Pages

October 2, 2020

REVIEW : GURU GURU GOKIL

“Di dunia ini, gue paling suka uang.”

Guru Guru Gokil adalah salah satu film Indonesia yang hamba nanti-nantikan kehadirannya di awal tahun ini. Alasannya sederhana saja, Dian Sastrowardoyo tidak pernah mengecewakan saat diminta untuk ngebanyol. Keputusannya untuk turut menduduki kursi produser, kian menguatkan ekspektasi mengingat Mbak Dian terhitung sebagai aktris yang selektif dalam memilih konten. Mudahnya, film ini tidak akan main-main secara kualitas penggarapan. Bahkan saat pandemi Covid-19 kian meluas yang menyebabkan jaringan bioskop di Indonesia berhenti beroperasi untuk sementara waktu, film garapan Sammaria Simanjuntak (Demi Ucok, Cin(t)a) ini dipinang oleh raksasa streaming Netflix dan memperoleh kesempatan untuk diedarkan secara luas ke seluruh dunia dengan banderol “Netflix Original”. Itu artinya, ini adalah film Indonesia kedua yang mendapat kehormatan tersebut usai The Night Comes for Us (2018). Belum apa-apa, sudah terdengar menggiurkan, to? Terlebih materi yang diusung sejatinya memang menggiurkan yakni seputar sepak terjang para pahlawan tanpa tanda jasa yang dihidangkan menggunakan pendekatan komedi. Sepintas lalu, film ini punya komposisi yang terlihat tidak mungkin salah di atas kertas. Ditambah kehadiran Gading Marten yang dikenal luwes kala ngelaba di garda terdepan pemain, Guru Guru Gokil seolah menjanjikan sajian komedi lucu nan menginspirasi yang ternyata oh ternyata… tidak pernah terealisasi.

Karakter utama yang menggerakkan poros penceritaan adalah Taat Pribadi (Gading Marten). Seorang pria dari suatu desa yang memilih untuk mengadu nasib di Jakarta lantaran tidak ingin dibayang-bayangi oleh nama besar sang ayah, Pak Purnama (Arswendy Bening Swara). Apalagi, sebagai seseorang yang memproklamirkan dirinya sebagai pecinta uang, kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah pun jauh lebih besar di ibukota. Hanya saja, setelah berjibaku dengan beragam profesi selama bertahun-tahun, kondisi finansial Taat tidak kunjung membaik yang kemudian mendorongnya untuk kembali ke kampung halaman. Di desa, satu-satunya pekerjaan yang tersedia untuknya adalah menjadi guru pengganti di sebuah sekolah tempat ayahnya mengajar. Bagi Taat, menjalani pekerjaan ini bak musibah karena: 1) dia benci guru, dan 2) dia semakin dekat dengan sang ayah yang selama ini dihindarinya. Tapi berhubung tak ada pilihan lain, apa yang bisa dilakukannya? Toh masih ada Bu Rahayu (Faradina Mufti), guru serbabisa yang kerasnya minta ampun, sebagai obat pelipur lara. Di tengah upaya si protagonis dalam mencari uang sekaligus memenangkan cintanya ini, sebuah perampokan terjadi dan menguras habis gaji para guru. Tak ingin uang yang didambakannya menghilang begitu saja, Taat pun merancang misi mengambil alih gaji yang dirampok dari mafia setempat bersama guru-guru lain seperti Pak Manul (Boris Bokir), Bu Nirmala (Dian Sastro), serta tentunya, Bu Rahayu.   

Tampak menarik? Ya, jika Guru Guru Gokil mampu meletakkan fokusnya di salah satu titik tanpa harus bercabang kesana kemari. Masalahnya, film mempunyai banyak sekali intrik yang telah ditetapkan dari awal seperti relasi Taat dengan sang ayah yang dingin, Taat yang menjalani pekerjaannya dengan keterpaksaan, hubungan percintaan Taat bersama Bu Rahayu, sampai kritik sosial terkait nasib guru di Indonesia yang jauh dari sejahtera. Naskah gubahan Rahabi Mandra seolah hendak membawa penceritaan mengikuti transformasi si tokoh utama dari seseorang yang membenci profesi guru menjadi seorang pria yang menaruh respek tinggi pada pekerjaan mulia ini. Jika saja film bertahan pada plot ini, saya meyakini Guru Guru Gokil akan menggoreskan kesan kuat lantaran telah berani menampilkan realita pahit dari para tenaga pengajar dengan penuh candaan (plus sentilan) disana sini. Akan tetapi, alih-alih bertahan di ranah komedi satir, Sammaria Simanjuntak justru membelokkan kemudi ke ranah komedi kriminal yang penuh kehebohan sampai-sampai pesan yang ingin diutarakan mengabur. Selama sisa durasi, film diisi oleh momen-momen mengatur strategi yang serba mudah, menyergap ke markas besar si penjahat yang (lagi-lagi) serba mudah, lalu diakhiri dengan konfrontasi konyol-konyolan. Tidak terlihat ada pertaruhan yang nyata karena sosok villain-nya sendiri digambarkan kelewat amatir dan karakter Taat tidak pernah berproses secara meyakinkan akibat plot yang ramai sesak. Semuanya berlangsung tiba-tiba, termasuk bagaimana Taat bisa dengan mudah menjalin ikatan kuat dengan murid-muridnya dan bagaimana dia akhirnya bisa berdamai dengan sang ayah.

Alhasil, Guru Guru Gokil menjadi serba tanggung dalam penyampaian emosinya. Adegan yang diharapkan mampu memicu gelak tawa berderai-derai maupun tangis haru pun urung muncul. Padahal potensi-potensinya jelas terlihat dan jajaran pemain kentara telah mengerahkan kemampuan berlakon secara maksimal. Berkat kontribusi akting apik inilah yang membuat Guru Guru Gokil masih bisa untuk setidaknya tampil menghibur. Gading Marten yang berada di zona nyamannya tampil effortless sebagai pemuda slengean yang tidak pernah menganggap serius pekerjaannya karena dia hanya mengincar satu hal: uang. Bersama dengan Faradina Mufti yang memesona dibalik sikap galaknya, mereka membentuk chemistry manis yang memungkinkan interaksi keduanya terasa menyenangkan untuk disimak. Dian Sastro dalam peran sama sekali berbeda adalah scene stealer yang memberikan dorongan pada penonton untuk tersenyum melihatnya, atau malah tertawa. Sementara Asri Welas yang juga diberi kesempatan memainkan peran bertolak belakang dari biasanya malah agak tersia-siakan. Saya pribadi tidak merasa nyaman melihatnya menjajal karakter serius dalam film lucu-lucuan receh seperti ini lantaran dia dengan comic timing-nya yang juara sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk mengatrol momen-momen komedik yang acapkali berlangsung hambar. Sangat disayangkan.

Bisa ditonton di Netflix

Acceptable (2,5/5)  

6 comments:

  1. Twist di ending juga dipaksakan ya, kenapa pula harus ke genre kriminal kenapa gak murni drama komedi perjuangan guru saja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah. Mana elemen kriminalitasnya nggak seru pula.

      Delete
  2. sayang beribu sayang, aku gemes kenapa beloknya tajem banget langsung ke komedi kriminal. Endingnya juga serba tiba2, pas gading sama bapaknya debat di akhir itu. Hubungan ayah-anak yang terasa hambar padahal niatnya buat mengaduk emosi. Sayang bgt..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adegan rekonsiliasi ayah anak itu potensial bikin bercucuran air mata lho. Tapi di sini berasa lewat aja. Gemes banget emang kalau nonton film yang bisa bagus tapi malah ngecewain :(

      Delete
  3. berbagai bonus besar menanti di IONQQ
    ayo di tunggu apa lagi, segera bergabung bersama kami di IONQQ
    WA: +855 1537 3217

    ReplyDelete