Pages

July 2, 2020

REVIEW : LITTLE FIRES EVERYWHERE (MINISERIES)


“All mother’s struggle, money hides it. But you can’t put a price on a mother’s love.”

Seorang perempuan berdiri terpaku di pinggir jalan, menyaksikan rumah gedongannya habis dilalap si jago merah. Saking terguncangnya, dia tidak bisa lagi meluapkan segala emosinya dan hanya bisa terdiam dengan tatapan mata kosong. Bukan ludesnya harta benda yang menggelisahkannya, bukan pula ketiadaan tempat untuk bernaung. Melainkan fakta bahwa ada orang lain yang membakar rumahnya kala dia sedang berada di dalam. Seperti halnya si perempuan dan seorang polisi yang menanyainya demi memperoleh keterangan, penonton pun ikut bertanya-tanya, “siapa yang nekat melakukan semua ini dan mengapa?.” Beginilah cara Little Fires Everywhere yang didasarkan pada novel bertajuk sama rekaan Celeste Ng memulai penceritaannya. Seperti halnya serial Big Little Lies yang juga dibintangi sekaligus diproduseri oleh Reese Witherspoon, penonton disodori secuplik adegan pamungkas yang memberikan sinyal bahwa sesuatu yang besar, berbahaya, serta mengerikan akan segera terjadi. Cara ini mesti diakui efektif dalam membangkitkan ketertarikan terhadap Little Fires Everywhere yang dibentangkan menjadi miniseri sejumlah 8 episode. Sebagai seseorang yang tidak pernah membaca materi sumbernya, saya jelas dilingkupi kepenasaran dan sama sekali buta mengenai latar belakang yang mendorong peristiwa kebakaran tersebut. Meski pengupasannya tak semenggigit Big Little Lies yang setiap episodenya kian menggila (begitu juga dengan pemain ansambelnya!), miniseri kepunyaan Hulu ini masih mempunyai cukup amunisi untuk membuatmu tetap bertahan hingga garis akhir demi memperoleh jawaban atas segala misteri yang melingkungi.

Perempuan yang dimaksud di paragraf pembuka adalah Elena Richardson (Reese Witherspoon), seorang jurnalis, pemilik rumah kontrakan, sekaligus ibu dari empat orang anak. Di mata orang yang tidak mengenal pribadinya dengan baik, Elena tampak memiliki kehidupan yang sempurna. Suaminya, Bill (Joshua Jackson), merupakan pengacara sukses sementara anak-anaknya memiliki prestasi mengagumkan di sekolah. Well, kecuali si bungsu, Izzy (Megan Stott), yang enggan menuruti setiap permintaan ibunya yang dinilainya lebih mementingkan citra pribadi ketimbang kemauan sang anak. Tapi karena ada “upaya pembunuhan” di permulaan cerita dan imaji kesempurnaan dalam media seringkali kontradiktif dengan kenyataan, pemikiran hamba tentu sudah dibentuk untuk tidak memercayai Elena. Mudahnya sih, too good to be true. Benar saja, saat seorang single mother berkulit hitam, Mia Warren (Kerry Washington), tiba di Shaker Heights – latar utama dari miniseri ini – bersama putri tunggalnya, Pearl (Lexi Underwood), Elena seketika terobsesi dengannya dan ingin berkawan baik dengannya. Mulai dari memberi harga murah pada rumah kontrakannya sampai menawarinya pekerjaan sebagai “household manager” yang tidak lain adalah bahasa keren untuk ART. Mia yang memiliki misi kedatangan misterius ini menanggapinya secara dingin, sedangkan Elena justru kelewat ramah yang mau tidak mau mengundang kecurigaan mengenai intensi terselubungnya. Bill mempertanyakannya, begitu juga anak-anaknya. Elena sendiri kekeuh, intensinya hanyalah ingin menebar kebaikan kepada sesama. Namun usai sedikit demi sedikit rahasia tersibak, kita pun tersadar bahwa setiap karakter disini tidaklah sebersih yang diperkirakan.  



Ya, tidak ada karakter yang sepenuhnya mulia dalam Little Fires Everywhere, bahkan mereka yang mulanya tampak seperti malaikat ditengah kepungan iblis. Di satu sisi, pembentukan karakteristik yang berada di area abu-abu memungkinkan bagi miniseri untuk mencengkram atensi. Saya menantikan momen pembalasan, saya menantikan pula momen penebusan yang menjadi titik balik bagi setiap tokoh. Namun di sisi lain, ini membuat hamba lelah secara emosi. Satu dua karakter ngeselin saja sudah bikin darah mendidih, lha ini… nyaris semuanya memiliki momen yang bikin kita ingin menenggelamkan mereka di Samudra Atlantik! Tak sedikitpun diri ini mengantisipasi akan dibuat mara-mara sepanjang seri. Padahal beberapa waktu lalu, hamba sempat menolak untuk menonton drakor pelakor yang sedang hits itu lantaran seorang kawan mengungkap seberapa tinggi “level nyebelinnya”. Ternyata oh ternyata, sekarang terkena batunya. Sosok yang paling berjasa mengajak saya mengelus dada berulang kali adalah Elena yang sama sekali jauh dari kesan mulia seperti diperlihatkan di episode perdana. Sepintas lalu, karakter ini tampak serupa dengan Madeline di Big Little Lies yang ndilalah juga diperankan oleh Reese Witherspoon. Keduanya perfeksionis, ramah, serta menaruh kepedulian yang tinggi kepada anak-anaknya. Yang kemudian membedakan dua tokoh ini adalah perangai asli yang tersembunyi. Dibalik citra Elena yang anggun – Madeline lebih terlihat kasar karena celetukan ceplas ceplosnya – ada sosok mengerikan yang menolak tinggal diam tatkala “misinya” diinvasi. Dalam perspektif si tokoh, dunia mengelilingi dirinya sehingga Elena akan seringkali memainkan peran sebagai pahlawan/korban di setiap konflik tanpa pernah berupaya menyadari bahwa sumber permasalahannya berasal darinya. Tidak heran kan jika kemudian ada yang berniat membunuhnya?

Di episode-episode awal, Elena dideskripsikan sebagai white savior yang berjasa menyelamatkan Mia dari himpitan finansial. Dia memberinya tempat tinggal dengan harga terjangkau, lalu dia memberinya penghasilan tambahan diluar pekerjaannya sebagai seniman dan pelayan paruh waktu. Dari sini sang kreator ingin melontarkan topik terkait rasisme dimana Elena sebagai perempuan kulit putih yang kaya (dan penuh privilege) merasa telah bertindak mulia dengan membantu Mia yang notabene kulit hitam, meski tindakannya ini sejatinya mendefinisikan kata “rasis”. Demi menguji persepsi penonton, sosok Mia pun ditampilkan penuh misteri yang membuat kita melontarkan tanya, “apa yang sebenarnya disembunyikan olehnya?,” serta dirundung kecurigaan kepada karakternya yang mau tak mau mengajak kita mempertanyakan tentang rasisme itu sendiri. Apakah kita mencurigainya semata-mata karena seri ini menempatkannya demikian atau ada keterkaitannya dengan ras? Prasangka lantas menjadi topik pembicaraan kedua yang dikedepankan oleh Little Fires Everywhere, disusul oleh parenting dengan materi utama “menjadi ibu yang baik”. Dua topik ini mencuat menyusul hadirnya karakter penting lain dalam wujud seorang imigran gelap asal Cina, Bebe Chow (Huang Lu), yang memperuncing intrik diantara Elena dan Mia. Dua ibu dari kelas sosial ekonomi yang bertentangan. Dari perkara adopsi bayi yang melibatkan Bebe, kita menyaksikan bagaimana dua karakter tersebut memandangnya menggunakan kacamata berbeda. Walau penonton cenderung didorong untuk berpihak kepada Mia lantaran Elena adalah kaum ber-privilege yang minim kepekaan, subplot ini menghadirkan kompleksitas tersendiri yang memosisikan dua belah pihak diluar hitam dan putih. Mereka sama-sama abu-abu. Terdapat satu episode khusus – yang jujur saja agak melelahkan karena sepenuhnya kilas balik – dimana kita bisa mempelajari tentang masa lalu dari dua karakter kunci, dan memafhumi tindakan-tindakan mereka meski tidak lantas membenarkannya. 
   


Olahan narasinya yang asyik ini adalah satu alasan mengapa hamba bisa menuntaskan Little Fires Everywhere dalam dua hari, selain performa jajaran pemainnya yang mengagumkan. Reese Witherspoon menjelma sebagai iblis manipulatif yang akan membuatmu mengeluarkan segala sumpah serapah kepada Elena, sedangkan Kerry Washington tampil begitu depresif sekaligus simpatik sampai-sampai saya juga geram bukan kepalang di satu titik karena Pearl sempat menghardik Mia dan memuja-muja Elena. Dasar anak durhaka! Tenggelam saja kau sana dengan ibu pujaanmu itu di Samudra Atlantik! Kzl. Mesti diakui, Lexi Underwood mencuri perhatian sebagai remaja yang mencari jati diri dengan chemistry meyakinkan yang dibentuknya bersama Washington. Pemain remaja lain yang patut pula mendapat kredit adalah pendatang baru Megan Stott yang menunjukkan penolakan kepada Elena secara terang-terangan. Celetukannya tak saja cerdas, tetapi juga nyelekit sehingga tak jarang saya sampai terbahak-bahak melihat caranya menghadapi sikap otoriter sang ibu. Bersama dengan Mia, Izzy mempersembahkan momen emosional yang mengundang cucuran air mata. Dia adalah karakter yang akan saya beri pelukan hangat secara sukarela, alih-alih saya harapkan untuk tenggelam atau terbakar seperti karakter-karakter lain dalam miniseri ini. Percayalah, walau saya hanya menyinggung soal betapa menjengkelkannya Elena dan Pearl, masih ada komplotan lain yang menguji kesabaran di Little Fires Everywhere yang tidak saya sarankan untuk ditonton apabila kondisi mentalmu sedang tak bersahabat.

Bisa ditonton di Prime Video   

Outstanding (4/5) 


2 comments:

  1. pg lava909 สล็อตบนมือถือ เล่นได้ทุกที่ ทุกเวลา ความสนุกสนานแบบพกพา การเล่น สล็อต ในยุคปัจจุบันไม่จำกัดเพียงแค่ที่บ้านหรือในคาสิโนเท่านั้น ด้วยเทคโนโลยีที่ทันสมัยเข้าถึงทุกที่ทุกเวลา

    ReplyDelete