Pages

October 1, 2020

REVIEW : MUDIK (2020)

“Mau sampai kapan kita kayak gini? Kamu nggak bisa terus-terusan lari kayak gini.”

Perjalanan pulang kampung saat libur Lebaran seharusnya menjadi momen yang membahagiakan bagi anak rantau. Bisa melepas rindu dengan tanah kelahiran, bisa memeluk hangat orang tua, dan bisa bersenda gurau dengan saudara-saudara kandung. Meski obrolan basa-basi kala halal bi halal seringkali bikin capek hati, tapi hidangan khas beserta acara kumpul-kumpulnya dengan keluarga yang mungkin jarang ditemui itu ngangenin. Tentu dengan catatan, tidak ada perang dingin yang tengah bergelora. Apabila ada masalah besar yang titik terangnya belum kunjung terlihat, mudik pun serasa perjalanan menuju neraka. Menyiksa jiwa dan raga. Tengok saja pasangan suami istri, Firman (Ibnu Jamil) dan Aida (Putri Ayudya), yang selama perjalanan menuju ke kampung halaman tak pernah sekalipun terlihat cerah ceria berseri-seri. Mereka enggan untuk saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain karena mereka sama-sama tahu, membuka mulut sama artinya dengan memulai medan pertempuran. Alhasil, penonton Mudik atau Homecoming arahan Adriyanto Dewo (Tabula Rasa) pun ikut menyusuri rute Jakarta-Jogja dengan perasaan yang tidak mengenakkan lantaran Firman dan Aida adalah karakter sentral dalam film ini. Alih-alih menunggangi pesawat terbang atau kereta api yang bisa memangkas waktu tempuh secara signifikan, keduanya justru memilih untuk mengendarai mobil pribadi yang menjadikan 8 jam seperti selamanya.

Penonton tidak dibiarkan tahu begitu saja mengenai persoalan yang sedang dihadapi oleh pasangan ini. Melalui tukar dialog yang amat minim dan mimik muka para karakternya, kita hanya mendapati informasi bahwa ada masalah besar dalam rumah tangga mereka yang besar kemungkinan dipicu oleh Firman. Karakter ini diperlihatkan tampak menyimpan sesuatu sedari mula. Bahkan, kita mendapatinya berbohong mengenai dering telepon kepada sang istri kala dirinya dijemput di bandara. Selagi mengikuti perjalanan keduanya yang acapkali diisi oleh keheningan, dengan sesekali diselingi oleh adu mulut, pemirsa dibawa menerka-nerka: ada apa sebetulnya? Oleh si pembuat film, tanya ini tidak lantas dibentuk sebagai misteri besar guna memberikan daya pikat tersendiri karena narasi Mudik lebih menekankan pada proses si karakter utama, dalam hal ini Aida, untuk berdamai. Baik berdamai dengan diri sendiri, keadaan maupun orang lain. Seperti esensi dari mudik dan Idul Fitri itu sendiri; perjalanan untuk memulai kehidupan yang baru dan lebih baik dari sebelumnya. Demi mencapai tujuan tersebut, Aida dan Firman mendapat ujian besar di tengah jalan usai mobil mereka tanpa sengaja menabrak motor dan menewaskan pengemudinya. Merasa bersalah, Aida memilih untuk bertanggung jawab yang kemudian membawanya ke kediaman korban dimana dia bertemu dengan istrinya, Santi (Asmara Abigail), yang tidak terima dengan kematian sang suami.

Selama beberapa hari, Aida dan Firman pun terjebak di sana lantaran penduduk “Kampung Dajjal” menuntut adanya permintaan maaf dalam wujud materi. Pada titik ini, Mudik yang telah mencuri perhatian sedari adegan kecelakaan yang diramu intens pun semakin menggeliat dengan melemparkan kritik sosial berkenaan dengan masyarakat yang oportunis dan seksis. Alih-alih mengupayakan adanya mediasi antara dua belah keluarga, beberapa pihak justru memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan dalih “kasihan Santi, sekarang dia harus menghidupi ibu dan anaknya,” sementara Santi tidak pernah dilibatkan dalam diskusi apapun. Dirinya justru mendapatkan pengekangan demi pengekangan dari masyarakat karena statusnya sebagai seorang perempuan dan janda. Ini terasa nyelekit, tetapi juga menampar saking relevannya dengan keadaan di sekeliling kita. Bukankah kerap dijumpai oknum yang tega memanfaatkan kemalangan seseorang demi mendapatkan keinginannya? Tidak hanya masyarakat, tetapi juga mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai penegak hukum. Mudik sempat menyorotinya melalui menghilangnya sosok polisi yang mulanya berjanji akan membantu mengurai silang sengkarut ini. Mendadak lenyap tak berbekas yang serta merta mengundang tanya sekaligus kecurigaan mengenai keterlibatan mereka dalam upaya memeras pasangan naas tersebut. Kalaupun tidak, bukankah terasa sama problematiknya lantaran telah melepas tanggung jawab dan menyerahkannya kepada warga desa yang buta dasar-dasar penegakan hukum?

Penonton dihadapkan pada rasa cemas, takut, serta putus asa yang disalurkan secara cemerlang oleh Putri Ayudya melalui ekspresi serta gestur tubuh. Interaksi serba canggungnya dengan Ibnu Jamil yang tidak lagi dicintainya dan Asmara Abigail yang tampak begitu nelangsa, memberi kekuatan tersendiri bagi Mudik yang sayangnya mulai goyah kala misteri dibalik persoalan rumah tangga Aida-Firman mulai diungkap. Meski problematika ini memang nyata adanya di masyarakat, tapi bukankah sudah terlampau jamak dikedepankan sebagai akar permasalahan oleh film-film Indonesia lain? Maksud hamba, masih ada pemantik-pemantik lain yang tidak kalah ganasnya yang boleh jadi akan memberi greget maupun pertaruhan lebih besar bagi hubungan dua karakter ini. Terlebih, konflik batin yang merundung Aida sejatinya sudah cukup untuk memberi pukulan telak kepada masyarakat yang kerap merecoki kehidupan pribadi seseorang dengan pertanyaan basa-basi nyelekit. Adanya momen “pertengkaran besar” di penghujung durasi pun tidak membantu dengan penggambarannya yang kelewat meledak-ledak, cenderung kontradiktif dengan pembawaan film yang di sepanjang durasi yang meletakkan fokusnya pada permainan mimik muka dan gestur yang halus. Di kala Mudik seperti telah kehilangan daya cengkramnya di menit-menit yang semestinya menjadi gong, Adriyanto Dewo berhasil mengangkatnya kembali dengan memberi babak pamungkas yang bukan saja indah ditunjang iringan skoring musik megah gubahan Lie Indra Perkasa, tetapi juga emosional. 

Bisa ditonton di Mola TV

Exceeds Expectations (3,5/5)

2 comments: