi Manusia tersaji sebagai tontonan epik yang menambat atensi sekaligus mempermainkan emosi sehingga durasi panjang bukan jadi soal. Sedari menit pembuka, film telah mencuri perhatian penonton melalui pertemanan Minke dengan Suurhof (Jerome Kurnia) yang separuh Belanda. Dari sosok Suurhof lah, Minke bisa berkenalan dengan Annelies yang kemudian menambat hatinya. Saat si karakter utama menginjakkan kaki di rumah keluarga Mellema, garis konflik secara perlahan tapi pasti bergerak dinamis. Satu demi satu konflik bermunculan yang dimulai dari keengganan Robert untuk menghargai Minke lantaran ada perbedaan kasta sosial diantara mereka. Dari sini, film yang berpatokan pada naskah apik bentukan Salman Aristo memunculkan ketertarikan pada penonton dengan tanya: akankah Robert mengambil tindakan lebih jauh untuk menyingkirkan Minke yang dipandangnya sebagai pribumi rendahan? Lalu, bagaimana relasi antara Minke dengan Annelies akan berkembang terlebih mereka berasal dari dunia yang berbeda? Selepas jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini diurai, konflik lantas mengalami eskalasi yang membawa situasi menjadi semakin rumit sekaligus mencengkram yang menghadapkan karakter-karakter utama dengan hukum Belanda yang enggan menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat asli Indonesia.

Saya pribadi menyukai pilihan si pembuat film dalam menghadirkan tata musik bernuansa klasik yang acapkali memberi kesan megah serta keputusan menggunakan beragam bahasa yang terdiri dari Belanda, Jawa, Madura, sampai Cina demi menebalkan kesan otentik. Meski pemakaian efek khusus yang terkadang masih tampak kasar dan beberapa properti (khususnya rumah keluarga Mellema) yang kelewat kinclong seperti baru dibuat sempat pula membuat saya geli, untungnya Hanung berhasil mengompensasinya dengan keahlian utamanya: mengarahkan pemain. Ya, selain elemen teknis yang berada di kelas wahid dan cara bertutur sang sutradara yang nyaman untuk diikuti, Bumi Manusia memperlihatkan keunggulannya di sektor akting dimana pemain ansambelnya benar-benar berlakon secara solid. Penunjukkan Iqbaal Ramadhan sebagai Minke yang menuai kontroversi nyatanya mampu ditepis dengan mudah oleh sang aktor yang sekali lagi membuktikan bahwa dia merupakan aset berharga bagi perfilman Indonesia. Memang sih Iqbaal ada kalanya tampak canggung dan tidak sepenuhnya meletup dalam menangani momen-momen dramatik, tapi pengalaman melakoni Dilan memungkinkannya untuk menguarkan karisma lelaki idaman serta mudah menjalani adegan cumbu rayu bersama lawan main. Ndilalah, Iqbaal turut mendapat umpan balik memadai dari barisan pemain lain yang menunjukkan performa luar biasa mengagumkan.


Sembah sujud untuk Sha Ine Febriyanti yang seperti dilahirkan untuk melakonkan Nyai Ontosoroh. Seorang gundik (perempuan simpanan pria Belanda) yang membuat Minke terperangah karena pengetahuannya yang luas, cara berperilakunya yang berwibawa, serta kecakapannya dalam mengelola bisnis keluarga Mellema. Ine mempunyai semacam daya tarik kuat yang memungkinkan setiap kemunculannya senantiasa memiliki energi yang membuat perhatian kita tertuju kepadanya. Entah saat dia terlihat seperti perempuan tangguh yang tidak tergoyahkan oleh apapun, maupun saat dia bertransformasi menjadi perempuan tak berdaya yang terinjak-injak oleh sistem. Disamping Ine dan Iqbaal, deretan pemain yang sepatutnya memperoleh apresiasi antara lain Ayu Laksmi sebagai ibu Minke yang memancarkan aura seorang ibu penuh kasih sayang, Donny Damara yang tampil garang dengan warna suara berbeda, Jerome Kurnia sebagai seorang pengkhianat yang mengesalkan, Giorgino Abraham yang memantik kebencian penonton kepada putra sulung keluarga Mellema, Siti Fauziyah sebagai Iyem yang fungsinya sebagai comic relief berhasil memancing gelak tawa, serta Whani Dharmawan sebagai Darsam yang sangar. Lalu bagaimana dengan Mawar De Jongh selaku pemeran Annelies? Well, sepertinya Hanung akan kembali menyandang status sebagai starmaker setelah ini. Usai beberapa peran kurang mengesankan, Mawar akhirnya tampil bersinar di sini. Sosok Annelies yang menyerupai damsel in distress dihidupkan secara cemerlang yang membuat kita iba pada kerapuhannya sekaligus kesal pada sikap manjanya. Tapi kejutan terbesar yang diberikannya berada di adegan pamungkas dimana karakternya justru diperlihatkan pergi dengan kepala tegak dan sebersit senyuman guna mengenyahkan duka dari orang-orang yang kehilangannya. Dia memenuhi definisi seorang dewi yang membuat saya bisa memahami mengapa banyak orang menangisi kepergiannya. She’s so damn good!

Outstanding (4/5)


12 comments:

  1. keren tulisannya. selamat berkarya teroos. saya suka juga tampilan blognya
    btw, jangan lupa mampir juga ke blog saya Blog Alister N ya. sekalian krisan kalo berkenan.

    ReplyDelete
  2. Sepertinya ada beberapa spoiler bertebaran tanpa warning om

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kelupaan ngasih warning. Makasih ya udah diingetin.

      Delete
  3. Sepakat dengan review nya ... Nggak bisa tahan air mata pas ending😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adegan terbaik film ini. Mawar juga keren banget di ending.

      Delete
    2. Pas ayu Laksmi dialog sama Iqbal jugak, ih bikin inget ibuuuk😁

      Delete
    3. Waaa aku mbrebes mili di adegan ini. Nggak kuat aku tu kalau udah nyoroti ibu-anak. Ayu Laksmi pun ngingetin ke ibu. Hangat.

      Delete
    4. Pokoknya Ayu Laksmi dan tentu saja, Sha Ine Febriyanti TOP Be Gw Te. Dah itu ajah😆

      Delete
  4. Ah, senangnya membaca review ini. Seolah ekspetasi saya sebagai pembaca bukunya akan terpenuhi. Saya baru bisa nonton sepertinya akhir agustus ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ditunggu komentarnya. Selama ekspektasi tidak neko-neko, kemungkinan bisa menikmati film ini :)

      Delete
  5. puaasss sama film ini, asli 3 jam g berasa, tau tau abis, sayang di buku selanjutnya ann mati, padahal loveable banget chara nya T.T

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heem. Jatuh cinta dengan karakter Ann di film ini. Mawar de Jongh gilaaa.

      Delete