"Oh, ternyata pacar kamu yang bikin istri saya mabuk laut?"
‘Ini jantung ibukota, dimana hatinya?’. Begitulah tagline dari film panjang kedua karya Salman Aristo, Jakarta Hati. Setelah menelurkan sebuah karya yang apik melalui Jakarta Maghrib, Salman Aristo nampaknya ketagihan untuk mengulik serba-serbi kehidupan Jakarta yang sebelumnya telah dia paparkan secara garis besar melalui film perdananya. Ya, Jakarta dalam Jakarta Maghrib tak ubahnya kota-kota besar lain di Indonesia. Apa yang terjadi di sana dapat pula terjadi di kota lain terlebih permasalahan yang diangkat umum terjadi di kota besar. Penggambarannya pun hanya sebatas pada gang-gang sempit dan perumahan. Nah, melalui Jakarta Hati, kesalahan-kesalahan dari film sebelumnya mencoba untuk ditebus. Nyaman dengan apa yang telah diperbuatnya, di sini pun pak sutradara yang juga merangkap sebagai penulis naskah, lagi-lagi menerjemahkan ide-idenya dalam bentuk film omnibus. Tak lagi terbagi ke dalam lima kisah pendek, akan tetapi meningkat menjadi enam kisah pendek. Isu yang diapungkan pun lebih serius. Meski belum mencapai sebuah kesempurnaan, namun Salman Aristo sedikit banyak telah berhasil menggambarkan kerasnya kehidupan di Jakarta melalui enam kisah berbeda warna.
Jakarta Hati dibuka dengan segmen ‘Orang Lain’ yang menampilkan Surya dan Saputra dan Asmirandah. Tidak ada tokoh lain dalam segmen ini, hanya mereka berdua. Yang menjadi pondasi cerita untuk membangun konflik di sini adalah perselingkuhan. Dua orang asing yang tidak saling mengenal bertemu di kafe pada suatu malam untuk akhirnya saling menyadari bahwa mereka dikhianati pasangan masing-masing. Tapi, benarkah mereka dikhianati... atau justru sebaliknya? Kurang tepat menempatkan segmen ini sebagai sebuah penghantar untuk menjelajahi hati ibukota. Jalinan penceritaannya dituturkan terlalu puitis yang mau tidak mau memaksa penonton untuk memutar otak. Mungkin hasilnya akan lebih baik jika segmen ini digeser ke posisi kedua atau ketiga. Dengan hidangan pembuka yang sedemikian berat, belum juga menikmati hidangan utama, penonton sudah kekenyangan. Atau dalam hal ini, otak sudah keburu keriting. Sungguh sangat disayangkan, bukan?
Segmen kedua ‘Masih Ada’ yang menghadirkan Slamet Rahardjo menjadi favorit dari kebanyakan teman-teman saya. Di sini, Salman Aristo mencoba untuk mengapungkan kritik sosial kepada anggota DPR RI yang seolah (atau memang benar adanya) masa bodoh dengan nasib ‘wong cilik’ yang seharusnya menjadi perhatian utama mereka. Seorang anggota DPR mengalami kesialan di suatu pagi yang membuatnya terpaksa merasakan kehidupan ‘wong cilik’ meski hanya beberapa menit. Disampaikan dengan dialog yang jenaka dan menyentil serta didukung permainan apik dari Slamet Rahardjo, secara mudah segmen ini menjadi salah satu yang terkuat walaupun durasi yang terbatas membuat konflik kurang tergali lebih mendalam dan menggampangkan persoalan. Saya pribadi lebih menyukai segmen ‘Kabar Baik’ yang tanpa diduga sanggup membuat Andhika Pratama mengeluarkan kemampuan aktingnya secara maksimal dan mengimbangi akting dari Roy Marten yang cemerlang. Kisah ‘reuni’ ayah dan anak setelah bertahun-tahun tidak berjumpa di sebuah kantor polisi ini mengalir dengan lancar melalui dialog yang renyah dan bikin gregetan. Hati ini tersentuh saat sebuah rahasia besar terungkap. Saya benar-benar ingin memeluk ayah saya kala itu.
Masih ada tiga segmen yang tersisa dimana ketiganya mampu membawa Jakarta Hati ke tingkatan yang lebih tinggi dan melampaui pencapaian film sebelumnya. Segmen ‘Hadiah’ yang dibintangi oleh Dwi Sasono sedikit banyak mengingatkan pada ‘Jalan Pintas’ dari Jakarta Maghrib. Bukan, ini bukan mengenai hubungan percintaan, melainkan mengangkat fenomena dari dunia yang membesarkan nama Salman Aristo, dunia film. Seorang penulis skenario terserang dilema tatkala dia mendapat tawaran untuk menulis skenario sebuah film komedi seks berjudul Pocong Impoten di kala kondisi finansial keluarganya tengah sekarat. Pilihan yang bisa dipilih hanya ada dua, memerjuangkan atau mengorbankan idealisme demi segepok uang. Kekuatan dari segmen ini terletak pada performa dari Dwi Sasono yang apik sebagai penulis skenario yang belum siap untuk merelakan integritas dirinya. Rasa cemas, bimbang, marah, sedih, dan kecewa disalurkan melalui ekspresi wajah dan gerak tubuh yang meyakinkan sehingga membuat penonton turut merasakan kegundahan hatinya. Sisi emosional di segmen ini tergali dengan apik selayaknya segmen ‘Kabar Baik’.
Berlanjut ke segmen kelima, ‘Dalam Gelap’, dimana kamera statis dimanfaatkan, tak ada penerangan, dan ruang gerak terbatas maka secara otomatis dialog dan akting dari Agni Pratistha serta Dion Wiyoko – dalam hal ini, bahasa tubuh – menjadi motor penggerak. Segmen ini seolah ingin menyinggung masyarakat di kota besar dewasa ini yang individualis, egois, dan menyepelekan pentingnya komunikasi. Lingkupnya tak seluas ‘Menunggu Aki’ dari Jakarta Maghrib, malah hanya sebatas pada pasangan suami istri. Pemadaman listrik bergilir yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Jakarta memaksa pasangan ini untuk berbicara satu sama lain. Meski memiliki kemasan paling sederhana di antara kelima segmen lainnya, ‘Dalam Gelap’ justru berteriak paling lantang terlebih permasalahan yang diangkat bisa menimpa siapa saja. Di era jejaring sosial, banyak orang lebih memilih untuk berceloteh di dunia maya ketimbang melakukan komunikasi langsung yang seringkali dianggap sebagai momok. Masing-masing tenggelam di dalam dunianya sendiri, ‘kepo’ dengan urusan orang lain, dan mengabaikan persoalan pribadi yang justru lebih penting.
Sebagai sebuah penutup, ‘Darling Fatimah’ dituturkan dengan penuh keceriaan setelah kelima segmen sebelumnya penuh dengan perenungan. Berkisah mengenai Fatimah (Shahnaz Haque), pedagang kue keturunan Pakistan di Pasar Senen dengan mulut yang susah untuk dikontrol, kala melayani para pelanggannya dan seorang broker pemesanan kue yang mengajaknya berbicara soal cinta. Mengambil latar Pasar Senen di suatu pagi, Salman Aristo mencoba untuk memotret sebuah tempat yang memertemukan berbagai macam etnis. Keberagaman suku bangsa dan budaya menjadi salah satu bagian dari ibukota. Ini cukup tergambarkan melalui perbincangan antara Fatimah dan Ayun (Framly Nainggolan) yang sempat nyerempet ke dalam kehidupan pribadi Fatimah yang seorang janda. Kegetiran hidup tetap menjadi pokok permasalahan disini, namun Salman Aristo menghindari air mata dan lebih memilih jalan komedi untuk menghantarkan kisah. Sebuah keputusan yang tepat. Akting dari Shahnaz Haque yang sangat menghibur membuat segmen ini terasa hidup dan menyegarkan.
Pada akhirnya, Salman Aristo pun mampu menuntaskan misinya dengan nyaris sempurna. Jakarta Hati tampil lebih baik ketimbang Jakarta Maghrib yang terkadang terlalu puitis dalam bertutur dan kurang menggambarkan sosok Jakarta. Melalui Jakarta Hati, penonton mendapat gambaran bagaimana kehidupan di ibukota yang keras dan seringkali tidak memiliki hati. Salman Aristo berhasil memotret ibukota – meski terkadang saya merasa beliau terlalu baik hati dalam memerlihatkan wajah Jakarta, dengan sudut pandang yang lebih luas dan bervariatif melalui enam kisah yang dikemas secara sederhana, namun memiliki kedalaman emosi dan sangat hangat, khususnya segmen ‘Kabar Baik’ dan ‘Hadiah’. Kecermatan Salman Aristo dalam mengolah naskah sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah jalinan penceritaan yang renyah turut terbantu berkat permainan akting yang cemerlang dari para pemain film ini. Sebut saja Slamet Rahardjo, Dwi Sasono, Roy Marten, Andhika Pratama, Agni Pratistha, Dion Wiyoko, hingga Shahnaz Haque. Mereka dengan senang hati menyumbangkan kemampuan akting terbaik mereka demi film ini. Memang, masih ada satu dua segmen yang dirasa masih terkesan menggampangkan persoalan atau terlalu puitis dalam berkisah, akan tetapi ini sesuatu yang wajar dalam sebuah film omnibus. Pasti ada satu dua yang ‘kurang sedap’. Pun demikian, Jakarta Hati masih tetap mampu tampil gemilang berkat kelihaian bercerita Salman Aristo yang makin mengagumkan serta tentunya dukungan penuh dari para pemain. Tidak berlebihan rasanya jika saya menyebut Jakarta Hati sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun ini.
Exceeds Expectations
selamett met met met bro tariz buat pialanya..disimpan yang bener jangan sampe ilang lo..hehe
ReplyDeleteDi era jejaring sosial, banyak orang lebih memilih untuk berceloteh di dunia maya ketimbang melakukan komunikasi langsung yang seringkali dianggap sebagai momok.--> ini dalem banget, bikin merenung.
ReplyDeleteTarizzz,
ReplyDeleteselamat yaaa udah terpilih sebagai Kritik Film Tahun Ini :) *ikut seneng dengernya* semoga ini jadi pemacu semangat dan lo lebih keren lagi nulis review, terutama film Indonesia :)
Mas Tariz apakah tulisan ini yg memenangkan kritik terbaik di Piala Maya?
ReplyDeleteIya, berkat tulisan ini saya mendapat Piala Maya. Terima kasih banyak atas dukungan dan doanya selama ini ya, teman-teman :)
ReplyDelete*peluk @novry dan @cinemalone*