December 18, 2013

REVIEW : SOEKARNO


"Kemerdekaan bukan tujuan. Kemerdekaan adalah awal. Dan kitalah yang mengawali."

Sebuah film biopik dari tokoh penting dalam sejarah, menjanjikan setidaknya tiga hal bagi para pembuatnya apabila dihidangkan dengan sepatutnya; pendapatan box office yang membumbung tinggi, puja puji dari kritikus, dan piala yang bergelimangan dari berbagai penghargaan film. Lincoln dan (perwakilan dari lokal) Habibie & Ainun telah membuktikannya tahun lalu. Kini, mengharap mengikuti jejak yang sama, Hanung Bramantyo secara nekat mengambil pertaruhan yang sangat tinggi dengan mengejawantahkan kisah hidup dari Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Ini jelas bukan perkara yang mudah, cenderung terbilang rumit dan belum apa-apa, setiap keputusan yang dipilih oleh Hanung Bramantyo memantik sederetan kontroversi khususnya dari pihak putri ketiga Sang Presiden, Rachmawati Soekarnoputri, yang melayangkan nota protes lantaran si pembuat film tak patuh pada fakta sejarah. Akan tetapi, mengesampingkan segala kericuhan yang melingkupi film di media yang tak juga mereda, apakah Soekarno adalah sebuah mahakarya dari seorang Hanung Bramantyo? Let’s see

Titik penceritaan dari film dimulai sejak masa paling awal dari Sang Presiden: kelahiran. Lalu, dengan cepat, kita diajak untuk menyimak sepenggal kisah hidup Soekarno tatkala masih bocah dimana dia kerap sakit-sakitan sehingga sang ayah, Soekemi (Sujiwo Tejo), pun mengubah namanya dan menapaki masa remaja saat perlahan demi perlahan sifat kritisnya mulai terbentuk hingga membawa Soekarno dewasa (Ario Bayu) untuk terjun ke dunia politik demi membawa Indonesia menuju ke gerbang kemerdekaan. Di sela-sela perjalanan karirnya menuju kursi kepresidenan, sejumlah peristiwa dan tokoh penting hilir mudik di sekelilingnya. Jika Anda mengira Bung Hatta (Lukman Sardi) dan Sjahrir (Tanta Ginting) memeroleh sorotan besar dari film terkait peran mereka dalam sejarah bangsa, maka Anda keliru. Lantaran ingin menelisik lebih jauh kehidupan pribadi Soekarno demi memberi penggambaran yang membumi, menghindari pengultusan serta (tentu saja) mengikuti pola Habibie & Ainun yang dianggap mampu memikat hati masyarakat, maka si pembuat film pun memberikan fokus penceritaan kepada dua wanita yang dianggap berjasa besar dalam hidup Soekarno, Inggit (Maudy Koesnaedy) dan Fatmawati (Tika Bravani). 

Masalahnya, skrip yang dirajut oleh Ben Sihombing dan Hanung Bramantyo juga tidak lantas benar-benar fokus kepada problematika asmara maha rumit yang menyelimuti Sang Proklamator. Mereka juga masih merasa perlu untuk menyelipkan serangkaian peristiwa penting dalam kehidupan Soekarno karena bagaimanapun juga ini adalah sebuah film biopik yang ide dasarnya mengenai sejarah hidup dari Bung Karno. Dengan demikian, informasi yang kudu dituangkan pun menggunung yang berarti si pembuat film memiliki tugas untuk memilah mana yang sangat penting, kurang penting, dan sama sekali tidak penting dari segudang informasi yang nantinya akan dihidangkan kepada penonton tersebut. Entah karena merasa ‘dibuang sayang’ atau memilih jalur aman demi menghindari protes ‘kok ini nggak ada’, maka sederetan konflik yang pernah menggelayuti Bung pun ditumpahkan ke dalam film. Hanung Bramantyo seolah lupa, durasi film Soekarno tak lebih dari 2,5 jam. 

Dengan minimnya pemangkasan konflik, maka yang terpaksa menjadi korban adalah kedalaman cerita. Penonton pun tak bisa mengharapkan jawaban atas ‘mengapa begini, mengapa begitu’ – atau katakanlah, latar belakang tak memadai – karena apa yang dikisahkan hanya secukupnya. Penonton diminta untuk membaca buku biografi Bung yang telah banyak beredar untuk memeroleh penjelasan lebih lanjut. Tidak pernah ada penjelasan yang mencukupi tentang konsep di balik pembuatan Sang Saka Merah Putih, hubungan antara Bung Karno dan Bung Hatta, hingga latar belakang dari sejumlah tokoh kunci dalam film – katakanlah, Inggit Garnasih dan Soetan Sjahrir. Sementara Sjahrir dengan penggambaran yang senantiasa meledak-ledak hingga membuatnya lebih tampak sebagai villain dari film (meski kenyataannya sama sekali bukan), maka Inggit nyaris tidak dibekali latar belakang. Kita hanya tahu dia adalah istri kedua dari Soekarno, titik. Si pembuat film mengabaikan sejumlah detail demi tercukupinya kuota 2,5 jam dengan segunung konflik. Akibat yang terjadi adalah naskah menjadi penuh sesak, tumpang tindih, sepintas lalu, dan nyaris tidak memiliki emosi. Ini berbahaya. Dengan durasi yang merentang panjang, nyaris alpanya jalinan konflik yang mampu menggugah emosi penonton berpotensi membuat penonton kelelahan dan... ini terjadi. 

Pun demikian, sekalipun sektor naskah dalam Soekarno boleh saja meninggalkan catatan-catatan yang tak mengenakkan, kudu diakui, mengesampingkan penceritaan, Soekarno adalah sebuah film yang tergarap dengan sangat baik. Di samping tata artistik yang begitu mengesankan yang ditunjang pula oleh tata kamera dari Faozan Rizal yang cantik dan tata musik dari Tya Subiakto yang cukup megah, hadir sederetan pemain yang menampilkan performa-performa yang memukau. Ini salah satu bukti kehebatan dari seorang Hanung Bramantyo, jeli memilih pemain. Ario Bayu yang kemampuan berolah perannya semakin cemerlang mampu memancarkan pesona dan karismanya sebagai Bung Karno, membuat karir keaktorannya menarik untuk diikuti. Lalu, film pun memiliki Maudy Koesnaedi yang (meski karakternya tak beroleh penggalian karakter yang mendalam) mudah untuk merebut hati penonton dan tangisannya pun... merobek hati, Tika Bravani, Lukman Sardi, Emir Mahira, Sujiwo Tejo, Mathias Muchus, Ferry Salim, dan beberapa pemain pendukung lainnya. Apiknya penampilan dari mereka – dengan beberapa sukses meniupkan nyawa dan menuangkan emosi kepada karakter yang dimaninkan – telah mendongkrak film secara keseluruhan. 

Mencoba untuk merangkum dari apa yang telah terjabarkan dengan cukup panjang dalam beberapa paragraf sekaligus menjawab pertanyaan yang saya lontarkan di akhir paragraf pembuka, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah Soekarno bukanlah sebuah mahakarya (atau karya terbaik) dari Hanung Bramantyo. Tapi ya, ini adalah film garapannya yang paling ambisius (pula mewah). Dimulai dengan begitu meyakinkan melalui sebuah adegan pembuka yang terbilang berkelas, sayangnya Soekarno tidak berhasil menjaga ritme penceritaan di menit-menit berikutnya – kecuali untuk 15 menit terakhir yang menggetarkan hati – dimana sisi penceritaan begitu melelahkan untuk disimak, ikatan dengan penonton gagal untuk dibangun, dan serba tanggung lantaran konflik yang tak tanggung-tanggung banyaknya yang ingin dikisahkan. Jika diminta untuk menyebutkan apa yang menjadi penyelamat film maka itu meliputi 5 hal; adegan pembuka, akting, tata artistik, sinematografi, dan 15 menit terakhir. Tanpa kelimanya, mungkin penonton telah dibuat tertidur lelap di dalam bioskop.

Acceptable

3 comments:

  1. tapi bisa bisa dijadikan pelajaran buat generasi muda yang gak sempat kenal beliau

    ReplyDelete
  2. Yup. Terlepas dari segala kekurangannya, Soekarno ini tetap sebuah film yang penting bagi negeri ini :)

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch