“Nothing is sure. But sometimes, you just have to believe.”
Love You to the Stars and Back adalah film percintaan yang
menggemaskan. Tipe tontonan romantis yang akan membuatmu tersenyum-senyum
setiap kali menyaksikan interaksi dua sejoli utama serta sesekali menyeka air
mata haru. Tapi mendeskripsikan film arahan Antoinette Jadaone – dia juga menggarap
That Thing Called Tadhana (2014) dan Never Not Love You (2018) yang wajib
simak – ini semata-mata dengan kata “menggemaskan” kok rasanya agak mengecilkan
filmnya itu sendiri ya? Kata tersebut jelas tidak bersinonim erat dengan makna
peyorasi dan pada dasarnya sudah cukup untuk menegaskan bahwa film yang hamba
maksud telah menggoreskan kesan sangat baik di hati. Hanya saja, Love You to the Stars and Back bukanlah
sebuah sajian romansa untuk remaja yang picisan dimana selama durasi mengalun
kita dihadapkan pada narasi bertemakan “benci
jadi sayang” atau “teman jadi cinta”
semata bertabur dialog-dialog puitis melenakan. Jadaone mengupayakan agar
karyanya ini berbicara lebih dari itu dengan mengedepankan topik yang serius,
realistis, serta relevan bagi banyak pihak. Tentang bagaimana manusia memandang
kehidupan, berdamai dengan duka yang menganga, sampai menilai kematian sebagai
solusi terbaik dalam menuntaskan problematika yang melilit. Berat?
Kedengarannya memang demikian, sampai kamu memutuskan untuk menonton filmnya
sendiri yang menghadirkan warna pengisahan (ehem) menggemaskan
dibalik narasinya yang sejatinya mempunyai warna bertolak belakang.
Guna menggulirkan penceritaan
dalam Love You to the Stars and Back, penonton
dipertemukan dengan sepasang muda-mudi yang memiliki karakteristik
berseberangan; Mika (Julia Barretto) yang senantiasa spaneng dan Caloy (Joshua Garcia) yang santuy. Keduanya berjumpa di
tengah padang ilalang saat sama-sama sedang buang hajat. Perjumpaan yang nyeleneh
ini lantas berlanjut menjadi perjalanan bersama lantaran mobil yang dikendarai Mika
tanpa sengaja melindas kaki Caloy. Merasa bersalah, Mika pun memberinya
tumpangan. Dalam babak perkenalan antara dua tokoh ini, kita bisa mengetahui
tujuan mereka dalam melakoni road trip
yakni Mika hendak berkelana ke Mt. Milagros demi menyerahkan diri kepada alien,
sementara Caloy berencana untuk menemui ayah kandungnya yang tak pernah
ditemuinya sepanjang hidup. Tunggu, tunggu sebentar… alien? Ini bukan fiksi
ilmiah kok karena alien sendiri sebentuk perumpaan untuk menggambarkan
kematian. Mika masih belum bisa menerima kepergian ibunya dan dia berharap,
alien dapat mempertemukannya dengan sang ibu. Caloy yang mulanya menertawakan,
perlahan mulai memahami alasan teman seperjalanannya itu terlebih dia juga
dekat dengan kematian. Divonis mengidap leukemia, Caloy diperkirakan tidak akan
bertahan lebih dari dua belas bulan. Itulah mengapa di sisa-sisa hidupnya, dia
nekat menempuh perjalanan panjang yang tanpa disangka-sangka justru memperkenalkannya
pada cinta sekaligus memberinya perspektif baru mengenai kehidupan dan kematian.
Ditengok sepintas dari sinopsis, terendus
indikasi Love You to the Stars and Back bakal
mengarah ke ranah melodrama. Jika kamu berpikir demikian, well… tidak sepenuhnya salah. Paruh akhir durasi khususnya di 30
menit jelang tutup durasi, Jadaone mengobrak-abrik emosi penonton sedemikian
rupa melalui kenelangsaan yang mendadak menerjang dua tokoh utamanya. Keduanya seolah
telah menemukan kebahagiaan yang diinginkan sampai kemudian harapan terhempas
dari genggaman mereka. Iringan musiknya yang membahana memang memberi kesan
manipulatif dan seolah berusaha terlalu keras agar kita bercucuran air mata.
Ini sebetulnya menyebalkan apabila film tak pernah sanggup membuat penonton
teresonasi dengan nasib karakter intinya. Akan tetapi, berkat simpati yang
telah terpatri sedari awal kepada Caloy maupun Mika, hamba pun tidak
berkeberatan dan bahkan tanpa disadari telah menarik satu dua tissue seraya
berharap si pembuat film akan mendengungkan kabar baik di babak pamungkas. Saya
tak semata-mata ingin melihat mereka dipersatukan sebagai pasangan, melainkan
lebih kepada berharap mereka dapat berbahagia usai duka lara yang merundung. Mereka
adalah anak-anak muda berhati mulia yang sangat layak mendapatkan kebahagiaan dan cinta kasih yang tulus. Kesimpulan
tersebut hamba peroleh lewat interaksi lekat yang mencuat di satu jam sebelumnya yang penuh energi ketika mereka masih berusaha untuk saling mengenal, saling memahami, sampai
kemudian percikan-percikan asmara perlahan mulai timbul.
Performa apik dari Julia Barretto
dan Joshua Garcia (keduanya pernah berkolaborasi dalam Vince and Kath and James (2016) yang cheesy tapi menyenangkan) memungkinkan bagi saya untuk bisa jatuh
hati kepada karakter yang mereka mainkan. Sosok Mika mulanya memang tampak
menyebalkan dengan segala kemarahannya, tapi kita bisa mengerti darimana
munculnya ledakan-ledakan tak perlu itu. Sedangkan Caloy, dia sudah diposisikan
sebagai pencair bagi Mika dengan segala tingkah polahnya yang menenangkan nan
menyenangkan meski ada luka yang dipendamnya dalam-dalam. Keduanya mendapat
penulisan karakter yang menarik dari Jadaone – ya, dia menggarap skenarionya
sendiri – dan dialog-dialog yang menyertainya pun tak kalah apik. Perbincangan antara
dua protagonis di Love You to the Stars
and Back dimulai dari pertengkaran remeh temeh yang mungkin tidak pernah terlintas
di pikirkanmu sebelumnya. Berpegang pada konsep “nothing is impossible”, Mika percaya bahwa kerbau dapat memakan
manusia dan Caloy berusaha mendebatnya. Alih-alih menerima cara pandang satu
sama lain, perdebatan ini lantas melibatkan seorang pejalan kaki yang memantik
momen lucu nan heboh. Sembari “memelihara” seekor ayam, topik obrolan dalam perjalanan
panjang dua tokoh ini secara perlahan tapi pasti mengalami eskalasi ke arah
lebih serius. Utamanya selepas keduanya mengetahui bahwa mereka dipersatukan
oleh kematian dalam perjalanan ini. Si cewek ingin mengakhiri hidupnya, dan si
cowok ingin mendayagunakan sisa umurnya yang pendek semaksimal mungkin.
Tentu saja, mengingat
bagaimanapun juga Love You to the Stars
and Back berada dibawah payung romansa, film tak luput dari momen-momen manis
yang menggemaskan (seperti saya singgung di paragraf awal). Itu muncul melalui
percakapan Mika-Caloy dimana ada kalanya disisipi godaan-godaan kecil dari
Caloy yang bikin Mika salah tingkah. Begitu juga dengan penonton. Ikatan kimia
yang kuat diantara keduanya dapat memunculkan keyakinan bahwa rasa sayang dan
peduli memang sudah muncul, sehingga menyaksikan dua karakter ini menghabiskan
waktu bersama-sama jelas terasa menyenangkan. Kita ikut terbahak bersama
mereka, kita ikut bersemangat bersama mereka, dan kita pun ikut menyeka air
mata bersama mereka. Saking senengnya, saya sampai berharap durasi tak
buru-buru selesai karena masih ada keinginan untuk mendengar dua sejoli ini bercakap-cakap
soal masa depan, kehidupan, dan cinta seraya saling goda satu sama lain. Ciamik!
(Bisa ditonton secara legal di iflix)
(Bisa ditonton secara legal di iflix)
Outstanding (4/5)
agen togel terbaik
ReplyDeleteagen slot terbaik
bandar togel
bandar slot terpercaya
pragmatik slot
Thanks great posst
ReplyDelete