Pages

August 15, 2019

REVIEW : DORA AND THE LOST CITY OF GOLD


“You know the jungle, it’s a part of you. But exploring is not a game, and you don’t look before you leap.”

Bersama dengan Spongebob Squarepants, Dora the Explorer adalah salah satu serial animasi yang populer di Indonesia pada tahun 2010-an. Tidak hanya membuat para penontonnya gemar mereka ulang dialog andalannya seperti “Swiper, jangan mencuri!” atau menyanyikan tembang penutup “berhasil, berhasil, hore!”, serial ini turut menciptakan tren berupa rambut bergaya bob ala Dora, tas ransel berwarna ungu, sampai segala pernak-pernik yang digandrungi perempuan-perempuan cilik. Ya, Dora the Explorer memang terhitung sebagai serial yang fenomenal dan ini tidak hanya berlaku di Indonesia tetapi juga negeri asalnya, Amerika Serikat, dimana serial tersebut tercatat memiliki episode terpanjang sepanjang sejarah kanal Nick Jr. Menilik pencapaiannya dalam hal menciptakan massa pendukung, tidak mengherankan jika kemudian petinggi studio di Hollywood tertarik untuk mengejawantahkannya ke dalam film layar lebar berformat live action meski keputusan ini mengundang tanda tanya besar. Bagaimana caranya kamu mengadaptasi sebuah serial yang difungsikan sebagai program edukasi untuk anak-anak (khususnya dalam mempelajari Bahasa Spanyol) menjadi sebuah film cerita yang bisa dinikmati oleh penonton segala usia? Belum apa-apa, versi layar lebar dari Dora the Explorer yang bertajuk Dora and the Lost City of Gold terdengar seperti misi yang mustahil sampai kemudian saya menengok sendiri hasil akhirnya yang ternyata oh ternyata… sangat menghibur!

Dalam Dora and the Lost City of Gold, Dora bukan lagi gadis cilik berusia 7 tahun seperti yang kita kenal melainkan telah tumbuh berkembang menjadi seorang remaja berusia belasan (diperankan oleh Isabela Moner). Pun begitu, karakteristik beserta tingkah polahnya tidak menunjukkan perubahan signifikan. Dia masih mempunyai kepribadian yang ceria, optimistis, sekaligus pemberani. Selama mendiami “gubuk” di pedalaman Peru bersama kedua orang tuanya (Eva Longoria dan Michael Pena), Dora kerap menghabiskan waktu untuk: 1) melahap buku-buku milik orang tuanya yang berprofesi sebagai arkeolog, dan 2) menyusuri hutan bersama monyet peliharaannya, Boots, demi menemukan petualangan baru. Bisa dibilang, Dora tidak menjalani kehidupannya secara wajar karena dia pun tidak mempunyai teman sebaya. Kesempatan bagi Dora untuk mengenal kehidupan lain akhirnya datang saat kedua orang tuanya berencana melakukan ekspedisi untuk mengungkap sebuah peradaban kuno berupa kota emas Parapata yang hilang. Alih-alih mengajaknya serta, mereka justru menitipkan Dora pada kerabat mereka di Los Angeles yang mempunyai putra berusia sama dengan Dora, Diego (Jeff Wahlberg). Dibimbing oleh Diego yang tumbuh sebagai remaja jaim, Dora pun menjalani kehidupan SMA yang jauh lebih liar dari bayangannya. Ditengah-tengah upayanya untuk mendapatkan tempat di rimba baru ini, Dora mendadak memperoleh suatu panggilan yang mengharuskannya untuk pergi ke Amerika Selatan guna menemukan kedua orang tuanya yang menghilang tanpa jejak.


Tidak memboyong banyak pengharapan – kecuali prasangka bahwa film ini akan terlampau kekanak-kanakkan – saya jelas terkejut begitu mendapati bahwa Dora and the Lost City of Gold adalah definisi dari “film yang membahagiakan”. Ya, sepanjang durasi mengalun, saya tidak henti-hentinya tergelak, menyunggingkan senyum, sesekali tersentuh, dan ada kalanya pula bersemangat mengikuti petualangannya menemukan Parapata. James Bobin (The Muppets, Alice Through Looking the Glass) selaku sutradara telah membangkitkan kembali jiwa kanak-kanak dalam diri ini yang telah lama mendengkur. Penonton skeptis mungkin akan bertanya-tanya mendengar pernyataan saya: apakah untuk bisa menikmati tontonan ini, kita mesti berpikir seperti anak-anak? Well, tidak juga. Si pembuat film telah mengondisikan Dora and the Lost City of Gold untuk dapat ditonton oleh penonton segala usia meski tentu saja impak yang diberikan film ini akan lebih berasa apabila kamu pernah menyaksikan materi sumbernya. Salah satu penyebabnya, Bobin mendayagunakan sejumlah referensi dari Dora the Explorer untuk memantik tawa di dalam bioskop. Sebagai contoh, pernahkah kamu berpikir kenapa Swiper si pencuri yang notabene adalah seekor rubah harus mengenakan topeng kala beraksi? Atau, pernahkah kamu menyadari bahwa kebiasaan Dora untuk berinteraksi langsung dengan penonton (dalam bentuk “merobohkan dinding keempat”) atau bersenandung akan terasa aneh apabila diaplikasikan pada kehidupan nyata?

Oleh Dora and the Lost City of Gold, segala ciri khas dari Dora yang kita kenal dimanfaatkan sebagai bahan lelucon yang bagusnya tidak pernah terasa merendahkan materi sumbernya. Bagi saya sebagai penonton dewasa yang kebetulan pernah menyaksikan beberapa episode dari versi animasinya, ini lucu sekali dan juga cerdas. Lebih-lebih, Isabela Moner juga menghadirkan performa yang menyihir sebagai Dora. Saya menyukai energinya, keceriaannya, serta kepolosannya. Melihat dia beraksi bersama Boots di dalam hutan, jelas menyenangkan. Tapi bagian terbaik yang ditunjukkan oleh Moner beserta film adalah saat latar penceritaan membawa si karakter tituler ke hutan rimba yang belum pernah dijamahnya: SMA. Sikap optimistis Dora yang meresapi motto hidup “jadilah diri sendiri” ini tampak ganjil bagi orang-orang di sekitarnya… dan disitulah letak kesenangan film. Saya berani jamin, sulit untuk tidak jatuh hati lalu berempati pada Moner yang menguarkan aura “mudah disukai”. Dia bahkan bisa membuat aktivitas “buang hajat” yang kerap kali menjijikkan kala dipergunakan sebagai toilet jokes dalam film menjadi penuh kegembiraan sampai-sampai membuat saya tak kuasa untuk ikut bersenandung seraya menyunggingkan senyum. Itulah mengapa begitu seorang siswi ambisius berhati dingin, Sammy (Madeleine Madden), akhirnya luluh di hadapan Dora, kita pun tidak dibuat heran olehnya. Dora memang semenyenangkan itu dan Dora and the Lost City of Gold juga semenyenangkan itu. Sensasi kebahagiaan yang dihadirkannya benar-benar membuat saya ingin mengulangi kembali pengalaman menonton film ini. FUN! FUN! FUN!

Outstanding (4/5) 



2 comments:

  1. Makasih reviewnya. Jadi pengen nonton deh. Sering2 ya ngepost, suka bahasanya cinetariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah jadi tersapu sapu malu nih. Diusahakeun sering posting 🙏

      Delete