Pages

October 7, 2019

REVIEW : BEBAS


“Ada nggak hal-hal yang pengen banget lu kerjain, tapi belum kesampaian?”

Bagi kebanyakan orang, masa SMA kerap disebut sebagai fase terbaik dalam hidup. Betapa tidak, ada banyak sekali kenangan yang bisa digoreskan di titik ini. Kita akhirnya cukup dewasa untuk bisa merasakan nikmatnya (dan pedihnya) jatuh cinta, kita akhirnya mendapat sedikit kebebasan dari orang tua untuk melakukan apa yang kita maui, dan kita pun memiliki sahabat-sahabat karib yang bisa diajak gila-gilaan sekaligus bermimpi mengenai apa yang ingin dicapai setelah beranjak dewasa. Saking melimpahnya cerita yang bisa digali dari anak berseragam putih abu-abu yang problematikanya tergolong serius tapi santuy ini, tak mengherankan jika selalu ada “film remaja berlatar SMA” yang menarik disimak saban tahunnya. Salah satu yang membekas bagi saya adalah film asal Korea Selatan berjudul Sunny (2011) yang mencetak 7,3 juta lembar tiket selama masa edarnya di bioskop. Dalam film ini, penonton disuguhi narasi seputar reuni penuh nostalgia dari tujuh sahabat perempuan yang tak saja mengundang riuh tawa, tetapi juga air mata. Berkat kesuksesan secara finansial maupun kritikal yang diterima oleh Sunny, CJ Entertainment pun tidak keberatan untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan remake dari beberapa negara seperti Vietnam (Go Go Sisters, 2018), Jepang (Sunny: Strong Mind Strong Love, 2018), serta Indonesia, yang kesemuanya turut memberikan modifikasi guna menyesuaikan dengan kultur setempat. Satu perbedaan paling mencolok dalam versi Indonesia yang diberi tajuk Bebas adalah konfigurasi dari para pemain utama yang tak lagi tersusun atas tujuh perempuan.

Bebas yang diproduksi oleh Miles Films bersama CJ Entertainment dibawah komando Riri Riza (Laskar Pelangi, Ada Apa Dengan Cinta? 2) ini menempatkan enam karakter di garda terdepan dimana komposisinya terdiri dari lima perempuan dan satu laki-laki. Tunggu, tunggu, ada karakter laki-laki sebagai pemeran utama? Well, berbeda dengan Sunny yang latar penceritaannya berada di sekolah khusus perempuan, Bebas mengalihkannya menjadi sekolah umum demi merangkul penonton lebih luas. Di sini, keenam sahabat yang tergabung dalam satu geng berjulukan “Bebas” tersebut terdiri dari Vina (Meizura), Kris (Sheryl Sheinafia), Jessica (Agatha Pricillia), Suci (Lutesha), Gina (Zulfa Maharani), serta Jojo (Baskara Mahendra). Sebagai penggerak utama narasi adalah pendatang baru dalam geng ini, Vina, yang tercatat sebagai murid pindahan dari Sumedang. Untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di Jakarta, dan untuk pertama kalinya pula tergabung dalam suatu geng yang bukan saja kompak tetapi juga kerap terlibat pertikaian dengan geng lain, Vina mendapati satu fase hidup yang sangat menantang baginya. Dia terlibat konflik dengan si cantik Suci yang tampak terganggu dengan keberadaannya, dia kerap digoda oleh siswa bengal bernama Andra (Giorgino Abraham), dan dia merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada Jaka (Kevin Ardilova). Berkelindan dengan kisah para remaja ini adalah fase dewasa dari setiap karakter yang akhirnya berjumpa kembali setelah terpisah selama 23 tahun. Yang membuat geng Bebas bersatu kembali adalah permintaan terakhir dari Kris (Susan Bachtiar) kepada Vina (Marsha Timothy). Kris ingin, sebelum dirinya menghadap ke Yang Maha Satu akibat penyakit yang dideritanya, geng Bebas dapat kembali berkumpul dalam formasi lengkap untuk merayakan kehidupan.


Sedari awal proyek remake ini diumumkan, saya telah dilingkupi kepenasaran dalam menantikan interpretasi Riri Riza terhadap Sunny. Terlebih lagi, Sweet 20 (2017) yang juga didasarkan pada film Korea Selatan terbukti mampu menghadirkan sebuah rekonstruksi yang penuh penghormatan terhadap materi aslinya. Sebagai penggemar berat Sunny, saya pun bertanya-tanya. Akankah Bebas dapat melakukan hal serupa? Memboyong ekspektasi cukup tinggi lantaran film ini ditelurkan oleh rumah produksi penghasil dwilogi Ada Apa Dengan Cinta?, nyatanya saya dapat melangkahkan kaki keluar bioskop dengan senyum mengembang menandakan kepuasan tiada tara. Bahkan, saya sejatinya telah tersenyum-senyum sedari film memulai penceritaannya. Jika boleh meminjam pernyataan anak gahoel zaman sekarang, Bebas memang seasyik dan semenyenangkan itu. Satu hal yang bisa langsung diapresiasi adalah performa dari jajaran pemain, khususnya bintang-bintang muda. Mereka tampil mengesankan saat berdiri sendiri; Maizura adalah siswi polos yang mudah dicintai, Shery Sheinafia terlihat badass sebagai ketua geng yang jago beladiri, Lutesha memang layak digilai satu sekolah, Agatha Pricillia memberi sentuhan komedi dengan obsesinya pada kecantikan, Zulfa Maharani cukup merepresentasikan “cewek galak berhati lembut”, sementara Baskara Mahendra adalah harta karun yang ditemukan oleh tim kasting. He’s so freaking hilarious. Melakonkan Jojo yang digambarkan sebagai cowok feminin dengan mulut setajam silet, kemunculannya senantiasa mengundang perhatian. Senantiasa memantik gelak tawa heboh dari penonton berkat tingkah polahnya maupun tutur katanya yang membuatnya tak akan mengalami kesulitan untuk dianugerahi “mulut paling julid seantero Indonesia raya” andaikata penghargaan itu memang nyata adanya.   


Saat dipersatukan dalam geng Bebas, keenam pemain ini pun dapat melebur secara asyik seolah-olah telah berkawan sedari lama. Karakter Kris tampak menaruh kepedulian yang tulus pada Vina, sedangkan Jessica dan Jojo, saya selalu senang melihat keduanya saling beradu mulut. Saking asyiknya chemistry diantara mereka, rasanya betah berlama-lama bersama mereka dan berharap film akan sepenuhnya menyoroti perkawanan mereka semasa di SMA. Tapi tentu saja, Bebas bukan hanya perkara jiwa-jiwa muda yang bebas menikmati indahnya hidup seperti tidak ada beban yang harus dipanggul. Film ini juga berceloteh tentang realita tumbuh dewasa yang acapkali pahit lantaran berseberangan dengan mimpi-mimpi di masa muda. Itulah mengapa, saat film menampilkan para karakter muda yang sedang merekam video berisi keinginan di masa depan untuk dijadikan sebagai kapsul waktu, saya tak kuasa menahan air mata. Sedih melihat mereka tak lagi bersama seperti diharapkan, sedih kala menyadari bahwa sebagian besar mimpi mereka tak tercapai, dan sedih begitu teringat bahwa saya dan teman-teman semasa SMA juga mengalami nasib yang sama dengan geng Bebas. That’s life. Berhubung inti dari fase dewasa Bebas adalah menemukan kembali teman yang telah lama pergi serta mimpi atau semangat yang telah memudar, maka tentu saja elemen dramatiknya lebih mendominasi ketimbang komediknya. Interaksi diantara para karakter pun tak sehidup versi muda, dan ini sangat bisa dimengerti. Bukan karena performa buruk dari jajaran pelakon, melainkan sebuah bentuk kesengajaan untuk menegaskan suasana canggung yang tentunya akan mencuat setelah 23 tahun tak berjumpa. Diantara pemain dewasa, kredit khusus patut disematkan kepada Marsha Timothy, Susan Bachtiar, serta Baim Wong (Jojo dewasa) yang benar-benar menyerupai versi muda mereka.


Disamping para pemain inti, Bebas juga berasa meriah berkat penampilan dari cameo yang pemilihannya terasa jitu, terutama Amanda Rawles yang tampil berbeda nan menggelitik sebagai villain cemen, Dea Panendra dengan penggunaan ‘Bahasa Rusia’ yang antik dan Reza Rahadian dalam peran yang memungkinkannya untuk membuat penonton tertawa sekaligus menangis di waktu bersamaan. Yang juga menjadikan Bebas berada di level yang sama dengan materi aslinya adalah tata artistik beserta kostum yang sangat mencirikan era 90-an, kurasi lagu-lagu pengiring yang saya yakini akan mendorongmu untuk ikut berdendang di sepanjang film (tata suaranya bagus banget, berasa sedang konser!) sampai-sampai tergoda melanjutkan nyanyian di karaoke booth, pengarahan dari Riri Riza yang penuh sensitivitas sehingga elemen komedik maupun dramatiknya dapat menyatu dengan sangat baik, serta naskah gubahan Mira Lesmana beserta Gina S. Noer yang melakukan penyesuaian pada kultur Indonesia alih-alih sekadar copy paste dari Sunny. Dari perubahan paling kentara seperti diciptakannya karakter Jojo yang menjadi satu-satunya lelaki dalam geng (representasi cowok feminin dalam geng didominasi perempuan yang memang mudah dijumpai di sekitar kita semasa sekolah), lalu adanya karakter penggencet yang juga diubah menjadi laki-laki guna membicarakan soal toxic masculinity sekaligus women empowerment, sampai lebih pada detil dalam bentuk referensi ke budaya populer yang sering dijadikan bahan guyonan serta situasi politik di tanah air. Adanya faktor kedekatan pada kultur inilah yang membuat saya dapat lebih terkoneksi pada Bebas ketimbang Sunny meski film memberi satu ganjalan yang mengurungkan diri ini untuk memberi nilai sempurna: adegan tawuran. Durasinya kurang panjang dan perkara politik yang melandasi tawuran di materi asli tak ditranslasi ke versi ini padahal satu dua karakter sempat menyinggung mengenai keadaan politik negeri dan latar waktunya pun sejatinya memungkinkan. Andai saja si pembuat film lebih berani (plus lebih gila-gilaan dalam membingkai tawurannya), bukan tidak mungkin Bebas bisa lebih pecah dari ini yang bahkan sudah bisa mendorong saya untuk melabelinya sebagai salah satu film terbaik di tahun 2019. Bagus banget, nyet!

Outstanding (4,5/5) 

24 comments:

  1. beberapa hari setelah nonton Bebas, otakku langsung nge-set lagu bebas melulu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pengen deh versi tariannya juga diunggah ke YouTube. Biar bisa ikutan nari.

      Delete
  2. Gara2 nonton film ini, lagu Bebas, Cukup Siti Nurbaya, dan Bidadari terngiang2 terus. Lebih suka Bebas dibanding Sunny.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jadi pengen karaokean deh. Hahaha. Aku secara pribadi juga lebih menyukai Bebas sih. Guyonannya lebih kena dan Deket aja.

      Delete
  3. Sayang film sebagus ini malah sepi penonton. Kemarin nonton cuma ada belasan orang padahal keren banget. Jarang ada film Indonesia yang ceritanya sengalir ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa miris bgt sama penonton indo skrg...film horror&cinta2an yang kualitasnya jelek malah laku keras

      Delete
    2. Ya sayang sekali memang. Trailernya Bebas harus diakui kurang mengundang, tapi nggak nyangka bakal semelempem ini dalam meraih penonton.

      Delete
  4. Yang di peranin reza emng ada juga ya di SUNNY, yg jadi siapa? Blum nonton soalnya.

    ReplyDelete
  5. Filmnya sepi ya, promonya kurang jor joran, pemain versi mudanya kebanyakan ngga dikenali kecuali Sheryl kalau menurut saya, sedangkan Amanda dan Nichol jadi suporting role, apakah pemilihan cast juga ikut berpengaruh bagi yang mau nonton? sayang banget film Bagus gini sepi penonton, trailernya sih juga kurang menarik, bakal review film Sin atau Perempuan Tanah Jahanam kah?

    Film yang paling dinantikan sih Film Susi Susanti, trailernya sangat menarik sama Ratu Ilmu Hitam, hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menurutku sih berpengaruh banget terutama buat penonton muda. Bagaimanapun tetep butuh star factor apalagi kalau brand masih kurang dikenal. Semestinya Amanda Rawles dapat peran utama sih, Sheryl juga nggak gitu digandrungi di kalangan ABG. Trailernya juga kurang menggoda, nggak jelas pun mau nyeritain apa. Memang bener kalau ada yang bilang Miles Films udah saatnya berhenti jual nama mereka dan AADC buat promo.

      Sin udah direncanain bikin. PTJ oh jelas bakal dibuat, salah satu film yang aku tunggu banget.

      Delete
  6. Filmnya emang sebagus dan semenyentuh itu. Masih belum bisa move on, huhuhu. Eh tapi ada yang satu yang ganjal. Kenapa ya malah geng Bebas yang dikeluarin? Mereka kan ngga salah. Menurutmu gimana mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bebas ini diam-diam penuh subteks lho. Gimana ya ngejelasinnya, yang jelas ada banyak pesan tersembunyi di dalamnya. Di review aku sempat nyebut soal toxic masculinity, nah soal pemecatan dari sekolah ini semacam bentuk kritik si pembuat film pada institusi pendidikan di Indonesia yang cenderung lempar tanggung jawab. Ingat dialog Vina dewasa dengan putrinya soal sekolah yang nggak percaya kalau Mia digencet? Itu sejalan dengan adegan ini. Ketimbang mengayomi, ketimbang mencarikan solusi, pihak sekolah memilih untuk tutup mata.

      Berat ya? Hahaha

      Delete
    2. Nggak kok mas malah buatku jadi menarik. Ternyata bisa didiskusiin juga. Yang soal toxic masculinity itu aku paham, kerasa banget pas Kris labrak si tukang gencet itu. Cuma baru ngeh soal kritik institusi pendidikan. Kalau gitu alasannya jadi bisa dipahami

      Delete
    3. Aku juga baru ngerasain setelah nonton kedua sih. Hahaha. Baru ngerasa ada kaitannya dengan dialognya si Mia.

      Delete
  7. Film nya lebih bgs dr film sunny, mantap abis dah jadi ketagihan nonton terus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Soalnya kerasa lebih deket sih yaa. Aku udah nonton tiga kali lho dan malah ngerasa makin bagus tiap nonton 😁

      Delete
  8. Baru kali ini nggak ekspektasi tinggi karna memang mau support dan lihat karya miles lagi. Tapi ternyata kena banget di hati dan betul, sound tiap ost nya beniiing banget bikin terngiang terus. Thankyou review nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tata suaranya emang kinclong banget. Nggak terdengar mendem seperti soundtrack di film Indonesia pada umumnya.

      Delete
  9. Kalau secara komedi saya suka ini, namun secara dramatik saya suka Sunny.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Humornya beneran disesuaiin dengan kultur Indonesia ya, referensinya juga, jadi bisa lebih relate dan lebih ngakak

      Delete
  10. Baru nonton bebas, tapi ntah karna penontonnya sedikit makanya energi nya juga sepi, aku malah menemukan bebas nggak se-menyenangkan itu.

    Banyak sih yg cukup mengganggu buatku, banyak hal yg terlalu dangkal n nggak di eksplor mendalam. Misal, aku masih ga terlalu paham kenapa suci bersikap sedingin itu. Soal mahasiswa yg ingin revolusi yg cuma sekilas aja. Dan banyak deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oiya, soal hubungan ibu-anak antara vina n keluarganya juga ngga dapet konklusi yg memuaskan buatku :/

      Delete
    2. Wah sayang sekali ya nggak bisa nemuin kesenangannya itu. Tapi bisa jadi ada faktor sepi juga karena aku beneran ngerasain energinya pas nonton kedua kali. Waktu itu bareng temen-temen dan bioskop juga kebetulan rame banget. Jadi asyik sekali.

      Buat pertanyaanmu, aku coba jawab ya:
      1) Suci bersikap dingin ke Vina karena Vina berasal dari Sumedang, kampung halaman ibu tiri yang dibencinya. Ini semacam kritik sosial sih mengenai sifat kedaerahan. Tapi sosok Suci sendiri pada dasarnya emang digambarkan dingin/cool/jaim seperti siswi populer kebanyakan.

      2) Mahasiswa yang ingin revolusi itu memang hanya untuk penanda waktu. Memberikan gambaran soal bagaimana keadaan di tahun-tahun jelang reformasi 1998. Bukan butuh dijabarkan juga karena fungsinya buat penanda waktu sekaligus lagi-lagi kritik.

      Yang disayangkan sebenarnya adegan tawuran. Seharusnya isu politik itu punya peranan kuat di sini. Karena dalam Sunny gongnya ada di adegan ini, sementara di sini pemicunya hanya tawuran biasa.

      3) Konklusinya udah bagus kok karena sebenarnya hubungan diantara mereka kan nggak pernah sampai parah. Kentara, yang mengganggu Mia itu laki-laki penggencet di sekolahnya. Vina hanya dijadikan pelampiasan karena dia melihat dirinya di sosok sang ibu: tidak berani melawan. Tapi setelah kasus selesai, dia lebih lunak. Senyum ke ibunya saat dia melihat ibunya berani menegur peseda motor ugal-ugalan itu sudah cukup kok.

      Kekecewaan ku lebih kepada kemunculan Suci dewasa yang semestinya bisa lebih dramatis dan diperankan aktris yang lebih punya nama

      Delete