Pages

September 17, 2019

REVIEW : IT CHAPTER TWO


“Things we wish we could leave behind. Whispers we wish we could silence. Nightmares we most want to wake up from. Memories we wish we could change. Secrets we feel like we have to keep, are the hardest to walk away from.”

Kalian boleh saja tidak setuju, tapi bagi saya, It (2017) bukan saja berdiri tegak di jajaran “adaptasi terbaik dari prosa rekaan Stephen King” tetapi juga “film horor terbaik sepanjang masa”. Ya, jauh melampaui versi miniserinya yang beruntung mempunyai Tim Curry yang tampil menyeramkan dibalik riasan tebal si badut pencabut nyawa. Ada banyak hal yang berhasil dibawah penanganan Andy Muschietti (Mama) dari jajaran pelakon yang solid dimana para pemain cilik membentuk chemistry ciamik, rentetan teror dari Pennywise sialan yang membangkitkan bulu kuduk, sampai penceritaan yang menyisipkan rasa hangat sehingga memudahkan bagi penonton untuk menyematkan simpati kepada barisan karakter. Bahkan jika kita berkenan untuk menyelaminya lebih jauh, It bukan sekadar sajian horor yang menjual sentakan-sentakan mengejutkan karena ada pembicaraan cukup mendalam terkait ketakutan masa kecil entah itu berupa kekerasan, perundungan, maupun kesepian. Sebuah kombinasi yang sudah cukup jarang ditemukan di tontonan seram dewasa ini, bukan? Itulah mengapa saya berhasil dibuat jatuh hati olehnya dan tak kuasa menahan keinginan untuk menyimak paruh keduanya, It Chapter Two, yang menempatkan fokus pengisahannya pada “The Losers Club” di masa dewasa. Menilik standar tinggi yang telah ditetapkan oleh Muschietti di babak pertama, maka jelas ekspektasi yang menyertai turut mengangkasa terlebih barisan pemain yang direkrut pun tidak main-main. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah “formula kemenangan” yang diterapkan sang predesesor masih bisa bekerja saat dipergunakan oleh sang sekuel?

Mengambil latar penceritaan di tahun 2016 atau 27 tahun selepas peristiwa di film pertama, It Chapter Two mengenalkan kita kembali dengan personil “The Losers Club” yang kini telah tumbuh dewasa, mencoba melanjutkan hidup dengan meninggalkan Derry, dan tak lagi saling terhubung. Satu-satunya personil yang masih betah bertahan di kampung halaman adalah Mike (Isaiah Mustafa) yang bekerja sebagai pustakawan. Usai menyaksikan adanya suatu pembunuhan dimana balon-balon merah berterbangan, Mike seketika menyadari bahwa si badut iblis yang dulu mereka kalahkan, Pennywise (Bill Skarsgard), belum benar-benar mati dan sekarang telah bangkit lagi untuk menebar teror. Teringat pada janji di masa kecil yang menyatakan bahwa “The Losers Club” akan bersatu dalam mengenyahkan Pennywise, Mike pun menghubungi rekan-rekannya semasa bocah yang masing-masing memberikan respon yang jauh dari kata antusias begitu mengetahui kabar ini. Meski segan untuk kembali ke Derry, Bill (James McAvoy), Beverly (Jessica Chastain), Richie (Bill Hader), Ben (Jay Ryan), serta Eddie (James Ransone), pada akhirnya menyanggupi permintaan Mike. Satu-satunya personil yang menolak ajakan “reuni” adalah Stanley (Andy Bean) yang lantas lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dan memang, kembali ke Derry bukanlah suatu keputusan mudah bagi kelima sahabat ini. Disamping harus melawan Pennywise yang bengis, mereka juga harus menghadapi trauma masa kecil yang selama ini telah mereka coba tekan, lupakan, maupun enyahkan. Trauma yang justru lebih mengerikan ketimbang si badut di mata sebagian personil. 


Merentangkan durasi hingga sepanjang 169 menit, mulanya saya dibuat bertanya-tanya, apa yang bakal dicelotehkan oleh It Chapter Two sampai-sampai merasa perlu untuk meminta waktu luang penonton selama tiga jam lamanya? Untuk sesaat, saya sempat skeptis sampai kemudian teringat pada fakta bahwa materi sumbernya memiliki tebal lebih dari 1000 halaman. Ada banyak hal yang diutarakan oleh King, dan itu kentara dalam film. Jika paruh pertamanya menekankan pada ketakutan masa kecil, It Chapter Two mengalihkan topiknya ke persoalan trauma, duka, serta depresi akibat pengalaman masa lampau. Setiap personil “The Losers Club” menyimpan pergulatan batinnya masing-masing; Bill yang belum bisa memaafkan dirinya sendiri atas kematian sang adik, Beverly yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Richie yang merahasiakan orientasi seksualnya, Ben yang tak kuasa menyampaikan rasa berwujud cinta pada seseorang, dan Eddie yang mengidap gangguan kecemasan serius. Secara silih berganti, Muschietti memaparkan tentang upaya para karakter ini dalam menghadapi persoalan mereka setibanya di Derry. Sepintas memang terdengar menjemukan dan berlarut-larut, tapi percayalah, tidak sama sekali. Saya saja merasa film ini begitu cepat berlalu. Malahan metode penceritaan semacam ini tergolong efektif lantaran memungkinkan penonton untuk lebih mengenal setiap karakter sehingga memunculkan afeksi terhadap mereka. Ditunjang oleh performa sangat baik dari jajaran pemain – berikan tepuk tangan meriah untuk Jessica Chastain yang tangguh dan Bill Hader yang lucu sekali – maka tak sulit bagi kita untuk memberikan dukungan kepada “The Losers Club” dalam berdamai dengan luka sekaligus menghempaskan Pennywise dari muka bumi.

Berhubung tema utama dari It Chapter Two bukan lagi berkutat pada “ketakutan” melainkan telah bergeser menjadi “menghadapi ketakutan”, tentu tak lagi mengherankan tatkala elemen horor di jilid ini mengalami penurunan dari jilid sebelumnya. Tentu Bill Skarsgard masih tampil mengerikan sebagai Pennywise, khususnya pada kemunculan awal yang mengapungkan isu homofobia dan adegan di bawah bangku penonton, tapi keberadaannya tak semengancam dalam It. Oleh si pembuat film, It Chapter Two divisualisasikan cenderung menyerupai tontonan fantasi petualangan ketimbang horor… dan ini bukan sesuatu yang buruk, sekalipun potensi kekecewaan sukar dihindari dari mereka yang mendamba rentetan adegan seram di sepanjang durasi. Pun demikian, apabila kamu bersedia untuk membuka diri pada pendekatan sedikit berbeda yang diaplikasikan Muschietti, saya cukup meyakini kamu akan mendapati sensasi menyenangkan kala menyaksikan It Chapter Two yang laju pengisahannya bergegas ini. Ada keseruan tatkala mengikuti strategi para karakter inti untuk melumpuhkan sang villain, ada banyak pula canda tawa yang menyertai khususnya setiap kali Richie membuka mulut atau bertengkar kecil-kecilan dengan Eddie. Para pelakon dewasa betul-betul membina chemistry semeyakinkan para pemain cilik sehingga penonton bisa meyakini bahwa mereka adalah versi tumbuh kembang dari karakter di film pertama. Saking apiknya ikatan kimia diantara mereka, saya sampai tak bisa membendung air mata ketika film menghadirkan satu dua momen emosional di penghujung durasi. Saya sudah mengantisipasi akan berteriak, akan bersemangat, dan akan tertawa saat menonton It Chapter Two. Tapi saya sama sekali tidak mengira akan dibikin mbrebes mili saat menyaksikannya. What a surprise!

Trivia : Sang pengarang novel, Stephen King, turut tampil sebagai cameo di sini. Ada yang bisa menebak dia menjadi siapa?

Outstanding (4/5) 


10 comments:

  1. Stephen King jadi penjual barang barang antik 😂

    Btw setuju banget sama review ini. The best horror movie
    Bener bener diluar ekspektasi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemunculannya bikin ngakak. Terlihat kayak kakek-kakek ngeselin. Hahaha.

      Delete
  2. Dari beberapa review yg sya baca cuma blog ini yang ulasannya outstanding, hehe
    Btw. Bru kli ini nnton horor dibioskop dn langsung chapter two tnpa tau film pertama, (bingung sih ngikutin alurnya), tpi ternyata mengasikkan walaupun sya yg kagetan gak suka musik pas jumpscarenya berasa jantung mau copot. Hehe...

    Stuju banget sama jajran pemainya walaupun yg sya kenal cuma jesica chast sama james mc avoy, solid.

    Durasinya bikin berasa nnton endgame

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh masa sih? Kayaknya ada beberapa yang ngasih ulasan positif. 🤔

      Yang adegan di bawah bangku itu bikin melompat sih ya. Coba nonton film pertamanya juga, lebih serem. Dan pasti bakal lebih appreciate film kedua ini karena emosinya nyambung 😁

      Delete
  3. bagi saya chapter keduanya ini malah lebih mengigit dari pada film pertamanya,, terutama karena ikatan pada karakternya makin kuat sehingga teror seram nya makin terasa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku menyukai keduanya sih, sama sama kuat dengan caranya sendiri. Yang kedua ini kerasa lebih emosional.

      Delete
    2. bdw bakal ada chapter ketiga nya kagak ini atau sdh selesai sampai disini.

      Delete
    3. Udah kelar sampai disini. Ceritanya The Losers Club memang sampai mereka dewasa dan ngalahin Pennywise.

      Delete
  4. Baru kali ini aku nonton film horor yang meninggalkan rasa hangat. Baguuuuus TT

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adegan di ending beneran bikin mbrebes mili. Pas lihat pantulan kaca, pas baca surat. Huhuhu.

      Delete