Pages

August 15, 2020

REVIEW : WAITING FOR THE BARBARIANS


“Pain is truth, that is how you get it.”

Waiting for the Barbarians memiliki sederet amunisi yang memungkinkannya untuk menjelma sebagai sajian mengikat berkualitas tinggi: materi sumbernya adalah novel pemenang penghargaan, sang penulis novel diganjar penghargaan Nobel di tahun 2003 untuk kategori sastra, sutradara yang menangani adaptasinya telah menghantarkan film sebelumnya untuk berkompetisi di Oscar, dan jajaran pemainnya pun memiliki ikatan kuat dengan piala pria telanjang berlapis emas tersebut. Mudahnya, apa yang mungkin salah? Terlebih lagi, topik pembicaraan yang diajukan oleh Waiting for the Barbarians juga terasa relevan dan universal untuk berbagai zaman maupun kebudayaan lantaran mempergunjingkan soal tabiat asli manusia dalam menyikapi persoalan. Melalui film – serta tentunya versi novel yang ditulis oleh J. M. Coetzee dari Afrika Selatan – persoalan tersebut diwujudkan sebagai peperangan. Bukan peperangan yang dipantik oleh gesekan-gesekan atau pertentangan ideologi, melainkan miskomunikasi antar budaya dimana salah satu pihak memandang pihak lain sebagai musuh lantaran ketidaktahuan terhadap kultur yang dianut. Mereka dianggap memiliki pandangan berbeda yang salah, dan mereka terlihat mengancam sistem beserta kepercayaan yang diyakini. Oleh karena itu, tidak ada langkah paling tepat untuk “melindungi” diri ketimbang memerangi pihak musuh lalu memberangus habis mereka. Terdengar familiar, bukan?

Guna melontarkan topik pembicaraan yang berpotensi memantik diskusi ini, Waiting for the Barbarians membawa kita ke suatu area yang tak pernah diabadikan oleh peta. Suatu area yang karakter geografisnya tampak seperti Timur Tengah, tapi memiliki penduduk asli yang menyiratkan penonton ke Asia Tengah. Dan memang, film yang melakukan pengambilan gambar di Maroko beserta Italia ini tak pernah secara spesifik menyebutkan latarnya. Satu-satunya yang kita ketahui adalah musim yang lantas dipergunakan oleh film sebagai penanda pergantian babak. Semuanya dimulai dari musim panas yang memperkenalkan penonton dengan seorang magistrat tanpa nama (Mark Rylance) dan Kolonel Joll (Johnny Depp). Sang magistrat yang diposisikan sebagai protagonis utama memiliki tugas untuk mengawasi penduduk dari sebuah desa yang tengah diduduki oleh satu kerajaan dari Eropa. Meski secara teknis dirinya adalah bagian dari penjajah, magistrat berupaya sebisa mungkin membangun hubungan baik dengan warga lokal. Dia mempelajari bahasa dan kebudayaan mereka, dia pun enggan memberlakukan hukuman dalam bentuk kekerasan fisik. Keinginannya untuk menciptakan kedamaian ini lantas terusik setelah Kolonel Joll menerapkan pendekatan yang sama sekali bertolak belakang. Joll yang memperoleh informasi bahwa area ini akan diserang oleh orang-orang barbar (sebutan untuk kaum nomaden), tak segan-segan untuk menyiksa orang yang dicurigainya.

Pertentangan sudut pandang antara magistrat dengan Joll inilah yang kemudian menggulirkan narasi Waiting for the Barbarians. Sang magistrat meyakini cara terbaik untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan memperlakukan kaum nomaden selaiknya manusia, sementara Joll yang percaya peperangan berada di depan mata justru melihat sikap magistrat ini kelewat lembek. Menurut pandangan Joll, kebenaran hanya akan terungkap melalui penyiksaan yang divalidasi oleh pengalamannya sebagai komandan pasukan rezim kolonial selama bertahun-tahun. Melalui karakteristik Joll, penonton dihadapkan pada perenungan. Siapa yang sejatinya lebih layak menyandang sebutan “bar-bar” di sini? Kaum nomaden atau Joll berikut pasukannya? Waiting for the Barbarians sendiri tak pernah memperlihatkan keberingasan kaum nomaden, kecuali pada satu titik dimana genderang perang telah ditabuh untuk mereka. Apa yang dinilai sebagai tindakan keji oleh pemerintah kolonial, sejatinya tak lebih dari upaya mereka untuk bertahan hidup seperti mencuri hewan ternak demi menebus obat. Pada dasarnya, ancaman yang terus menerus dikumandangkan bukanlah sesuatu yang nyata dan merupakan bagian dari trik untuk menjustifikasi tindakan keji dari para prajurit. Agar penduduk lokal memercayai ada bahaya mengintai, agar kerajaan memiliki alasan untuk melakukan pembantaian, dan pada akhirnya, agar kerajaan mengantongi kekuasaan yang telah sedari awal diincar.

Perbincangan-perbincangan ini diimplementasikan oleh sang sutradara, Ciro Guerra (Embrace of the Serpent, Birds of Passage), ke dalam sajian yang mengalun perlahan dengan nada kontemplatif. Tentu bukan tontonan yang mudah untuk dikonsumsi, menilik minimnya momen dramatik meletup-letup dan adanya rentetan adegan penyiksaan yang divisualisasikan secara gamblang. Tapi jika kamu memiliki kesabaran, Waiting for the Barbarians akan menghadiahimu dengan dua hadiah: 1) hamparan visual yang mengagumkan dari sinematografer Chris Menges yang membingkai padang pasir secara indah sekaligus menguarkan aura terpencil pada desa, serta 2) performa prima dari para pelakonnya. Mesti diakui, akting pemain merupakan detak jantung yang memberikan nyawa bagi Waiting for the Barbarians. Mark Rylance tampil simpatik sebagai magistrat yang berupaya menegakkan keadilan ditengah tekanan sistem yang menghendakinya untuk bersikap sebaliknya, Johnny Depp dengan penampilan bak karakter dari filmnya Tim Burton (kacamatanya itu lho!) muncul mengerikan sebagai seorang kolonel yang keji, sementara Robert Pattinson yang baru nongol di 30 menit terakhir pun tak kalah bengisnya sebagai bawahan Kolonel Joll. Bahkan beberapa nama lain yang tak sebesar tiga aktor ini juga layak mendapatkan kredit khusus, seperti Gana Bayarsaikhan yang memunculkan belas kasih penonton terhadap karakternya yang dijadikan tahanan perang, Greta Scacchi yang memberi keteduhan ditengah panasnya sengatan matahari dan konflik, serta Harry Melling yang dihadapkan pada dilema antara tunduk pada perintah atau menuruti kata hati.

Exceeds Expectations (3,5/5)

*Saat ini Waiting for the Barbarians ditayangkan secara eksklusif di Mola TV. Kalian bisa menontonnya dengan mendaftar dan membayar paket langganan sebesar Rp. 12.500/30 hari.*

=

5 comments: