“Richard Jewell is an innocent man. He’s a hero.”
Difitnah oleh mantan sahabat
sendiri yang nggak punya kekuatan hukum saja sudah bikin hidup jungkir balik. Lalu
coba bayangkan bagaimana rasanya kalau yang mengeluarkan tuduhan tak berdasar
tersebut adalah dua pihak yang memiliki pengaruh sangat besar bagi publik? Dalam
konteks ini, pemerintah dan media. Rasa-rasanya semua bisa sepakat, “bagai hidup di neraka” adalah jawabnya.
Ruang privasi diterabas sehingga tidak ada kesempatan untuk berjalan-jalan
santai bersama anjing peliharaan, impian yang sudah dibangun tinggi-tinggi
mesti ditinjau ulang, dan kebahagiaan yang tersisa jelas sirna lantaran waktu
beserta tenaga sepenuhnya difokuskan guna mencari solusi untuk membersihkan
nama. Seolah keadaan belum cukup buruk, kita pun akan mulai bertanya-tanya, “siapa kawan dan pihak keluarga yang masih
bisa dipercaya?” Pedih, sungguh pedih. Sampai pada titik ini kamu mungkin
mengira, situasi ajaib tersebut hanya mungkin terjadi di film thriller
konspirasi buatan Hollywood. Dan memang benar, ini adalah konflik utama yang
menggerakkan narasi dalam Richard Jewell
yang merupakan karya ke-38 dari Opa Clint Eastwood. Tapi satu hal yang membedakannya
dengan tontonan berplot sejenis, permasalahan dalam film ini beranjak dari
artikel di Vanity Fair bertajuk “American
Nightmare: The Ballad of Richard Jewell” beserta buku berjudul “The Suspect: An Olympic Bombing, the FBI,
the Media, and Richard Jewell, the Man Caught in the Middle” yang berada di
jalur nonfiksi. Itu artinya, apa yang dialami oleh si karakter utama merupakan
satu pengalaman nyata yang memang pernah berlangsung di masa lampau.
Karakter utama yang dimaksud
disini merujuk pada pria berusia 30 tahunan bernama Richard Jewell (Paul Walter
Hauser) yang sedari muda bermimpi menjadi aparat kepolisian. Memiliki pengetahuan
yang mumpuni soal penegakan hukum, sayangnya mimpi Richard terjegal oleh postur
tubuhnya yang tambun. Alhasil, dia harus berpuas diri menjalani profesi sebagai
petugas sekuriti yang ternyata kerap sulit dipertahankannya. Persoalannya adalah,
atasan Richard sering mendapat komplain lantaran si pegawai dianggap melewati
batas dengan bertindak selayaknya polisi betulan. Terus berpindah-pindah pekerjaan
di bidang keamanan dari satu ke yang lain, protagonis kita ini lantas
mendapatkan posisi sebagai petugas sekuriti di Olimpiade Atlanta 1996. Secara spesifik,
dia bertugas di Taman Centennial dimana gelaran hiburan berupa konser musik diadakan.
Kehidupan Richard yang monoton – dia juga sering dianggap sebelah mata – tiba-tiba
berubah secara drastis ketika dia menemukan sebuah tas ransel berisi bom. Berkat
penemuan dan kesigapannya untuk mengevakuasi pengunjung, ledakan bom tak
menelan banyak korban jiwa. Dalam satu malam, nama Richard Jewell bersinomim
erat dengan kata pahlawan. Dia dielu-elukan oleh media seantero Amerika sampai
kemudian harian The Atlanta Journal-Consitution merilis sebuah laporan mengejutkan:
Richard adalah pelaku pengeboman. Puja-puji seketika lenyap, digantikan oleh
invasi privasi dari FBI dan media yang senantiasa mengerumuni serta ancaman
hukuman mati. Demi membebaskan dirinya, Richard tak memiliki pilihan selain meminta
bantuan kepada kenalan lamanya, Watson Bryant (Sam Rockwell), untuk menjadi
pengacaranya.
Richard Jewell jelas punya
sepenggal fase hidup yang ajaib. Oleh Clint Eastwood, kisahnya ini dinarasikan
dengan penuh sensitivitas yang akan membuatmu mencecap beragam emosi di
sepanjang durasi. Rasanya ingin memberi pelukan kepada si karakter tituler,
rasanya ingin melayangkan sumpah serapah kepada agen FBI bernama Tom Shaw (Jon
Hamm) dan seorang reporter bernama Kathy Scruggs (Olivia Wilde) yang telah
menempatkan Richard dalam posisi serba tak menguntungkan. Disajikan dalam laju
pengisahan bertempo dinamis, Richard
Jewell pun tiada mengalami kesulitan untuk menjerat atensi sedari mula terlebih
sang sutradara terus meningkatkan intensitas secara perlahan tapi pasti. Dalam 30
menit pertama, penonton diberi pemahaman terlebih dahulu mengenai karakteristik
berikut kehidupan pribadi si tokoh utama yang sejatinya biasa-biasa saja. Dia hanyalah
pemuda lugu yang berambisi menjadi polisi, sekalipun keadaan enggan berpihak
kepadanya. Terkadang perangainya memang agak mengesalkan dan terkesan cari
perhatian sehingga kita bisa paham mengapa beberapa pihak bisa mengecapnya
secara cepat sebagai teroris. Tapi interaksi hangatnya bersama sang ibu, Bobi
(Kathy Bates), membuat kita yakin bahwa dia hanya ingin membanggakan orang
terkasih dalam hidupnya. Membuat kita percaya, tiada motif terselubung dalam
tindak tanduknya. Usai babak perkenalan yang menyelipkan tawa disana-sini lewat
jalan pemikiran si tokoh utama – well,
dia agak telmi – film mulai benar-benar mencengkram kala ledakan bom di Taman
Centennial menciptakan kekacauan ditengah-tengah berlangsungnya konser musik
yang padat penonton.
Ketimbang mengajak penonton untuk
mempertanyakan “siapa yang sebenarnya
bertanggungjawab atas ledakan ini?” seperti para “villain” dalam Richard
Jewell, Eastwood justru membuat diri ini bertanya-tanya mengenai nasib si
karakter tituler. Bukan semata-mata karena dilandasi keingintahuan mengenai “keistimewaan”
sang tokoh sampai-sampai sutradara kenamaan berkenan memfilmkan kisah hidupnya,
tapi juga berkat adanya simpati yang tersemat kepada Richard. Penulisan karakter
oleh Billy Ray selaku penggagas skrip, pendeskripsian melalui bahasa audio
visual oleh si pembuat film, serta olah akting menakjubkan dari Paul Walter
Hauser (ndilalah, secara fisik pun
mirip) memungkinkan sosok Richard Jewell untuk bereinkarnasi di layar. Tidak
ada yang bisa kita lakukan, kecuali berharap karakter ini mendapatkan keadilan
secara semestinya. Disamping terjerat oleh Richard, kita juga akan bersimpati
kepada Watson yang menaruh kepercayaan penuh pada kliennya meski kebohongan
demi kebohongan yang ditutupinya kian mempersulit keadaan, dan Bobi sebagai emak-emak
yang mencak-mencak karena tupperware miliknya digondol seorang ibu penyayang
yang tak tega menyaksikan putranya didzalimi oleh para raksasa haus
kepentingan. Kedua karakter ini diperagakan secara gemilang oleh Sam Rockwell
yang menyusupkan humor menggelitik dalam setiap celetukannya, serta Kathy Bates
yang terlihat begitu nelangsa. Dari mereka, kita mendapati momen emas dalam Richard Jewell (selain adegan ledakan
yang menegangkan) seperti percakapan di ruang tamu yang disadap, konferensi
media dimana Bobi meminta belas kasihan pada presiden, dan pernyataan puncak
penuh kemarahan dari Richard yang membuat hamba seketika bertepuk tangan penuh
kebanggaan.
Saya harus mengatakan, titik
balik ini memberikan kepuasan lantaran saya agak-agak gedeg dengan sikap Richard yang kelewat kooperatif. Kekagumannya pada
aparat penegak hukum dan keinginannya untuk mendapatkan hati dari mereka
membuatnya rela diperdaya oleh Tom Shaw. Satu karakter jahat di Richard Jewell yang akan membuatmu ingin
menjejalkan es batu ke mulutnya. Motivasi karakternya jelas, dia dikuasai
amarah dan kekecewaan karena banyak orang terluka dibawah pengawasannya. Kathy
Scruggs yang ambisius juga punya alasan logis atas kenekatannya mempublikasikan
berita yang belum diverifikasi oleh FBI: posisinya sebagai jurnalis perempuan
menyulitkannya untuk berkembang. Seperti halnya Richard, Kathy juga ingin
mendapat pengakuan di lingkungan kerjanya yang seksis. Baik Tom maupun Kathy sejatinya
punya modal untuk diberi simpati selaiknya kubu Richard apabila mereka memiliki
bukti kuat atas tuduhan-tuduhan yang dilayangkan. Kenyataannya, mereka menyerang
berdasarkan hipotesis cocoklogi tanpa pernah berupaya untuk menginvestigasi
secara mendalam dan menyalahgunakan kekuatan institusi yang menaungi mereka
untuk melumpuhkan si karakter utama. Itulah mengapa saya bisa begitu marah
menyaksikan Richard Jewell selain dibuat
tertawa, tegang, tersentuh, sesak, sekaligus bangga. Sungguh, ini adalah sajian
biopik yang powerful dan salah satu yang
terbaik.
(Bisa ditonton di Catchplay+)
Outstanding (4/5)
Awaknya kesel juga dgn sifat Richat yg sabar banget ngahadapi 2 FbI itu,, tapi pas adegan akhir asli buat merinding, ada rasa bangga didiri nya. Ternyata dia itu berhati baik banget, pertanyaan dan jawaban yg di berikan ke 2 FBI di ending sunggu menancap hati ☺️
ReplyDeleteIya. Ibunya saja sampai marah marah ngeliat anaknya yang terkesan belain FBI terus. Dia memang punya cara yang berbeda dan unik dalam menanggapi persoalan. Berasa selow banget.
Deletebandar judi online
ReplyDeletesitus judi online
situs togel online
togel online terpercaya
bandar togel terpercaya