Pages

October 11, 2019

REVIEW : GEMINI MAN


“I think I know why he’s as good as you. He is you”

Apabila saya berseru, “Gemini Man adalah film laga yang asoy”, rasa-rasanya tidak ada umat manusia di muka bumi ini yang akan mempertanyakannya. Maksud saya, Gemini Man mempunyai semua komponen yang dibutuhkan untuk membuatnya tersaji sebagai sebuah tontonan eskapis yang bakal disukai oleh khalayak ramai. Ada Ang Lee (Crouching Tiger Hidden Dragon, Life of Pi) yang terbukti ulung dalam menyampaikan cerita di kursi penyutradaraan, ada Will Smith yang memiliki karisma kuat baik sebagai bintang laga maupun aktor serius di jajaran pemain, dan ada pula premis menggelitik perhatian berbunyi: bagaimana seandainya ada dua Will Smith dari masa berbeda yang saling bertarung antara satu dengan yang lain? Jadi, apa sih yang mungkin salah dari film ini? Sepintas lalu, film yang turut diproduseri oleh Jerry Bruckheimer (produser dari Top Gun serta Armageddon) ini memang tampak menjanjikan. Materi promosinya juga memberi kesan bahwa ada banyak gegap gempita dan keriuhan yang bisa kamu jumpai di sepanjang durasi. Saya yang dilingkupi kebahagiaan karena bisa kembali menyaksikan film dalam format 3D sekaligus kepenasaran lantaran Gemini Man menjajal teknologi anyar dengan divisualisasikan dalam 120 frames per second – umumnya, film diproyeksikan dalam 24 frames per second – pun tak menaruh kecurigaan apapun. Tapi setelah saya mengenakan kacamata 3D dan film berjalan separuh durasi, saya perlahan mulai menyadari bahwa Gemini Man ternyata lebih cocok disebut sebagai “film yang amsyong” ketimbang “film yang asoy”.

Ditulis naskahnya secara keroyokan oleh tiga kepala, Gemini Man menyodorkan guliran pengisahan yang bisa dibilang sangat sederhana. Usai melesakkan puluhan peluru ke tubuh para teroris, pembunuh bayaran binaan pemerintah yang kerap disebut-sebut “terbaik” di bidangnya, Henry Brogan (Will Smith), akhirnya memutuskan untuk pensiun saat usianya mencapai kepala 5. Salah satu alasannya, Henry tak ingin pelurunya tersebut pada akhirnya salah sasaran. Dalam misi terakhirnya, dia nyaris menembak bocah perempuan tak bersalah yang berada di dekat sang target sampai-sampai pikirannya terus dilingkupi dengan kecemasan, “bagaimana jika kemarin saya meleset? Bisa-bisa si bocah tewas.” Guna menenangkan pikiran yang terus bergejolak tersebut dalam masa penisunnya, Henry pun mendiami sebuah rumah di dekat pelabuhan. Sayangnya, ini tidak lantas menghindarkan protagonis kita dari masalah. Mengira pilihannya untuk hengkang dari pekerjaan adalah jalan terbaik untuk berdamai dengan diri sendiri, kenyataannya pemerintah tidak membiarkan Henry untuk hidup tenang begitu saja. Mereka mengirim Danny Zakarweski (Mary Elizabeth Winstead) untuk mengintai Henry, untuk mengawasi gerak-geriknya. Tapi Danny yang identitasnya belakangan terbongkar, bukanlah ancaman sesungguhnya bagi Henry. Yang perlu diwaspadai oleh sang karakter utama adalah seorang pembunuh bayaran yang masih muda, sangat gesit, serta mengetahui setiap langkahnya bernama Junior yang ternyata oh ternyata… memiliki rupa yang sangat mirip dengan Henry. What a surprise, huh?


Gemini Man sejatinya masih cukup bisa dinikmati selama paruh pertama. Saya mengagumi penggunaan teknologinya yang tidak main-main sehingga memungkinkan untuk menimbilkan kesan “pop up” atau timbul di depan mata, serta terlihat sangat jernih sampai-sampai tak ada keriput yang bisa ditutup-tutupi. Mesti diakui, perpaduan teknologi 3D HFR (high frame rate) memang menghadirkan pengalaman sinematik yang terhitung unik, khususnya saat film menyuguhi kita dengan gelaran laga. Satu bagian terbaik yang membuat saya terkesan dengan pilihan teknis dari Ang Lee adalah ketika film menghadirkan adegan kejar-kejaran antara dua Will Smith di Cartagena, Kolombia, menggunakan sepeda motor yang berujung pada pertarungan tak kalah gila. Terasa sungguh intens dimana penonton ditempatkan seolah-olah sedang memainkan permainan video di layar raksasa. Cool! Untuk sesaat, saya berpikir bahwa Lee telah berhasil menyempurnakan eksperimen teknologinya yang sebelumnya mengalami kegagalan kala diaplikasikan dalam Billy Lynn’s Long Halftime Walk (2016). Namun seiring bergulirnya durasi, keputusan untuk menerapkan teknologi ini ternyata menjadi pedang bermata dua. Saya acapkali terdistraksi ketimbang mendapati kesan realistis. Betapa tidak, kejernihan gambarnya membuat saya seperti sedang menonton telenovela yang dibintangi oleh Fernando Colunga ketimbang sajian aksi untuk konsumsi layar lebar. Lebih-lebih, si pembuat film tak pernah lagi mengkreasi momen laga yang membuat penonton menahan nafas saking tegangnya. Lee lebih suka mencecoki penonton dengan obrolan, obrolan, dan obrolan.

Menilik jejak rekam sang sutradara yang memang tumbuh berkembang di genre drama, saya tentu tidak terkejut begitu mendapati Gemini Man disesaki oleh dialog. Hanya saja, rangkaian dialog dalam film ini sama sekali tidak menggugah selera. Penuh dengan eksposisi untuk menjelaskan suatu peristiwa maupun karakteristik, serta terdengar sangat teramat tidak wajar untuk diucapkan oleh manusia betulan. Nyaris tanpa emosi. Telenovelanya Paman Colunga saja masih bisa bikin jantung ikut berdebar-debar ketika para karakternya bertukar dialog soal perselingkuhan atau rebutan kekayaan, sementara di sini, saya bingung harus bereaksi seperti apa sehingga akhirnya memilih untuk menguap lebar-lebar. Will Smith tampak begitu kebosanan dalam peran utamanya, dan tampak begitu janggal saat memerankan Junior yang wajahnya didapat dari kombinasi tak halus antara stok film lama dengan motion captures. Jajaran pemeran pendukung seperti Mary Elizabeth Winstead, Benedict Wong, dan Clive Owen pun tak banyak membantu karena peran mereka tidak lebih dari tim hore untuk duel Smith vs Smith yang jauh dari kata seru. Penonton dibiarkan menunggu terlalu lama untuk menanti kemunculan Junior yang seharusnya menjadi lawan utama bagi Henry, dan mereka hanya mempunyai satu pertarungan asyik: kejar-kejaran di Kolombia. Selebihnya, antara adegannya terlampau gelap tanpa ada intensitas guna menutupi kekurangan di wajah Junior (saya sampai kelepasan berteriak ngeri begitu melihat wajahnya secara jelas di ending), atau memang tidak terjadi apa-apa selain Henry menyampaikan wejangan yang diniatkan terdengar filosofis untuk sang kembaran muda.


Ketika film menutup gelarannya dengan konfrontasi akhir yang membuat penonton di sebelah saya mendadak nyeletuk, “hah gitu doang?”, saya pun tak memiliki keraguan untuk menyebut Gemini Man sebagai salah satu film paling mengecewakan di tahun 2019. Apabila sajian ini ditangani oleh sutradara dengan jam terbang minim, saya masih bisa memafhuminya. Tapi mengingat film ini dikerjakan oleh Ang Lee yang terbukti handal dalam bercerita, maka mendapati sebuah tontonan menjemukan tanpa ada narasi menggigit dan minim laga mendebarkan tentu terasa seperti dibuat patah hati oleh orang terkasih. Semoga saja Pak Lee segera tersadar dari obsesinya terhadap HFR sehingga tidak ada lagi telenovela aneh di layar lebar pada masa-masa mendatang. #PrayForAngLee

Poor (2/5)

3 comments:

  1. Sangat setuju dengan review-nya mas. Seharusnya adegan seru di Kolombia itu yang lebih cocok dijadikan adegan klimaks karena setelah itu tidak ada lagi.
    Oh iya, awalnya saya sangat bersemangat nonton film ini karena reviewer sebelah memberikan nilai lumayan, ditambah lagi ini filmnya Will Smith, eh ternyata filmnya mengecewakan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benerrr. Adegan di Kolombia itu harusnya dijadiin klimaks. Apalagi klimaksnya juga berasa lagi main kembang api gitu. Nggak greget sama sekali. Villainnya ditumbangkan dengan kelewat mudah 🤦

      Delete
  2. di skip ini,,nunggu hadir dilapak saja 😅😅😅

    ReplyDelete