Pages

December 23, 2020

SPECIAL - MOLA LIVING LIVE

Ada satu original content di Mola TV yang menurut hamba sangat menarik untuk disimak dan menjadikannya sebagai pembeda dengan jasa penyedia layanan streaming lain, yakni Mola Living Live. Bukan berwujud film panjang maupun serial, konsep yang dikedepankan oleh acara ini adalah bincang-bincang. Narasumber yang didatangkan pun tidak main-main; figur publik kelas dunia, saudara-saudara, tersayang! Tengok saja deretan nama yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara seperti Luc Besson (sutradara), Darren Aronofsky (sutradara), Spike Lee (sutradara), Sharon Stone (aktris), Mike Tyson (petinju), sampai Robert De Niro (aktor). Siapa coba yang tidak mengenal mereka? Lebih-lebih jika kamu menggemari film. Pencapaian yang mereka torehkan selama berkecimpung di industri film – bahkan Tyson sempat pula berkontribusi di bidang seni ini – tidaklah main-main. Sebagian diantaranya telah menggenggam Oscar sebagai penanda pencapaian tertinggi dari sisi kualitas, sementara sebagian yang lain tergolong akrab dengan kata “box office” sebagai penanda pencapaian tertinggi dari sisi kuantitas.

Dalam Mola Living Live yang diniatkan sebagai sajian yang menginspirasi sekaligus mencerahkan, tokoh-tokoh tersebut berbagi cerita mengenai perjalanan hidup mereka yang tak selamanya “unicorn and rainbow” atau penuh kesempurnaan. Kepada pembawa acara yang acapkali berganti-ganti di tiap episodenya – dari Reza Rahadian, Rayya Makarim, Timo Tjahjanto, Dino Patti Djalal, sampai Susi Pudjiastuti (ya, Bu Susi yang itu!) – mereka mengungkap kisah-kisah di masa lalu maupun pemikiran-pemikiran yang boleh jadi tak banyak diketahui oleh khalayak ramai. Setelah menyaksikan enam bincang-bincang ini, saya pribadi menyukai episode yang mendatangkan Sharon Stone, Spike Lee, serta Darren Aronofsky. Alasannya sederhana saja, ketiga nama tersebut tampak sangat antusias dalam menanggapi lontaran-lontaran pertanyaan yang diajukan oleh host. Mesti diakui, Reza Rahadian pun sangat bersemangat kala berhadapan dengan narasumber. Dia mempunyai ketertarikan mendalam, dia memiliki keingintahuan menggebu-nggebu, dan penyampaiannya pun luwes. Alhasil, pertanyaan yang meluncur pun mempunyai bobot lebih ketimbang sekadar remeh temeh untuk menghabiskan kuota durasi semata.

Dari Sharon Stone yang sangat ceria, kita mendengar tentang perjuangannya menapaki karir. Dikaruniai otak cemerlang, keputusannya untuk menekuni dunia hiburan mulanya digugat habis-habisan oleh orang tuanya. Bahkan sosoknya yang dijuluki “sex symbol” pernah pula terkendala dengan bentuk tubuh yang dinilai terlalu besar oleh pelaku industri. Tapi tekad kuatnya untuk meringankan kondisi finansial keluarganya yang serba pas-pasan – terlebih sang kakak pun terjeremus ke dunia narkoba – membuatnya memperoleh banyak tawaran sebagai model iklan. Kala itu, dia mengingat, sebagian besar pekerjaan diterimanya begitu saja demi membuat dapur tetap ngebul termasuk peran-peran yang diterimanya di layar lebar. Latar belakang keluarga memaksanya untuk bersikap realistis ketimbang idealis. Usai satu dekade penuh keringat serta air mata, karir Mama Stone seketika melesat saat Basic Instinct (1992) meledak luar biasa. Dari mulanya dikenal sebagai “aktris dari film ono”, berkat film ini statusnya berubah menjadi aktris papan atas yang dielu-elukan banyak orang. Apakah dia bahagia? Well, untuk sesaat dia menikmati kesuksesan yang diraihnya sampai pada satu titik dirinya merasa telah direnggut privasinya. Tak ada waktu untuk kebebasan, tak ada waktu untuk menikmati hasil perjuangannya.

Sebagai seseorang yang aktif di belakang layar, Darren Aronofsky dan Spike Lee tidak mendapat pengalaman tersebut. Akan tetapi, keduanya sama-sama merasakan bagaimana peliknya menggaet investor untuk mendanai film-film mereka. Apalagi dua sosok ini tidak mementingkan aspek komersil dalam karya, melainkan pesan yang disampaikan. Ditambah lagi, baik Aronofsky maupun Lee adalah pribadi yang kontroversial. Aronofsky yang turut dikenal sebagai aktivis lingkungan enggan berkompromi dengan struktur penceritaan yang konvensional, sementara Lee tergolong amat vokal dalam menentang isu rasisme di Amerika Serikat. Meski kerap dihadang hambatan-hambatan untuk mewujudkan karya, kecintaan keduanya yang sangat mendalam pada film membuat mereka berhasil bertahan. Lee terus mengingatkan dirinya sendiri untuk bersyukur karena dia mempunyai pekerjaan impian yang mayoritas orang di dunia tak memilikinya, dan Aronofsky menjadikan penolakan demi penolakan yang dihadapinya sebagai pengingat bahwa dia mempunyai sesuatu yang istimewa serta layak untuk diperjuangkan. Jika kamu menyerah dengan penolakan, bukankah itu artinya kamu percaya bahwa karyamu memang tak cukup baik?

Episode Robert De Niro yang baru saja tayang perdana pada 16 Desember kemarin pun tak kalah menariknya. Beliau berbagi tentang pengalamannya bekerja sama dengan sutradara langganannya Martin Scorsese serta ilmu-ilmu keaktoran usai diinterogasi oleh Reza Rahadian yang penasaran dengan formula dibalik akting yang menghantarkannya pada dua piala Oscar. Tak hanya Reza, penonton yang menyaksikan secara langsung pada jam 9 malam pun berkesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Mola Living Live mengondisikan acaranya untuk bersifat interaktif sehingga kita tak sebatas duduk diam mendengar perbincangan, tetapi juga bisa ikut berpartisipasi dalam perbincangan tersebut. Asyik, bukan? Untuk bisa mengakses episode-episode terdahulu dari Mola Living Live atau menantikan episode selanjutnya yang akan menghadirkan tokoh lain yang tak kalah hebatnya, kamu cukup mendaftar serta membayar biaya berlangganan Mola TV. Tenang saja, biayanya tak mahal kok. Paket reguler untuk satu bulan hanya Rp. 12.500, sedangkan kalau kamu ingin tambahan mengakses HBO GO bayarnya sebesar Rp. 65.000. Semua pembayaran bisa dilakukan melalui transfer ATM maupun OVO.   

3 comments: