Pages

September 16, 2019

REVIEW : READY OR NOT


“Do you like to play games?”

Saat pertama kali menengok trailer dan membaca sinopsis dari Ready or Not, saya seketika berseru heboh, “harus banget nonton film ini!.” Betapa tidak, materi promosinya seolah menjanjikan bahwa ini adalah tontonan yang mempunyai nilai kesenangan cukup tinggi. Memang sih secara premis terdengar tidak ada pembaharuan atau sesuatu istimewa. Terlebih bukan sekali dua kali kita menjumpai suatu film yang mengulik soal “permainan” memburu manusia demi bertahan hidup di muka bumi. Tapi benarkah Ready or Not adalah sajian yang amat klise? Benarkah si pembuat film yang terdiri atas dua kepala, Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett (Devil’s Due, Southbound), sekadar mendaur ulang tanpa pernah berusaha untuk menawarkan sesuatu yang berbeda? Well, jika kamu sudah melakukan apa yang telah saya lakukan – mengintip trailer, membaca sinopsis – maka tentu tahu bahwa duo sutradara tersebut tidaklah semalas itu. Ada modifikasi, ada sentuhan kreatif yang diaplikasikan. Mereka mengkreasi sebuah mitologi baru yang memosisikan permainan berburu manusia selayaknya permainan kanak-kanak tradisional dengan tujuan melestarikan tradisi. Dengan tujuan menolak bala demi melindungi harta benda maupun generasi-generasi penerus suatu keluarga. Istimewanya lagi, mereka juga menciptakan satu karakter perempuan yang terlihat luar biasa keren, sampai-sampai sulit untuk memandangnya sebelah mata apalagi saya memang selalu dibuat bertekuk lutut oleh tokoh-tokoh perempuan yang badass.

Dalam Ready or Not, perempuan badass yang dimaksud adalah Grace (Samara Weaving) yang baru saja menjadi bagian dari keluarga Le Domas usai menikahi si putra bungsu, Alex (Mark O’Brien). Menilik latar belakang Grace yang tumbuh besar di rumah asuh serta harapannya untuk mempunyai keluarga betulan, mudah untuk menyebut kisah Grace sebagai Cinderella story. Dia tidak hanya telah mewujudkan mimpinya dengan menikahi sang kekasih, tapi dia juga telah mengangkat status sosialnya lantaran Le Domas bukanlah keluarga biasa. Mereka adalah sekumpulan orang-orang berdompet tebal yang memperoleh penghasilan utama dari produksi permainan kartu dan papan. Mereka juga sekumpulan orang yang menjunjung tinggi tradisi demi mengingat asal muasal sekaligus menghormati leluhur. Ketaatan keluarga Le Domas terhadap tradisi diimplementasikan dalam bentuk permainan untuk menginisiasi para anggota keluarga anyar yang diperoleh lewat jalur pernikahan. Sebagai seseorang yang baru saja bergabung, Grace tentu saja mesti mengikuti permainan ini setelah resepsi pernikahan dihelat. Ditentukan secara acak oleh sebuah kotak misterius, permainan yang harus dijalankan oleh Grace beserta anggota keluarga lain adalah petak umpet. Untuk sesaat, protagonis kita mengira bahwa permainan ini amat mudah untuk dilakukan… sampai kemudian dia melihat salah satu pelayan tewas dibunuh secara brutal oleh kakak iparnya. Pada saat itulah dia menyadari bahwa dirinya sedang terjebak dalam permainan hidup atau mati.



Apabila hanya ada satu kata yang bisa dipinjam untuk mendeskripsikan Ready or Not, maka itu adalah mengasyikkan. Duo pembuat film mengondisikan penonton untuk tertawa terbahak-bahak sekaligus merasakan sensasi jantung berdebar-debar di nyaris sepanjang durasi – well, setidaknya usai kepala keluarga Le Domas menyatakan permainan telah dimulai. Tapi tunggu, tunggu sebentar… terbahak-bahak? Bukankah film ini adalah sebuah tontonan yang menjejakkan kakinya di ranah horor ya? Kok bisa penonton dibuat tergelak? Apakah ini didorong oleh keinginan untuk melepas stres atau Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett memang sengaja menyelipkan seabrek humor ke dalam narasi? Jawaban yang paling tepat adalah: kesengajaan. Ketimbang mengaplikasikan nada pengisahan yang serba muram, Ready or Not justru dibawakan dengan penuh “keceriaan”. Bukan berarti segalanya aman-aman saja, hanya saja proses perburuan terhadap Grace diwarnai dengan humor-humor gelap yang sumbernya dari tingkah laku nyentrik keluarga Le Domas, situasi-situasi janggal, maupun pembunuhan-pembunuhan tak disengaja. Sebuah keputusan yang terbilang jitu karena menghindarkan penonton dari perasaan sepaneng (baca: tegang luar biasa) dan memberi tambahan kesenangan tersendiri dalam menyaksikan permainan petak umpet dengan latar belakang yang luar biasa aneh ini. Betapa tidak, saya selalu mendengar keriuhan penonton lain tatkala menyaksikan Ready or Not. Terkadang mereka teriak-teriak panik, terkadang mereka jerit-jerit takut, dan terkadang pula mereka tergelak-gelak. Seru, bukan?

Sebagai sebuah sajian yang menempatkan dirinya sebagai crowd pleaser, Ready or Not memang tak mengecewakan. Bahkan, film ini pun secara mengejutkan turut menghadirkan narasi berisi tatkala naskah rekaan Guy Busick beserta R. Christopher Murphy menyelipkan komentar terhadap masyarakat berduit, tradisi-tradisi ganjil, dan subteks menggelitik pemikiran terkait gugatan seorang perempuan terhadap tradisi yang mengekang keberadaannya. Apakah Grace memilih untuk tunduk (atau dengan kata lain, mengubah dirinya) demi bisa diterima dalam lingkungan keluarga barunya… atau dia justru memberikan perlawan lantaran merasa tradisi ini tidak sesuai dengan apa yang dipercayainya? Ready or Not tak pernah secara terang-terangan meminta penonton untuk merenungkan persoalan ini sehingga membawa film ke arah lebih serius, dan justru disitulah letak menariknya. Ada sentilan, ada bahan pembicaraan yang tak disangka-sangka, ditengah sentakan hebat akibat melihat muncratan darah. Paling tidak saat kita ngilu menyaksikan Grace menancapkan tangannya ke sebuah paku, kita punya bahan untuk mendistraksi pikiran. Tapi tetap saja, sulit untuk mendistraksi pikiran dari sosok Grace yang karakternya ditulis dengan menarik dan dihidupkan secara cemerlang oleh Samara Weaving. Walau dominasinya membuat karakter-karakter lain cenderung terpinggirkan dalam hal pengembangan (sampai-sampai ada satu karakter inti menunjukkan perubahan sikap membingungkan), pembawaan Weaving yang effortless menjadikan Grace sebagai karakter yang mudah untuk dicintai. Maka tak heran saat Grace menyobek gaun pengantinnya atau saat dia mengambil senapan, penonton serempak bersorak heboh sebagai bentuk dukungan. 
    
Exceeds Expectations (3,5/5) 


1 comment: