Pages

October 5, 2020

REVIEW : BUCIN (WHIPPED)

“Kesabaran merupakan kunci dari hubungan yang baik.”

Kamu tidak akan menemukan makna “bucin” di KBBI. Konon, ini adalah akronim dari budak cinta yang dipopulerkan pertama kali oleh duo Youtuber kondang, Jovial dan Andovi da Lopez. Bahasa prokem tersebut disematkan oleh keduanya untuk orang-orang yang kelewat tunduk kepada pasangannya dengan dalih bersikap romantis atau “aku mencintainya sepenuh hati”. Alhasil, mereka pun rela melakukan apa saja demi sang pasangan sampai-sampai mengesampingkan logika dan hati. Sungguh menyedihkan. Berhubung istilah ini masih kerap digunakan oleh muda-mudi masa kini, bahkan sebetulnya sangat relevan dengan problematika percintaan banyak orang, Jovial pun tercetus satu ide untuk memonetisasinya lebih lanjut. Bagaimana kalau istilah ini dikembangkan menjadi sebuah cerita panjang? Lebih-lebih, teman baiknya sesama Youtuber, Chandra Liow, sedang membutuhkan skrip film untuk debut penyutradaraannya usai mencicipi karir akting yang tergolong sukses melalui Single (2015) dan Hit & Run (2019). Dari sini, dua content creator yang memutuskan berkolaborasi untuk kesekian kalinya ini lantas menghasilkan film komedi bertajuk Bucin –  atau Whipped untuk peredaran internasional – yang tadinya direncanakan untuk edar di bioskop. Tapi setelah dunia diterpa pandemi Covid-19, film produksi Rapi Films ini pun diserahkan kepada Netflix dan hamba merasa sangat beruntung tidak menyaksikan Bucin di layar lebar.

Dalam Bucin, Jovial da Lopez dan Chandra Liow yang juga ikut bermain di garda terdepan bersama Andovi da Lopez beserta Tommy Limmm berperan sebagai versi fiksi dari diri mereka sendiri. Keempatnya dikisahkan mengikuti kelas anti bucin asuhan seorang pakar cinta bernama Vania (Susan Sameh). Alasannya, Jovi kedarung resah melihat adiknya, Andovi, dibuat tak berdaya oleh sang kekasih, Kirana (Widika Sidmore), yang memanfaatkan ketidaktegasan Andovi untuk memenuhi keinginannya dalam sekejap. Tak hanya Andovi, Tommy dan Jovi pun sejatinya mengalami permasalahan kurang lebih senada dengan pasangan-pasangan mereka. Tommy yang sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Julia (Karina Salim) tak diberi kebebasan untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri, sementara Jovi tak memiliki keberanian untuk berkata jujur kepada Cilla (Kezia Aletheia) mengenai perasaannya yang sebenarnya. Lalu bagaimana dengan Chandra yang seorang jomlo? Well, dia hanya merasa perlu untuk memberi moral support kepada trio bucin ini dengan mengikuti kelas yang sama sekali tidak ada artinya bagi dia. Bahkan, kelas anti bucin pun pada dasarnya urung memberikan dampak signifikan kepada yang lain kecuali memicu konflik diantara empat sekawan ini dan memberi kesempatan bagi Jovi untuk mendapatkan pengganti Cilla.    

Selama menit-menit awal, Bucin sejujurnya tampak menjanjikan untuk diikuti. Entah dari konsep “kelas anti bucin” yang didesain menyerupai permainan escape room atau dari lelucon visual yang coba dikedepankan oleh Chandra Liow. Bahkan, saya pun mengapresiasi akting Karina Salim sebagai Julia dengan gaya bicaranya yang kekanak-kanakkan apalagi ketika doi bermanja-manja ria bersama Tommy. Lucu, menggelikan, sekaligus menggemaskan. Bagi hamba, Karina adalah hal terbaik yang dipunyai oleh Bucin dan bisa membuat diri ini bertahan di saat film menjadi semakin sukar dicerna di menit-menit selanjutnya. Bukan, bukan karena kontennya yang ternyata ndakik-ndakik atau teramat kompleks, melainkan karena gaya bercandanya yang memang tak sesuai selera. Mungkin masih bisa memantik tawa buat penggemar berat sang sutradara. Tapi berdasar sepengamatan saya, guyonannya acapkali meleset dari sasaran yang memungkinkan orkestra jangkrik terdengar begitu nyaring di telinga. Selain kemunculan Julia, sungguh penuh perjuangan hanya untuk mengingat momen-momen apa saja yang dapat menyunggingkan senyum alih-alih bikin manyun. Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan dirinya sebagai komedi, Bucin nyaris tak memiliki kemampuan untuk mengocok perut. Ditambah lagi, kehadiran barisan karakternya sulit sekali diberi simpati. Jika sedari awal betul diniatkan untuk bercerita soal laki-laki lubang pantat yang membuat penontonnya mengelus dada, paling tidak beri mereka latar belakang yang menggugah selera. Beri mereka alasan-alasan pasti yang melandasi tindakan ketimbang sebatas berlindung dibalik dalih “udah ngeselin dari orok.”

Maksud saya, kenapa Andovi sebegitu tidak inginnya kehilangan Kirana sampai bersedia diperlakukan semena-mena bak budak? Mengapa Tommy ngotot ingin membeli mobil baru yang mana bukan kebutuhan primer sedangkan pernikahan sudah di depan mata? Kenapa Jovi tega menyiksa Cilla dalam hubungan penuh ketidakpastian yang sudah terasa amat dingin? Dan mengapa Chandra hanya mondar-mandir sambil sesekali melempar punchline menyebalkan tanpa diberi kontribusi yang jelas pada penceritaan? Why? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkecamuk di benak dan Bucin enggan memberikan jawaban yang memuaskan pada penonton. Padahal ada perpaduan antara kebodohan, egoisme, serta toxic relationship di sini. Pokoknya, mereka tiba-tiba seperti itu dan para perempuan lah penyebabnya. Tidak ada yang salah memang dengan menggunakan sudut pandang lelaki untuk menguliti konflik di film ini. Hanya saja, apa yang kemudian menjadikan Bucin problematis, adalah keputusan si pembuat film untuk mengantagonisasi serta merendahkan martabat para karakter perempuan di sini sedemikian rupa. Momen pengungkapannya dengan bubuhan twist yang diharapkan mengejutkan adalah momen dimana hamba butuh mendengarkan suara hujan demi mencegah munculnya gerutuan-gerutuan non-esensial. Betapa tidak, mereka menggambarkan si villain yang notabene adalah korban sebagai sosok psikopat dan film pun enggan memberi penyelesaian untuk karakter ini. Tiba-tiba lenyap, tiba-tiba kita dihadapkan pada perubahan drastis dari salah satu tokoh kunci yang merupakan “the real villain” dalam Bucin. Tanpa melewati proses, sosoknya mendadak memperoleh hidayah yang diterima begitu saja oleh sang kekasih hanya bermodalkan pernyataan, “cinta itu memaafkan.” Subhanallah, ternyata hamba sedang menyaksikan versi layar lebar dari FTV Pintu Berkah.

Ambisi Jovial beserta Chandra untuk memberi porsi sama rata kepada setiap karakter menjadi salah satu musabab mengapa film menjadi ruwet di belakang. Terlalu banyak tokoh, terlalu banyak konflik yang dijejalkan, tapi terlalu sedikit waktu yang dipergunakan untuk mengentaskan para karakter dari permasalahan masing-masing. Mungkin, hanya mungkin ya, kadar seksisme dalam Bucin akan sedikit berkurang apabila fokus pengisahan hanya pada satu karakter sehingga ada kesempatan untuk mengeksplorasi permasalahan yang diajukan termasuk memberinya latar belakang dan penyelesaian yang masuk akal. Ya beginilah Bun pentingnya menetapkan prioritas agar tidak kewalahan sendiri.

Bisa ditonton di Netflix

Poor (2/5)

3 comments:

  1. permainan poker dengan pelayanan CS yang ramah dan terbaik hanya di IONQQ :D
    WA: +855 1537 3217

    ReplyDelete
  2. EvoTogel adalah situs GAME TOTO Online terlengkap aman dan terpercaya dengan server kualitas terbaik dan tercepat tanpa admin ataupun robot yang ikut bermain bonus kemenangan nyata ratusan juta

    ReplyDelete