Pages

February 28, 2020

REVIEW : SEBELUM IBLIS MENJEMPUT AYAT DUA


“Ada beberapa sosok iblis tertentu yang mengharuskan adanya pengorbanan. Korban itu adalah salah satu bentuk dari pengabdian.”

Tepat selepas menonton Sebelum Iblis Menjemput di bioskop pada tahun 2018 silam, saya secara spontan nyeletuk “Aku hambamu, Bung Timo Tjahjanto” seraya menyembah-nyembah layar. Sungguh, film tersebut berhasil menghadirkan pengalaman menonton sajian seram yang begitu seru sekaligus menggedor jantung tanpa henti. Menit demi menitnya senantiasa disusupi intensitas tinggi sampai-sampai tak ada kesempatan bagi penonton untuk melepas nafas lega. Keji sekali memang Bung Timo ini! Tapi siapapun yang mengikuti seluk beluk filmografi sang sutradara tentu paham, dia tak pernah segan-segan dalam menggeber kekerasan. Narasi bukanlah hidangan andalannya, melainkan bagaimana cara dia mengkreasi “kesenangan” dalam film yang bersumber dari penyiksaan, brutalitas, serta muncratan darah. Ya, film-filmnya memang cenderung segmented dan tidak pula cocok ditonton oleh mereka yang berhati lemah. Sebelum Iblis Menjemput sendiri tergolong karyanya yang paling “lunak” menyusul keinginannya untuk berdamai dengan guntingan sensor tanah air yang ganas. Namun selunak-lunaknya Timo, kamu tetap akan mendapati perempuan-perempuan anggun seperti Chelsea Islan, Pevita Pearce, dan Karina Suwandi mendadak saling teriak, saling hajar, hingga gelut habis-habisan di kubangan lumpur. Sebuah pemandangan langka yang tentu tak akan kamu jumpai di film Indonesia manapun, bukan? Saking bersemangatnya melihat mereka disiksa eh maksud saya film ini, hamba tentu bahagia begitu mendapati cerita ternyata tak berakhir sampai disitu saja. Ada sekuel bertajuk Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua dimana sang sutradara menyiapkan lebih banyak tumbal untuk dikorbankan kepada penguasa neraka.

Dalam Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua, poros penceritaan tetap berpusat pada Alfie (Chelsea Islan) yang berhasil melepaskan diri dari cengkraman iblis di film pertama dengan membasmi habis keluarganya. Satu-satunya personil yang dibiarkannya hidup – karena dia masih bocah, polos, dan tidak jahat – adalah Nara (Hadijah Shahab) yang kini diasuhnya. Keduanya mencoba untuk memulai hidup baru meski tentu saja tidak mudah karena trauma masih merundung hebat dimana Alfie kerap dihantui rasa bersalah, dan was-was akan kembali dikunjungi oleh sosok kegelapan. Ditengah upayanya untuk kembali bangkit, peristiwa naas datang mengunjunginya saat sekumpulan orang tiba-tiba menyantroni tempat tinggalnya lalu menculiknya. Bersama dengan Nara, Alfie diboyong ke sebuah bekas panti asuhan yang lokasinya jauh dari peradaban. Di sana, para penculiknya yang terdiri dari Budi (Baskara Mahendra), Jenar (Shareefa Daanish), Gadis (Widika Sidmore), Kristi (Lutesha), Leo (Arya Vasco), dan Martha (Karina Salim), menjelaskan alasannya menculik Alfie. Bukan untuk balas dendam atau mendapatkan tebusan, melainkan untuk meminta tolong. Rupa-rupanya, keenam muda-mudi ini kerap diteror oleh seseorang dari masa lalu yang mengabdikan jiwanya kepada iblis. Berhubung Alfie pernah berurusan dengan makhluk mengerikan tersebut – bahkan berhasil mengalahkannya – maka kawanan putus asa ini menganggap Alfie adalah seorang pakar dalam hal penaklukkan iblis. Tapi kita yang telah menonton film pertama jelas tahu, keberuntungan memiliki andil dalam kemenangan si protagonis. Jadi saat dia kali ini salah mengambil langkah, teror yang ditakutkannya pun kembali terjadi.


Sebagai sebuah sekuel, Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua sama sekali bukan sajian yang bisa dikategorikan buruk. Tampak jelas, ada beberapa peningkatan diupayakan terutama di sektor teknis dimana efek khusus didayagunakan secara maksimal (salah satunya untuk mewujudkan adegan “lahiran” yang berlangsung dramatis), begitu pula dengan tata artistik, tata rias, serta sinematografi yang berperan besar dalam terealisasinya sederet momen genting nan mencekam. Satu adegan yang terhitung efektif membuat penonton mengalami kegelisahan di kursi bioskop adalah ketika sesosok pocong meneror salah seorang karakter di sebuah ruangan. Ketimbang menampakkannya secara jelas – atau menunjukkan kemahirannya melompat-lompat – Timo justru mengambil pendekatan sedikit berbeda yang menyebabkan kehadirannya sulit dienyahkan dari benak begitu saja. Sempat ingin berteriak “hey, ada yang gerak-gerak di belakangmu!” tapi belakangan mulut urung terbuka lantaran: 1) teringat diri ini sedang berada di bioskop, dan 2) sulit untuk mengucap apapun. Sungguh bikin stres, bukan? Tapi jika kamu mengira film akan mempunyai trik menakut-nakuti senada atau memiliki kecakapan dalam membuat jantung senantiasa berdegup kencang selaiknya jilid pertama, well, sayangnya tidaklah demikian. Sebagai seseorang yang menggemari instalmen terdahulu berkat geberan terornya yang tak berkesudahan, saya cukup kecewa menyaksikan Timo sedikit bermain aman di sini. Lagi-lagi, bermain aman dalam level Timo tetap berarti mempersilahkan Lutesha untuk menjedot-jedotkan kepalanya ke pintu, melepaskan gir untuk melayang-layang lucu di udara seraya mengincar beberapa kepala, dan membiarkan Chelsea Islan mengeluarkan segala sumpah serapah.

Hanya saja, sekali ini kegilaan tersebut tidak berlangsung secara terus menerus. Ada jeda diberlakukan demi memberi kesempatan bagi karakternya yang seabrek itu untuk berkontribusi pada penceritaan. Yang kemudian menjadi kendala adalah, narasi masih belum menjadi kekuatan utama dari si pembuat film. Ketimbang memperkuat ikatan dengan barisan karakter, jeda justru mengendorkan intensitas yang sejatinya telah satu dua kali terbangun dengan baik seperti pada prolog yang menguarkan misteri atau pada ritual yang berlangsung keliru. Terlebih, anak-anak baru ini tidak dibekali penulisan karakter semenarik Alfie yang tangguh, Maya (Pevita Pearce) yang manipulatif maupun Laksmi (Karina Suwandi) yang intimidatif. Mereka terlampau tipikal. Agaknya, perebutan jatah tampil – yang tentu tak bisa dihindari menilik banyaknya tokoh yang berperan serta – adalah salah satu faktor yang melandasi ketidakmampuan banyak karakter untuk berkembang dan mencuri perhatian. Memang benar bahwa para pelakonnya telah bersungguh-sungguh dalam menghidupkan peran masing-masing, kredit khusus patut disematkan kepada Widika Sidmore yang menebarkan sisi misterius dan Lutesha yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk menggila, tapi mereka pun tak mampu untuk membuat para karakter menggoreskan kesan kuat di benak. Malah, cenderung mudah dilupakan. Ketidaksanggupan diri ini untuk terikat kepada para tokoh penggerak cerita, lantas menghalangi hamba dalam menginvestasikan emosi ke film ini. Bahkan Alfie pun mendadak sulit didukung karena meledak-ledaknya nggak ketulungan sampai saya ngeri sendiri lihatnya. Istighfar, Mbak, jangan ngegas terus.

Ini sebetulnya masih bisa ditolerir apabila Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua menempuh pendekatan serupa film pertama. Yang menghajar penonton dengan terornya hingga babak belur. Tapi saat kali ini mencoba untuk memberi perhatian lebih kepada penceritaan, saya justru sempat berada di titik jenuh. Apalagi jelang munculnya teror, situasi yang dihadapi oleh para karakter cenderung senada seirama. Repetitif. Rangkaian trik menakut-nakuti yang ditampilkan pun mengalami problematika serupa dimana banyak diantaranya berupa pengulangan (contoh: setan merangkak yang geraknya semakin cepat dalam mendekati kamera) dan tidak seliar apalagi segarang sebelumnya. Apa karena film pertama sudah menciptakan standar tinggi ya jadi susah untuk dilampaui? Bisa jadi sih demikian. Saya pribadi memang cukup kecewa dengan apa yang disajikan oleh film ini dimana kenaikan dan penurunan tensinya bisa saling bergantian secara cepat. Tapi adalah suatu kebohongan besar jika saya mengatakan sama sekali tidak dibuat terhibur oleh film ini. Disamping beberapa momen seram yang efektif, Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua juga mempunyai momen-momen seru yang tak jarang mengundang gelak tawa. Tawa yang timbul dari tindak tanduk serta celetukan konyol karakternya yang kentara memang diniatkan demikian oleh Timo. Paling tidak masih menyenangkan lah!

Acceptable (3/5)

6 comments:

  1. Kirain bakal masalah cuma di karakterisasi. Ternyata 'kehabisan stok teror' 😭

    Padahal setelah SIM dan the night comes for us aku langsung menghamba juga ke doii.. 😭😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nggak nyangka juga bakal habis stok terornya. Nontonnya berasa capek dan bosen soalnya diulang-ulang 😔

      Delete
  2. Kebanyakan karakter bisa jadi,, dan jatuh nya gak semua karakter menonjol. Musik nya terlalu berisik di sini, dan kenapa akting chelsea harus se over ini 😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenernya akting dia emang selalu gitu. Di SIM 1 agak bisa terkontrol, tapi kali ini lepas lagi :(((

      Delete
    2. Tapi katanya bakal di bikin trilogi,, benar gak ya??

      Delete