"Rezeki itu nggak pernah pergi. Dia cuma menunggu waktu yang tepat untuk kembali."
Ada perasaan miris ketika saya bertandang ke salah satu bioskop di Semarang siang kemarin untuk menyaksikan Cita-Citaku Setinggi Tanah. Bagaimana tidak, hanya ada empat penonton yang menemani saya di dalam gedung bioskop menyaksikan film sepanjang 75 menit ini. Padahal saat itu adalah hari pertama film ini dilempar ke pasaran. Apakah promosi kurang gencar sehingga publik belum menyadari keberadaannya atau publik telah benar-benar masa bodoh dengan film Indonesia? Kemana perginya kalian yang selama ini berkoar-koar membutuhkan film buatan anak bangsa yang berkualitas? Seriously, It’s a good movie. Ini adalah waktu yang tepat untuk membuktikan kepedulian kalian. Bahkan, penjualan tiket untuk film ini seluruhnya akan didonasikan untuk anak-anak penderita kanker. Niatan tulus yang seharusnya mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Terlepas dari apakah donasi ini hanya dipergunakan sebagai alat untuk menarik perhatian penonton atau tidak, Cita-Citaku Setinggi Tanah tetaplah sebuah sajian yang sebaiknya tidak Anda lewatkan begitu saja.
Film perdana buatan Eugene Panji ini tidak mencoba untuk menjadi sebuah film yang ambisius dengan mengapungkan permasalahan-permasalahan pelik nan memusingkan yang pada akhirnya hanya membuat sang pembuat kebingungan dalam mengurai benang yang telah mengusut. Apa yang disoroti di sini sangatlah sederhana, ini adalah ‘everybody’s story’. Saya yakin, Anda pun pernah mengalaminya. Masih ingatkah Anda ketika duduk di bangku sekolah dasar pernah ditanya oleh guru Bahasa Indonesia, “apa cita-citamu?”. Saat mendapat pertanyaan seperti demikian, bagaimana Anda menjawabnya? Jawaban yang umum diterima dari bocah-bocah SD, seperti halnya yang diperlihatkan dalam segmen singkat mengenai “cita-citaku adalah...” di awal dan penutup film ini, tidak jauh-jauh dari profesi seperti dokter, pilot, penegak hukum, artis, pramugari hingga presiden. Semuanya tinggi-tinggi. Saat ada yang memberikan jawaban yang agak nyeleneh, konsekuensi yang diterima adalah cenderung ditertawakan. Lihat saja apa yang terjadi pada Agus (M Syihab Imam Muttaqin). Setelah dia mengemukakan cita-citanya untuk bisa makan di restoran Padang, ledakan tawa dengan nada mengejek pun membahana. Bagi teman-temannya, mimpi Agus dianggap terlalu dangkal.
Cita-cita yang dikemukakan secara lisan oleh para siswa di dalam kelas diminta oleh sang Guru Bahasa Indonesia untuk dituangkan ke dalam bentuk karangan pada akhir semester. Tugas yang sekilas terlihat remeh temeh ini nyatanya membuat Agus dan ketiga sahabatnya, Jono (Rizqullah Maulana), Puji (Iqbal Zuhda), dan Mey (Dewi Wulandari), kelimpungan. Mereka menanggapinya dengan serius, seolah-olah sedikit kesalahan dalam tulisan dapat memengaruhi kesempatan mereka dalam menggapai cita-cita. Ketika ketiga sahabat Agus asyik menggores kata-kata di atas kertas dengan melayangkan angan-angan, Agus memilih pendekatan lain setelah mendengar nasihat dari seorang tetangga, “cita-cita bukan cuma untuk ditulis saja, tetapi diwujudkan.” Tanpa sepengetahuan keluarga dan teman-temannya, Agus banting tulang kesana kemari untuk menumpuk receh dalam celengan bambunya demi merasakan nikmatnya makanan Padang. Menuntaskan tugas sekolah bukan lagi menjadi tujuan akhirnya, melainkan berubah haluan menjadi bagaimana cara mewujudkan cita-citanya yang hanya setinggi tanah itu.
Naskah hasil kreasi pemikiran Satriono yang beranjak dari sebuah premise yang sangat sederhana tidak berbelit-belit dalam menyampaikan kisah. Lancar dan mengalir apa adanya. Satriono dan Eugene Panji memasukkan banyak sekali kesederhanaan, kejujuran, dan cinta kasih untuk film ini yang membuat Cita-Citaku Setinggi Tanah menjadi sebuah film yang sangat hangat dan membumi. Pesan moral dan sindiran-sindiran sosial disampaikan secara halus tanpa perlu dijabarkan dalam bentuk dialog beratus-ratus kata namun tetap mengena di hati penonton. Kesederhanaan memang menjadi kunci utama dari film produksi Humanplus Production ini. Tidak hanya dari segi naskah, ditilik dari sisi teknis pun film ini sangatlah sederhana. Bisa jadi, karena keterbatasan biaya. Bagusnya, menyadari bahwa sokongan dari sisi teknis tidaklah memadai, Eugene Panji dan tim memaksimalkan kinerja dari departemen lain yang hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Naskah buatan Satriono yang berbicara lantang berpadu manis dengan akting dari para pemainnya, khususnya para aktor cilik pendatang baru, yang natural serta soundtrack yang ‘easy listening’ dan ditempatkan secara pas. Namun yang benar-benar membuat saya jatuh hati dengan film ini adalah alur cerita dan para tokohnya yang merakyat yang dapat saya jumpai dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin ini adalah kisah tetangga, keponakan, anak, cucu, sepupu, atau malah justru Anda sendiri. Ini bukan sebuah fantasi kehidupan, bukan juga sebuah halusinasi kehidupan, tapi ini sebuah realita kehidupan. Dekat sekali di hati. Maka saya sungguh menyayangkan jika film sebagus, sejujur, dan sehangat Cita-Citaku Setinggi Tanah ditanggapi dingin oleh masyarakat.
Exceeds Expectations
Saya setuju, film ini walaupun independen, dibuat dengan serius dan dikemas dengan sangat baik, baik dari sisi cerita, pemilihan karakter dan pengambilan gambarnya.
ReplyDeleteAku belum nonton :)
ReplyDeleteMa kasih teasernya mas, sukses bikin saya pengen nonton.
Aku juga belum nonton...
ReplyDeleteMasih ada ga ya skrg di bioskop?
Tks teasernya... saya pasti nonton ^^
ReplyDeleteFilmnya masih diputar kok di beberapa bioskop. Cuma jam tayangnya sudah sangat berkurang, rata-rata hanya 1-2 kali show per hari :'(
ReplyDelete4 penonton? masih lebih banyak.. waktu saya nonton malah awalnya cuma saya sendiri, berasa nyewa bioskop.. beberapa menit film jalan akhirnya ada 2 penonton cewek masuk, telat..
ReplyDeletealhasil cuma 3 penonton termasuk saya..
duh.. miris abis, sayaaanggg bangeett.. film sebagus ini penontonnya sepi.. :(