Pages

December 17, 2019

REVIEW : JERITAN MALAM


“Pernahkah kalian merinding di suatu tempat, merasakan kehadiran sesuatu yang sebelumnya kalian percaya hanyalah permainan imajinasi otak manusia belaka?”

Sebelum diadaptasi ke dalam tontonan layar lebar, Jeritan Malam lebih dulu dikenal sebagai salah satu thread bentukan @morfosis_meta di forum Kaskus. Thread yang membungkus satu cerita seram unggahan si pembuat ini, tanpa dinyana-nyana menjadi buah bibir di kalangan pengunjung dunia maya dan seketika dibukukan. Salah satu alasan paling mendasar yang membuat cerita tersebut dapat menjaring ketertarikan publik secara cepat adalah fakta (setidaknya menurut si penulis) bahwa narasi yang diutarakan dalam Jeritan Malam bersumber dari pengalaman nyata. Disamping faktor lain yang meliputi: 1) ceritanya terasa dekat dan familiar khususnya bagi masyarakat Jawa di daerah yang masih kerap bersentuhan dengan kebudayaan atau kesenian yang aroma mistisnya cukup kental, dan 2) ada elemen misteri dibubuhkan melalui kalimat pembuka yang menimbulkan ambiguitas sehingga pembaca pun memiliki ketertarikan untuk membaca demi menjawab pertanyaan “benarkah ini semua betul-betul terjadi?.” Oleh versi layar lebarnya yang digarap Rocky Soraya (The Doll, Mata Batin), elemen misteri ini masih menjadi satu cara yang ampuh dalam menarik atensi. Terlebih lagi, ada satu peringatan dibubuhkan berbunyi kurang lebih “jangan lakukan apa yang telah saya lakukan” yang seketika membuat diri ini dan mereka yang belum pernah menyentuh materi sumbernya dilingkupi kepenasaranan. Apa yang sebetulnya telah dilakukan oleh si tokoh utama sampai-sampai dia menyerukan peringatan tersebut kepada penonton?

Sesuai dengan materi sumbernya, Jeritan Malam melempar kita kembali ke tahun 2007 dan memperkenalkan kita kepada seorang mahasiswa S1 bernama Reza (Herjunot Ali). Selepas diwisuda, Reza berniat untuk langsung terjun ke dunia kerja demi mengumpulkan modal agar bisa menikahi kekasihnya, Wulan (Cinta Laura Kiehl). Sayangnya, setelah berbulan-bulan lamanya menganggur dan setelah berpuluh-puluh surat lamaran dikirimkan, Reza tak kunjung mendapatkan panggilan kerja. Hingga akhirnya, satu perusahaan berkenan untuk memberinya satu posisi di tempat mereka. Mendengar kabar tersebut, Reza jelas berbahagia meski Wulan dan kedua orang tuanya (dimainkan oleh Roy Marten bersama D’Ratu) justru merasa cemas. Pasalnya, protagonis kita ini ditempatkan di Banyuwangi yang ribuan kilometer jauhnya dari Bogor. Tidak ada yang tahu apa yang ada di sana, tidak ada yang tahu apa yang tersembunyi di sana. Guna menjamin putra semata wayangnya ini terbebas dari hal-hal tidak diinginkan, sang ayah pun memberikan kujang sebagai pelindung. Sebuah pemberian yang terpaksa diterima Reza yang sejatinya enggan mempercayai keberadaan dunia gaib. Sesampainya di Banyuwangi, Reza ditempatkan di sebuah mess yang jauh dari pemukiman warga bersama Indra (Winky Wiryawan), Minto (Indra Brasco), dan Pak Dikin (Fuad Idris). Untuk sesaat, mess ini tampak seperti tempat tinggal yang nyaman bagi Reza sampai kemudian ketiga teman barunya mengungkap bahwa mereka tidak tinggal sendirian di tempat itu. Ada entitas lain dari alam berbeda yang terkadang menampakkan diri sebagai salah satu penghuni mess.


Didasarkan pada materi sejenis dengan Keluarga Tak Kasat Mata (2017) yang hasil akhirnya tergolong memprihatinkan, saya tentu mulanya skeptis pada Jeritan Malam. Tapi sokongan bujet hingga 20 miliar rupiah (konon, inilah film horor termahal di Indonesia!) dan proses syuting yang berlangsung cukup panjang sampai 54 hari, rupanya menunjukkan hasil yang sebanding. Jeritan Malam sanggup terhidang sebagai tontonan horor yang cukup memuaskan. Selayaknya film-film lain produksi Soraya Intercine Films, satu hal yang bisa dipuji adalah production value dalam film ini yang tersusun atas pengambilan gambar, pewarnaan, penyuntingan, tata suara, sampai tata artistik memberi kesan “mahal”. Ada upaya lebih untuk menghindarkannya dari tontonan yang dikerjakan secara serampangan dari sisi teknis, dan itu nampak. Saya pribadi mengapresiasi sektor ini yang untungnya turut disokong oleh kemampuan Rocky Soraya dalam mengkreasi sederet momen seram. Alih-alih bergantung pada jumpscares demi membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop, si pembuat film lebih sering mengandalkan atmosfer yang mengusik kenyamanan guna membangkitkan rasa takut. Kita mengendus sisi misterius dari mess yang menyimpan masa lalu kelam, kita dibikin merinding oleh hutan gelap yang tampak jelas bukan area yang semestinya dimasuki manusia biasa, dan kita pun bergidik tatkala sosok-sosok dari alam seberang menampakkan wujud aslinya. Divisualisasikan dengan tata rias beserta efek khusus mumpuni, sedikitnya ada dua momen yang membuat bulu kuduk saya meremang yakni: 1) penghuni pohon, dan 2) kepala buntung.

Kapabilitas Rocky dalam mengkreasi trik menakut-nakuti ini dibarengi pula dengan guliran pengisahannya yang mesti diakui efektif dalam menambat atensi. Memang betul rangkaian dialognya yang menggunakan Bahasa Indonesia baku (khususnya saat Reza berbincang dengan Wulan) terdengar janggal di telinga, dan beberapa adegan terasa repetitif sekaligus berpanjang-panjang seolah ingin mengisi kekosongan durasi seperti saat Reza terbangun pada tengah malam atau epilog yang agak preachy. Namun Jeritan Malam yang naskahnya diolah oleh Ferry Lesmana bersama Donny Dhirgantoro ini setidaknya mampu memancing ketertarikan saya dengan satu pertanyaan: apa sebetulnya yang sedang dihadapi oleh Reza? Ndilalah, penokohan si karakter utama ini pun terbilang menarik. Adanya satu tragedi di masa kecil mendorongnya untuk tumbuh sebagai pribadi yang enggan memercayai mistisisme maupun hal-hal gaib. Baginya, semua kejadian dapat dijabarkan menggunakan akal sehat. Penggunaan voice over yang menarasikan pemikiran-pemikiran Reza turut membantu kita untuk mengenal pribadinya lebih dalam. Dia adalah sosok yang cukup kompleks, walau kegigihannya dalam menegasikan peristiwa mistis membuatnya terasa menjengkelkan. Bisa jadi, ini ada keterkaitannya dengan interpretasi kurang tepat dari Herjunot Ali yang acapkali terasa hampa secara emosi. Saya yang menggunakan kacamatanya untuk memandang setiap adegan, tidak pernah benar-benar merasakan pergolakan batinnya. Padahal, dia tengah dirundung serentetan pertistiwa mengejutkan yang menggoyahkan persepsi sekaligus egonya sebagai manusia modern yang terpelajar.


Syukurlah, Herjunot didampingi oleh Winky Wiryawan dan Indra Brasco yang menghadirkan chemistry meyakinkan sebagai dua sahabat yang diteror memedi. Keduanya membantu mencairkan suasana di tengah situasi yang mendebarkan, keduanya pun sanggup membuat kita peduli kepada mereka berkat pembawaan yang santai nan asyik. Bukankah Reza terbilang beruntung bisa berbagi mess dengan Indra dan Minto? Hanya saja, persahabatan mereka sayangnya terjalin di tempat angker yang kian dikacaukan oleh keberadaan Reza. Ketimbang menghormati para penunggu, karakter utama film ini justru menunjukkan kepongahannya sebagai manusia dengan menyepelekan keberadaan para lelembut. Bentuk kesombongan yang berujung pada petaka ini menjadi semacam pengingat sekaligus pesan untuk penonton Jeritan Malam bahwa kita tidak hidup sendirian di muka bumi. Ada hal-hal gaib yang sulit terjelaskan yang sebaiknya tidak kita usik atau pandang rendah karena siapa yang tahu apa konsekuensi yang menanti atas tindakan kita.

Exceeds Expectations (3,5/5)

1 comment: