Pages

December 14, 2019

REVIEW : KNIVES OUT


“The family is truly desperate. And when people get desperate, the knives come out.”

Saat menyaksikan Knives Out garapan Rian Johnson (Looper, Star Wars: The Last Jedi) di layar lebar beberapa hari yang lalu, ada satu komentar yang seketika terlontar dari mulut saya selepas lampu bioskop dinyalakan: “wow!” Ya, saya dibuat jatuh hati oleh karya terbaru Johnson ini sampai-sampai saya tidak kesulitan untuk memberinya label sebagai “salah satu pengalaman sinematik paling mengasyikkan di tahun 2019.” Sebuah label yang tak pernah saya perkirakan akan disandang oleh Knives Out, meski saya pribadi telah menunjukkan ketertarikan hebat untuk menyantap film ini sedari materi promosinya ditebar. Pemicunya adalah, penyesuaian ekspektasi selepas menyimak versi terbaru dari Murder of the Orient Express (2017) yang tidak terlampau menggairahkan. Ada tiga persamaan yang menyatukan dua judul tersebut: 1) keduanya berdiri di jalur misteri dengan narasi ‘whodunit’ yang mengajak penonton untuk menerka-nerka si dalang pembunuhan, 2) keduanya mengedepankan pelakon-pelakon ternama untuk mengisi departemen akting, dan 3) keduanya memiliki keterkaitan dengan novel rekaan Agatha Christie – well, dalam kasus Knives Out, lebih ke terinspirasi pada pola pengisahannya. Memiliki sederet persamaan semacam ini, mau tidak mau antisipasi yang sebetulnya telah menjulang tinggi tadi lantas dibarengi dengan ekspektasi yang berada di level sedang. Saya tentu tidak mau dibuat kecewa untuk kedua kalinya, saudara-saudara! Untuk itulah diri ini lantas menekan pengharapan kala bertandang ke bioskop yang ternyata oh ternyata, malah berbuah manis tatkala mendapati bahwa Knives Out sanggup berdiri jauh di atas pencapaian “saudara tirinya” dan memberi saya sebuah sajian hiburan yang sangat memuaskan.

Dalam Knives Out, penonton diperkenalkan kepada keluarga Thrombey yang tajir melintir berkat karir sang kepala keluarga, Harlan (Christopher Plummer), yang sukses sebagai penulis novel misteri. Dalam ulang tahunnya yang ke-85, Harlan mengundang seluruh keluarganya untuk hadir yang terdiri dari: 
    
1) Linda si putri sulung (Jamie Lee Curtis) beserta suami, Richard (Don Johnson), dan putranya yang gemar foya-foya, Ransom (Chris Evans).
2) Walt si bungsu (Michael Shannon) yang kini menjalankan perusahaan penerbitan milik sang ayah beserta istri, Donna (Riki Lindhome), dan putranya yang memiliki pandangan politik mengkawatirkan, Jacob (Jaeden Martell).
3) Janda dari putra Harlan yang telah meninggal, Joni (Toni Collette), beserta putrinya yang baru saja kuliah di perguruan tinggi ternama, Meg (Katherine Langford).

Disamping keluarga inti, pesta ini turut dimeriahkan oleh Marta (Ana de Armas) yang bertugas sebagai perawat pribadi Harlan. Akan tetapi, segala gegap gempita dan keriuhan yang mewarnai pesta seketika berubah secara drastis keesokan harinya tatkala Fran si asisten rumah tangga (Edi Patterson) menemukan majikannya telah membujur kaku di ruang kerjanya. Untuk sesaat, pihak kepolisian menarik kesimpulan bahwa kematian Harlan disebabkan oleh bunuh diri. Tapi benarkah demikian? Seorang detektif swasta kenamaan, Benoit Blanc (Daniel Craig), yang disewa oleh seorang misterius untuk menyelidiki kematian Harlan pun meragukan kesimpulan tersebut lantaran si penulis novel ditemukan dalam keadaan leher tergorok. Terlebih lagi, setiap anggota keluarga yang dimintai keterangan tentang “apa yang terjadi di pesta ulang tahun?” belakangan diketahui berbohong mengenai fakta-fakta tertentu. Seolah ada yang berbahaya disana, seolah ada yang ingin ditutupi disana. Bahkan Marta yang tidak bisa berdusta karena tubuhnya akan seketika bereaksi apabila dia berbohong, ternyata turut menyimpan satu rahasia besar mengenai kematian Harlan. 



Usai menengok materi promosinya, lalu membaca sinopsis dari Knives Out, kesan “tontonan misteri yang seru” memang menguar kuat. Untungnya, apa yang tampak menggiurkan di permukaan ini sanggup ditranslasikan ke dalam bahasa gambar dengan baik oleh Johnson. Mengalun cukup panjang hingga mencapai 130 menit, kenyataannya Knives Out tak pernah sekalipun menghadirkan momen-momen membosankan dan justru, semangat terus dibuat membara sedari menit pembuka sampai adegan penutup. Si pembuat film enggan untuk berbasa-basi barang sejenak dan langsung membawa kita kepada inti persoalan melalui prolog: kematian Harlan. Dari sini, kita lantas disuguhi adegan wawancara menggelitik yang mempunyai dua fungsi krusial, yaitu 1) untuk memberi gambaran kepada penonton mengenai apa yang terjadi di detik-detik jelang kematian Opa Harlan dari berbagai sudut pandang, serta 2) untuk menjabarkan karakteristik berikut latar belakang dari karakter-karakter inti. Yang kemudian kian meningkatkan ketertarikan saya kepada film adalah adanya fakta-fakta yang ditutupi. Baik anggota keluarga Harlan maupun Marta tidak sepenuhnya berkata jujur yang tentu saja membuat diri ini bertanya, “mengapa?.” Mengikuti pola dari cerita misteri berbasis whodunit, Johnson yang juga bertindak selaku penulis skenario tentu saja memosisikan setiap karakter tersebut sebagai tersangka. Tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya, tidak ada yang benar-benar bisa dibebaskan dari tuduhan. Mereka semuanya memiliki motif sama kuat untuk membunuh Harlan dan ini dikonfirmasi melalui satu adegan penting (tenang, tidak akan saya sebutkan kok!) yang sekaligus membuat saya ingin mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang definisi “keluarga”.


Penyalahgunaan kata “keluarga” ini sendiri menjadi salah satu komentar sosial yang diajukan oleh Johnson selain perihal masyarakat berkantong tebal, insting bertahan hidup manusia yang berbahaya, dan imigran gelap di Amerika Serikat. Berat? Tenang saja, sisipan komentar dan narasinya yang mengedepankan soal investigasi kasus pembunuhan tidak lantas membuat Knives Out terasa njelimet. Johnson melantunkannya secara ringan yang terbukti dari pekatnya kandungan humor dalam film ini. Entah dari tindak tanduk Benoit Blanc yang nyentrik, pertikaian tak berkesudahan antar anggota keluarga Thrombey, sampai pertukaran dialog para karakter yang acapkali lucu. Bagusnya, adanya elemen komedik yang seabrek ini tak lantas mendistraksi penonton dari elemen misteri dan pilihan kreatif tersebut malah memudahkan kita untuk mencerna penyampaian dari si pembuat film yang sejatinya kompleks. Penonton diajak bersenang-senang oleh Johnson sehingga tanpa tersadar kita pun mengikuti permainan sang sutradara dengan turut menciptakan hipotesis atas kasus yang diselidiki oleh Blanc. Bagi penonton yang jeli, petunjuk besar sebetulnya sudah ditebar sedari awal yang dapat mengungkap siapa dalang dibalik terbunuhnya Harlan. Jika kamu adalah bagian dari penonton yang jeli, jangan kira Knives Out adalah suguhan misteri yang “mudah” dan tidak menyimpan tantangan lain. Film masih menghadirkan dua pertanyaan besar yang tak kalah penting: 1) mengapa, dan 2) bagaimana. Bagi saya pribadi, Knives Out lebih condong ke tipe whydunit and howdunit ketimbang whodunit karena letak keasyikkannya justru terletak pada pertanyaan “mengapa dan bagaimana si pelaku melakukan pembunuhan?” yang menunjukkan kemahiran Johnson dalam menyusun kepingan-kepingan cerita ketimbang “siapa yang melakukannya?.” 

Disamping cara bercerita Johnson yang asyik nan lancar sampai-sampai durasi panjangnya terasa seperti satu kedipan mata saja – tentunya editor juga punya peranan signifikan disini (!), keunggulan Knives Out bersumber pula dari pemain ansambelnya yang gi-la. Setiap dari mereka memiliki kontribusi pada penceritaan termasuk K Callan sebagai si nenek buyut berusia 100 tahun lebih, dan setiap dari mereka diberi kesempatan untuk memiliki momen penting. Tak ada yang tersia-siakan begitu saja. Tapi dari riuhnya pelakon ini, ada empat nama yang layak memperoleh kredit lebih yakni Daniel Craig yang sanggup lepas dari bayang-bayang James Bond dengan tampil lucu sekaligus nyentrik sebagai si detektif, Ana de Armas yang dapat membuat kita bersimpati (tapi juga curiga) kepada Marta, Chris Evans yang bisa meyakinkan kita bahwa karakternya memang layak disebut “benalu keluarga”, dan Toni Collette yang tindak tanduknya senantiasa dipertanyakan karena Joni adalah definisi dari istilah bermuka dua. Berkat performa pelakon yang benar-benar hidup ini, Johnson pun tak mengalami kesulitan untuk menghadirkan Knives Out sebagi suatu sajian misteri menghibur yang didalamnya penuh dengan kelokan-kelokan cerita yang mengejutkan. Kamu akan dibuat tegang olehnya, kamu akan dibuat penasaran olehnya, dan kamu juga akan dibuat tertawa tergelak-gelak olehnya. Keren!

Outstanding (4,5/5) 


6 comments:

  1. Terinspirasi dari novel oma Agatha juga kayaknya ya yg "Buku Catatan Joshepine"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa jadi. Karyanya Agatha Christie emang jadi inspirasi utamanya sih.

      Delete
  2. Udah nontonnn. Gatau yah mungkin karna aku fans berat agatha christie n udah banyak namatin novel dia, jadi pas nonton film ini aku ngerasa gak seseru dan se twist ekspektasi. Murder on orient express (versi jadul) tetep ga terkalahkan sih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan salah, aku fans beratnya Agatha Christie juga. Itu yang bikin aku bisa nebak siapa pelakunya. Tapi sisi kesenangan film ini kan bukan dari situ, tapi lebih ke cara bertuturnya. Dibikin komedi, namun nggak menghilangkan ketegangan dan kritik sosialnya pun tetap kuat. Bukan soal twist sih emang.

      Delete
  3. Niat baik tp Benoit malah nyuruh ngikutin kata hati...akhirnya malah dijawab pake mug ...ngakak!🤣🤣

    ReplyDelete