Pages

December 12, 2019

REVIEW : KIM JI-YOUNG BORN 1982


“Mengapa kamu berusaha sangat keras untuk melukai hati orang lain?”

Kim Ji-young Born 1982 adalah film yang sederhana. Jalinan pengisahannya tak berbelit-belit, dan cakupan skalanya pun kecil saja. Sebatas berkisar pada keseharian dari seorang ibu rumah tangga di Korea Selatan. Akan tetapi, film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Kim Do-young yang lebih dulu dikenal sebagai aktris ini merupakan sajian penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Satu alasan utamanya, topik berani yang dikedepankannya. Lebih dari sekadar slice of life, Kim Ji-young Born 1982 yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Cho Nam-ju mengusung pembicaraan tentang racun patriarki yang terhitung jarang disinggung secara terang-terangan oleh film dari Negeri Ginseng. Apa pasal? Well, dibalik gemerlap industri hiburan yang dipancarkan melalui Korean Wave, ada setumpuk cerita kelam yang merambat di setiap sudut Korea Selatan. Budaya patriarki masih berdiri tegak dan sebagian besar publik memilih untuk menutup mata atas dampak merusak yang dimunculkannya. Pertanda bahwa ada pihak-pihak yang masih belum siap (atau justru enggan?) untuk mendiskusikan isu mengenai kesetaraan gender secara terbuka telah nampak sedari versi novelnya belum diejawantahkan ke dalam bahasa gambar. Personil grup musik perempuan Red Velvet, Irene, menerima kecaman sangat keras usai dirinya menyatakan telah membaca novel ini. Tidak tanggung-tanggung, ada aksi pembakaran foto Irene oleh mereka yang tidak menyetujui pilihan Irene, khususnya dari kalangan penggemar laki-laki. Sungguh ekstrim, bukan?

Saking dahsyatnya kontroversi yang melingkungi Kim Ji-young Born 1982, satu tanya pun tercetus. Bagaimana sejatinya narasi yang disodorkan olehnya? Pada dasarnya, film ini hanya merekam keseharian dari Kim Ji-young (Jung Yu-mi) setelah dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan memilih mendedikasikan waktunya untuk mengurus rumah tangga. Sepintas lalu, kehidupan yang dijalani oleh Kim Ji-young tampak baik-baik saja, toh dia mempunyai seorang suami, Jung Dae-hyun (Gong Yoo), yang senantiasa mendukungnya. Tapi pandangan penonton akan seketika berubah ketika menyaksikan bagaimana orang-orang di sekitarnya memperlakukannya, dan bagaimana masa lalunya dihiasi oleh trauma sekaligus tekanan. Kim Ji-young tidak pernah bisa menjalani hidupnya tanpa disertai komentar-komentar menyakitkan yang membuat posisinya terasa serba salah. Di mata sang mertua, dia tidak cukup cakap menjalankan tugasnya dalam menangani ibu rumah tangga yang secara otomatis merendahkan posisinya sebagai seorang perempuan. Sementara di mata orang-orang yang tak mengenalnya, pekerjaannya dipandang tanpa arti lantaran dia tidak menghasilkan apapun dan justru dianggap hanya menghambur-hamburkan gaji suami. Memperoleh tekanan sosial semacam ini – terlebih lagi Kim Ji-young pun tak memiliki kesempatan untuk memanjakan diri – secara perlahan tapi pasti membuat protagonis kita tersebut mengalami depresi. Tak jarang, dia ‘berubah’ menjadi orang lain saat berbicara dengan keluarganya tanpa pernah sekalipun menyadari apa yang telah dilakukannya.


Terdengar sederhana, bukan? Memang begitulah Kim Ji-young Born 1982 mengedepankan narasinya. Jauh dari kata njelimet dan langsung tepat sasaran. Sebuah pendekatan yang jelas dibutuhkan untuk masyarakat yang memilih menutup mata serta telinga mengenai keadaan sosial di sekitarnya. Sindiran halus bukan lagi pilihan untuk menyadarkan mereka yang telah kehilangan empati, melainkan tamparan keras-keras di muka. Tidak mengherankan jika kemudian ada beberapa pihak yang merasa tersinggung dengan keberadaan film ini (maupun versi novelnya) lantaran Kim Ji-young Born 1982 mengupas soal realita budaya patriarki di Korea Selatan tanpa tedeng aling-aling. Kita mendengar bagaimana perempuan dituntut untuk senantiasa bersikap lemah lembut, kita melihat bagaimana perempuan dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga yang sempurna sekaligus patuh pada suami, dan kita juga menyaksikan bagaimana perempuan diperlakukan semena-mena di dunia kerja maupun lingkungan sosial. Para pelakunya tentu saja kaum pria, meski tidak sedikit diantaranya adalah perempuan yang sudah kedarung menganggap budaya ini sebagai sesuatu yang lazim. Kim Ji-young mendapat perlakuan tersebut sedari dirinya masih belia, temasuk perlakuan traumatis dimana dia mengalami pelecehan seksual di bis sepulangnya dari sekolah. Yang kemudian membuat dada ini terasa sesak, protagonis kita ini tidak pernah mendapatkan keadilan dan justru dipersalahkan oleh sang ayah. Bentuk perlakuan yang sejatinya lumrah pula dijumpai di Indonesia (dan belahan dunia lain) sehingga sedikit banyak memudahkan kita untuk terkoneksi dengan apa yang dialami sang protagonis.

Terlebih lagi, penulisan karakternya pun membumi. Kim Ji-young adalah representasi dari para perempuan kebanyakan yang tak berdaya dirongrong patriarki. Ketimbang memberi perlawanan seperti mantan atasan yang dikaguminya atau sang adik yang memutuskan untuk tetap melajang, dia justru memilih untuk diam dan “nerimo”. Menganggap semuanya akan baik-baik saja apabila bersedia mengikuti aturan sosial. Tapi benarkah demikian? Kenyataannya, si karakter tituler justru terserang depresi akibat kebiasaan menekan emosi-emosinya. Perlahan tapi pasti, dia kerap meracau menggunakan sudut pandang orang lain yang seketika membingungkan keluarganya. Menggunakan nada penceritaan yang tenang namun depresif, Kim Do-young mengondisikan penonton untuk menyelami pikiran-pikiran beserta pandangan-pandangan Kim Ji-young. Disokong oleh performa mengagumkan Jung Yu-mi yang sanggup memperlihatkan kerapuhan si karakter utama, sulit rasanya untuk tidak bersimpati kepadanya. Saya tersentak mengetahui masa lalunya, saya terhenyak mengetahui cibiran dari orang-orang di sekelilingnya, dan saya pun tak kuasa untuk menahan air mata tatkala keluarga kandung Kim Ji-young menyadari kondisi mentalnya. Satu momen yang membuat saya “hancur” adalah adegan kunjungan seorang ibu ke rumah putri sulungnya. Coba bayangkan, hati orang tua mana yang tidak tercabik-cabik melihat anaknya yang selama ini dipenuhi optimisme mengenai kehidupan, mendadak menderita dan tak pernah sekalipun menyebut penderitaannya ini demi menjaga perasaan orang lain?

Kim Ji-young Born 1982 sanggup membangun kesadaran terhadap mental illness seraya mengkritisi budaya patriarki dengan amat baik dan powerful. Melalui film ini, penonton akan sedikit banyak memperoleh pemahaman mengenai depresi berikut faktor-faktor yang melatarinya, mendapat gambaran tentang budaya patriarki yang semestinya tidak dilanggengkan, dan pada akhirnya terdorong untuk memanusiakan manusia. Ya, Kim Ji-young Born 1982 yang juga hidup berkat kontribusi akting dari para pemain lain (khususnya Gong Yoo yang tampil simpatik sebagai suami penuh empati) akan membuatmu tersadar betapa besarnya jasa beserta pengorbanan dari para ibu, para istri, dan para perempuan. Inilah satu film yang semestinya tidak kamu lewatkan begitu saja. 

Outstanding (4/5)




10 comments:

  1. akhirnya muncul lagi reviewnya setelah hampir sebulan absen. well bukan review yang ditunggu sih (ehem Frozen II), tapi gk papa. reviewnya mazing as Always, sempet mau nonton pas masinh tayang, cuma skrang udah gk ada di bioskop terdekat. tunggu dunludan aja dah hee

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank youuuuu...

      Wah maaf ya sepertinya review Frozen 2 bakal dilewatin sih biar nggak numpuk. Kim Ji Young ini sebenarnya udah dibikin drafnya dari dua mingguan tapi baru kelar beberapa hari lalu 😅

      Delete
    2. yes, gak tau kenapa langsung jatuh cinta sama cara anda review, jadinya selalu nungguin updatean, dan sempeet bberapa kali mau nonton film liat review dari sini dulu.

      yah, kecewa deh. (sedikit) tapi gk papa, banyak film luar biasa lainya heee.

      btw, sya juga bikin blog, ya iseng iseng sih pengen review film juga, walaupun isinya baru satu. o ya, blog saya terinspirasi dari blog ini. 100% (hehe), terima kasih, jadi sumber inspirasi bagi saya. :D

      kalo ada waktu, smoga bisa mampir di bloktizen.blogspot.com. thanks alot

      Delete
    3. Waduhhhhh... Nggak nyangka blogku bisa menginspirasi. Jadi terharu nih. Terima kasih ya sudah main main kesini. Senang kalau tulisannya bikin kamu terpacu buat nulis juga.

      Siap buat berkunjung ke blogmu. Semoga konsisten yaaa! 💪

      Delete
  2. Setelah saya perhatikan, selama 2 tahun belakangan ini cinetariz selalu absen di bulan November sampai Desember. Di 2 bulan tersebut bank Rizal jarang banget review. D tunggu radio Frozen 2nya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, maksudnya revieww. Maaf tadi tipo gara-gara saya ngetik pakai Google Voice

      Delete
    2. Barengan sama Jogja NETPAC Asian Film Festival soalnya. Seminggu penuh fokus di sana, mau review capek dan biasanya seminggu setelahnya memilih buat off sih. Tahun ini juga begitu, dan ada ganjalan lain jadi agak molor. Frozen 2 juga kemungkinan aku skip ulasannya biar nggak numpuk. Maafff. 🙏

      Delete
    3. Ooo, gitu, nggak minat review film yang tayang di JAFF, bang?

      Delete
    4. Hanya aku bikin review singkat saja di Twitter. Yang aku tulis panjang cuma film yang nantinya tayang di bioskop. Itupun mepet jadwal rilisnya. Daripada ditanyain "bisa nonton dimana ya?"

      Delete