December 8, 2018

REVIEW : MORTAL ENGINES


“We must stop London before it destroys us.” 

Saya sebetulnya sudah berada di titik jenuh terhadap film-film yang diadaptasi dari young adult novel berlatarkan post-apocalyptic. Disamping The Hunger Games yang keseluruhan serinya mampu tampil mengikat, The Maze Runner yang cenderung tak stabil, dan Divergent yang terjun bebas begitu memasuki seri terakhir (kepedean dibagi menjadi dua film pula!), tak ada lagi adaptasi dari novel sejenis yang benar-benar mencuri perhatian lantaran garis besar dalam jalinan pengisahannya pun sejatinya tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Itulah mengapa saya kurang menunjukkan minat pada Mortal Engines yang disadur dari jilid pertama rangkaian seri rekaan Philip Reeve, sampai kemudian mengetahui keterlibatan tiga serangkai: Fran Walsh, Philippa Boyens, dan Peter Jackson, yang memberi kita trilogi epik The Lord of the Rings (2001-2003) di sektor penulisan naskah. Mudahnya sih, apa yang mungkin salah dari adaptasi ini? Bukan tidak mungkin kan Mortal Engines akan membangkitkan kembali tren adaptasi untuk subgenre post-apocalyptic yang belakangan mulai menyurut? Apabila Peter Jackson turut dipercaya sebagai sutradara, sikap optimistis yang sempat mengemuka ini mungkin masih terdengar realistis. Tapi mengingat proyek dengan suntikan dana sebesar $100 juta ini diserahkan kepada sutradara pendatang baru Christian Rivers yang memulai karir perfilmannya sebagai storyboard artist, kamu tentu tahu bahwa berekspektasi tinggi-tinggi bukanlah suatu keputusan bijak. 

Dalam Mortal Engines yang melempar kita jauh ke masa depan sampai-sampai peradaban saat ini disebut “purba”, bumi telah mengalami kehancuran akibat penggunaan senjata pemusnah massal. Guna bertahan hidup dari ancaman gempa bumi, letusan gunung berapi, dan serangkaian bencana alam lain, penduduk bumi yang tersisa pun mencetuskan gagasan unik mengenai cara hidup baru. Mereka menciptakan sebuah traksi berwujud roda raksasa yang senantiasa bergerak untuk menampung sebuah kota yang didiami ribuan manusia. Pada jilid pertama ini, kota futuristis yang mempunyai peranan krusial dalam pergerakan kisah adalah London. Tentu saja, London bukanlah sebuah kota berjalan yang berhati mulia karena julukannya sebagai ‘kota predator’ telah mengindikasikan bahwa keberadaannya adalah ancaman bagi kota-kota kecil lain – khususnya bagi kota yang memiliki sumber daya melimpah. Julukan ini tak bisa dilepaskan pula dari ambisi Thaddeus Valentine (Hugo Weaving) yang mempunyai kontribusi penting di London untuk menempatkan kotanya sebagai traksi tertinggi. Bagi masyarakat London, apa yang dilakukan oleh Thaddeus ini memang terdengar mulia. Tapi bagi masyarakat kecil di luar London, Thaddeus adalah seseorang yang berbahaya khususnya bagi Hester Shaw (Hera Hilmar) yang menyimpan dendam kesumat akibat tragedi masa lalu. Dibantu oleh Tom Natsworthy (Robert Sheehan) yang dibuang dari London oleh Thaddeus dan Anna Fang (Jihae) yang memimpin gerakan anti-traksi, Hester bersiap untuk menjalankan rencana balas dendam terhadap Thaddeus yang telah mengendap selama bertahun-tahun lamanya.


Tidak membutuhkan waktu lama bagi Mortal Engines untuk menggeber gelaran laga yang kentara diniatkan sebagai jualan utamanya. Pada menit pembuka, penonton disuguhi oleh adegan kejar mengejar beroktan tinggi dengan visual menakjubkan bak perpaduan antara Mad Max Fury Road (2015) dengan Howl’s Moving Castle (2004). Melalui adegan tersebut kita bisa mengetahui sekelumit mengenai hukum yang berlaku di dunia baru ini: mereka yang lemah (mau tak mau) mesti tunduk kepada mereka yang memiliki kekuatan. London mengakuisisi kota pertambangan cilik, Salthook, demi merebut aset-aset berharga mereka dan menolak jelas bukan suatu pilihan kecuali bersedia digilas habis oleh roda-roda kota London yang gedenya bikin melongo. Menilik apa yang dipersembahkan oleh Christian Rivers pada adegan pembuka ini – dimana dia juga berkesempatan untuk unjuk kebolehan dalam mengkreasi tampilan kota futuristis yang harus diakui imajinatif – bukan sesuatu yang mengherankan jika kemudian ekspektasi penonton tiba-tiba meninggi. Ada keingintahuan untuk menengok visualisasi dunia rekaan Philip Reeve, sekaligus mengetahui sejauh mana si pembuat film akan mengeksplorasi tema berkenaan dengan konsumerisme, imperialisme, kesenjangan kelas sosial, sampai modernisasi. Hanya saja, selepas Salthook berada di cengkraman London dan fokus penceritaan pun beralih pada upaya Hester untuk membalas dendam kepada Thaddeus, Mortal Engines yang mulanya mengasyikkan buat disimak secara perlahan tapi pasti mulai letoy. 

Tata laga yang bikin berdecak kagum seperti adegan pembuka urung hadir, begitu pula dengan penceritaan yang menggigit. Ketimbang mengeksplorasi tema yang belakangan hanya dibahas di permukaan saja maupun menjlentrehkan world building guna memberi gambaran utuh mengenai sistem sosial yang berlaku di dunia baru, si pembuat film malah sibuk membombardir penonton dengan rentetan laga kurang menggairahkan yang tak satupun diantaranya mampu memunculkan sensasi berdebar-debar. Terasa hanya sekadar berisik lantaran Christian Rivers masih gagap dalam bercerita dan dia pun tak sanggup membuat penonton bersimpati terhadap barisan karakter dalam film. Jangankan karakter pendukung yang bisa datang dan pergi begitu saja – ucapkan halo pada Shrike (Stephen Lang) dan Katherine Valentine (Leila George) yang keberadaannya ternyata dimaksudkan agar film ini memiliki momen mengharu biru – karakter utama seperti Hester, Tom, Anna, dan Thaddeus bisa dengan mudah dilupakan hanya beberapa saat setelah film berakhir. Hester kelewat monoton, Tom kelewat menyebalkan dengan mulut ceriwisnya itu, Anna terlampau ngoyo buat kelihatan cool dengan ekspresi sinis yang sama sepanjang durasi, dan motivasi Thaddeus sebagai villain sukar untuk dianggap serius. Andai Mortal Engines dilepas satu dekade silam, apa yang dihantarkannya mungkin saja masih akan menarik atensi (tentu dengan catatan: penggarapannya bagus). Tapi berhubung saya sudah terlampau kenyang dicekoki tontonan sejenis sedari The Hunger Games meledak, film ini tak ubahnya epigon tanpa ciri khas dan nyawa yang cocok ditonton saat waktu luang banyak tersedia, kondisi finansial sedang sehat, serta tak ada lagi film yang bisa dipilih sebagai tontonan di bioskop.

Acceptable (2,5/5)


5 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch